apakabar.co.id, JAKARTA – Sehari sebelum pengesahan Rancangan Undang-Undang TNI, kantor media Tempo di Jakarta menerima sebuah paket mencurigakan. Paket itu ditujukan kepada jurnalis Francisca Christy Rosana, yang baru membukanya keesokan harinya.
Isi paket tersebut mengejutkan: kepala babi. Ini bukan sekadar ancaman biasa, melainkan bentuk teror yang jelas bertujuan menebar ketakutan.
Peristiwa ini bukan yang pertama. Sebelumnya, pada 6 Agustus 2024, mobil milik Hussein Abri Dongoran, jurnalis Tempo yang tergabung dalam tim siniar ‘Bocor Alus‘ dirusak oleh orang tak dikenal.
Meski tampak seperti aksi kriminal biasa, ini sesungguhnya adalah bagian dari pola intimidasi terhadap jurnalis. Bentuk ancaman semakin meningkat, dari perusakan kendaraan hingga pengiriman simbol-simbol teror.
Sebanyak 43 tokoh yang mewakili masyarakat sipil menyebut tujuan utama dari ancaman seperti ini adalah menekan dan menghentikan kerja jurnalistik. Para pelaku ingin memastikan bahwa jurnalis takut untuk mengungkap kebenaran. Namun, justru di sinilah letak ironi terbesar: yang paling takut dalam situasi ini sebenarnya bukanlah para jurnalis, melainkan mereka yang berusaha membungkam kebebasan pers.
“Hanya mereka yang takut pada kebenaran yang akan menggunakan cara-cara pengecut seperti ini,” tulis mereka dalam keterangannya yang diterima apakabar.co.id, Sabtu (22/3).
Dalam negara yang semakin menunjukkan kecenderungan otoriter, ketakutan penguasa terhadap kebebasan informasi menjadi semakin nyata. Demokrasi sejati membatasi kekuasaan agar tidak sewenang-wenang, dan salah satu pilar utama demokrasi adalah kebebasan pers.
Setelah Reformasi 1998, Indonesia telah melembagakan kebebasan pers melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menjamin independensi media dan keselamatan kerja jurnalis.
“Karena itu, kami menyatakan dukungan penuh kepada Tempo dan semua pekerja media yang menghadapi ancaman serta intimidasi. Kami bersama seluruh warga negara yang ingin menjaga kebebasan pers dan memastikan jurnalis dapat bekerja dengan aman,” ujar mereka.
Upaya menakut-nakuti ini harus dihentikan. Jurnalis bukan musuh negara, tetapi bagian dari masyarakat yang menjalankan tugas mulia: mengawasi kekuasaan dan menyuarakan kebenaran.
Selanjutnya, para tokoh tidak menaruh harapan pada aparat keamanan untuk mengusut kasus ini. Pasalnya, sejarah telah berkali-kali menunjukkan ketidakberpihakan mereka terhadap rakyat.
Ketika Tempo menerima kepala babi sebagai teror, di saat yang sama, Undang-Undang TNI disahkan. Ini memperlihatkan bagaimana kekuatan negara terus mengukuhkan dominasinya. Sementara itu, kepercayaan publik terhadap institusi keamanan semakin terkikis akibat berbagai tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan dan demokrasi.
Media tidak boleh tunduk pada ancaman. Jurnalis harus tetap tegak berdiri, menjalankan tugasnya dengan penuh keberanian. Masyarakat sipil akan terus memberikan dukungan dan menolak segala bentuk intimidasi terhadap kebebasan pers. Karena dalam demokrasi yang sehat, kebebasan informasi bukanlah ancaman, melainkan fondasi bagi masyarakat yang lebih adil dan beradab.
“Setop aksi pengecut terhadap jurnalis,” pungkas mereka.