Suhu Laut Naik, Peneliti Ingatkan Potensi Cuaca Ekstrem dan Badai

Petugas Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat angka pada alat pengukur kecepatan angin atau anemometer di Stasun Klimatologi BMKG Karangploso, Malang, Jawa Timur, Rabu (13/3/2024). Foto: ANTARA

apakabar.co.id, JAKARTA – Para ahli memperingatkan bahwa tingkat akumulasi panas yang belum pernah terjadi sebelumnya seiring meningkatnya suhu laut akan memicu reaksi berantai. Hal itu perlu diwaspadai karena akan memunculkan badai dan topan mematikan dalam beberapa bulan mendatang.

Laporan terbaru menunjukkan lautan di seluruh dunia kini berada pada suhu terpanasnya. Layanan Perubahan Iklim Copernicus Uni Eropa mencatat suhu permukaan laut sangat tinggi sepanjang 2023 dan awal 2024. Di akhir Februari 2024, suhu permukaan laut rata-rata harian mencapai titik tertinggi baru yakni 21,09 derajat celcius.

Peneliti iklim Leon Simons kepada Kantor Berita Anadolu membeberkan kemunculan El Nino di Samudra Pasifik pada tahun lalu menyebabkan peningkatan pemanasan lautan dan atmosfer. Hal itu memicu perubahan pola cuaca.

“Dengan suhu seluruh Samudra Atlantik yang tercatat hangat, hal itu akan meningkatkan suhu, terutama tahun ini dalam beberapa bulan mendatang,” terang Simons.

Ia menambahkan, “Dengan suhu yang lebih tinggi itu, badai dapat menjadi lebih kuat… (dan) Anda dapat mengalami banjir yang sangat besar seperti yang kita lihat di Libya, Yunani dan banyak lagi di berbagai belahan dunia pada tahun lalu.”

Banjir tersebut, kata Simons, disebabkan oleh meningkatnya curah hujan. Adapun penyebabnya karena udara hangat yang berubah dingin saat bergerak di atas daratan atau terutama di daerah tinggi seperti pegunungan.

Peneliti iklim lainnya, Joel Hirschi, menjelaskan suhu di Atlantik sangat tinggi. Apabila kenaikan suhu terus berlanjut hingga akhir tahun (setelah Mei-Juni) hingga memasuki musim badai, hal itu akan mendukung terciptanya musim badai yang sangat aktif.

“Terutama sehubungan dengan melemahnya El Nino,” katanya.

Lautan menghangat
Pemanasan lautan yang belum pernah terjadi sebelumnya merupakan gabungan dari emisi gas rumah kaca, serta peristiwa El Nino yang kuat yang dimulai pada tahun lalu dan masih berlangsung saat ini.

Hirschi, kepala permodelan sistem kelautan dari Pusat Oseanografi Nasional Inggris menjelaskan hal itu. Menurutnya, suhu yang sangat panas berkaitan dengan sirkulasi atmosfer, yang kondusif bagi berkembangnya ‘gelombang panas laut’.

Sementara bagi Simons, faktor kunci selain efek rumah kaca adalah pengurangan emisi sulfur. Utamanya dari sektor pelayaran dan pembangkit listrik tenaga batu bara.

“Saat kita mengurangi polusi udara, lebih banyak sinar matahari yang bisa mencapai lautan. Lautan memanas lebih cepat, terutama ketika polusi udara telah berkurang di wilayah yang banyak dilalui pelayaran,” kata Simons, peneliti iklim di Club of Rome, Belanda.

Simons mengungkapkan, Organisasi Maritim Internasional telah memperkenalkan peraturan baru pada 2020. Aturan itu bertujuan untuk mengurangi 80 persen jumlah sulfur dalam bahan bakar yang digunakan saat pelayaran.

“Karena sekarang emisi belerang jauh lebih sedikit, sinar matahari yang dipantulkan ke ruang angkasa oleh polusi udara ini menjadi jauh lebih sedikit,” katanya, seraya menambahkan bahwa perubahan itu telah dibuktikan secara nyata oleh data satelit NASA.

Transisi El Nino – La Nina
Mengenai proyeksi beberapa bulan ke depan, Hirschi menjelaskan El Nino yang mulai melemah kemungkinan akan beralih ke La Nina.

El Nino dan La Nina merupakan fenomena iklim yang berasal dari Samudera Pasifik namun dapat mempengaruhi cuaca di seluruh dunia.

El Nino terjadi ketika air hangat menumpuk dan mendorong suhu permukaan laut naik di atas rata-rata, sedangkan La Nina adalah kebalikannya, ketika air dingin meningkat dan menurunkan suhu air laut di bawah rata-rata.

Mereka adalah dua fase berbeda yang dikenal sebagai El Nino-Southern Oscillation atau ENSO, dan tidak akan pernah terjadi pada waktu yang bersamaan.

“La Nina diketahui mendukung kondisi yang kondusif bagi pembentukan siklon tropis di Atlantik Urata,” papar Hirschi.

Daerah yang mungkin terkena dampaknya adalah negara-negara Amerika Tengah seperti Belize, Honduras, dan Meksiko, serta Amerika Serikat. Termasuk wilayah selatan AS seperti Florida dan juga sebagian besar Pantai Timur.

“Bisa juga sampai ke Kanada dan kadang-kadang bahkan kembali ke Eropa,” Hirschi menambahkan.

Tanda-tanda awal terjadinya La Nina mulai terlihat di Pasifik. “Fase anomali La Nina adalah saat Anda cenderung mengalami kekeringan di Amerika Selatan dan cuaca menjadi lebih basah di Australia. Jadi, tahun-tahun La Nina mendukung terjadinya curah hujan yang sangat deras di Australia dan di wilayah Pasifik Barat,” jelasnya.

Salah satu dampak positif dari La Nina adalah suhu laut yang diperkirakan akan turun sedikit di bawah suhu pada tahun 2023.

Selain badai dan topan, akan ada lebih banyak kejadian cuaca ekstrem dalam beberapa bulan ke depan, kedua ilmuwan itu memperingatkan.

Salah satunya adalah gelombang panas, yang menurut Hirschi kini lebih sering dan intens, dengan catatan suhu panas yang terus memecahkan rekor. Kenaikannya bukan dalam sepersekian derajat tetapi terkadang hingga tiga bahkan lima derajat Celcius.

Untuk itu, Simons menyerukan langkah-langkah mempersiapkan diri menghadapi cuaca ekstrem di bulan-bulan mendatang.

“Kita sekarang berada di dalam situasi di mana planet kita tidak pernah mengalaminya sebelumnya selama jutaan tahun, dengan konsentrasi gas rumah kaca sekarang yang lebih tinggi dari sebelumnya,” pungkasnya.

1,092 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *