UKT Batal Naik, Pengamat: Penetapannya Sesuai Kemampuan Orang Tua 

Presiden Joko Widodo menyampaikan pembatalan kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) di perguruan tinggi negeri (PTN) yang semula direncanakan untuk tahun ini. Dalam keterangan pers di Istora Senayan, Jakarta, pada Senin, (27/5/2024). Foto: BPMI Setpres-

apakabar.co.id, JAKARA – Pengamat Pendidikan dari Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Jejen Musfah, menyebut batalnya kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) mendorong pemerintah untuk meninjau ulang subsidi Perguruan Tinggi Negeri (PTN).

“Pembatalan kenaikan UKT harus mendorong pemerintah meninjau ulang kebijakan pengurangan subsidi atas biaya operasional kampus negeri. Pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah,” ujar Jejen di Jakarta, Selasa (28/5).

Selanjutnya, Jejen mengingatkan agar pemerintah tidak mudah memberikan status PTN Berbadan Hukum (PTN-BH) sebelum kampus tersebut benar-benar bisa mandiri secara finansial.

“Kampus sendiri menahan diri dari keinginan menjadi PTN-BH jika belum benar-benar punya kemandirian finansial, karena kampus harus bisa mengatur dana yang ada untuk pelayanan akademik yang berkualitas di satu sisi, dan mengembangkan badan usaha di sisi yang lain,” terangnya.

Ia menekankan agar kampus merevisi cara penetapan UKT, sehingga mahasiswa benar-benar bisa membayar sesuai dengan kemampuan orang tua mereka.

Selama ini, kontribusi finansial pemerintah terhadap biaya operasional PTN-BH tidak sebesar Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PTN-BLU) dan PTN-Satuan Kerja. Akibatnya, PTN-BH harus memiliki sumber pendapatan dari badan-badan usaha dan dana abadi pendidikan. Sebagai salah satu solusinya, pihak kampus  menaikan UKT dan Iuran Pengembangan Institusi (IPI) atau uang pangkal.

“Masalahnya, saat PTN-BH gagal atau kurang dalam mengembangkan badan-badan usaha, sementara mereka memerlukan dana operasional, cara instannya adalah menaikkan UKT dan IPI atau uang pangkal,” jelasnya.

Menurut Jejen, peningkatan tajam UKT dan IPI menunjukkan kegagalan kampus dalam mencari sumber penghasilan dari badan usaha dan dana abadi pendidikan. Sementara itu, pemerintah dan kampus harus memaknai prinsip bahwa pendidikan adalah nirlaba.

“Karena itu, tidak boleh ada komersialisasi agar warga miskin dan menengah memiliki kesempatan untuk menjadi sarjana dan bisa memperbaiki kualitas hidup mereka,” paparnya.

Jejen menambahkan, “Pemerintah dan kampus harus mengunci prinsip bahwa pendidikan adalah hak warga, terutama bagi warga miskin dan menengah. Pendidikan adalah nirlaba atau tidak boleh terjadi komersialisasi pendidikan.” Dengan demikian, kampus negeri harus terjangkau, namun tetap harus meningkatkan kualitas fasilitas dan layanan pendidikan.

Sebelumnya, pemerintah memutuskan untuk membatalkan kebijakan kenaikan UKT yang diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nomor 2 Tahun 2024.

Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim menjelaskan keputusan tersebut diambil setelah pemerintah berdialog dengan para rektor universitas dan mendengar aspirasi dari berbagai pemangku kepentingan terkait isu yang belakangan menjadi sorotan publik ini.

“Kemendikbudristek telah mengambil keputusan untuk membatalkan kenaikan UKT pada tahun ini dan kami akan merevaluasi semua permintaan peningkatan UKT dari PTN,” kata Nadiem usai menemui Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (27/5).

394 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *