Biaya Peluang Aksi Massa
Opini  

Biaya Peluang Aksi Massa

Markas Komando (Mako) Brimob Polda Metro Jaya dijaga ketat sejumlah personil Brimob di Kwitang, Jakarta Pusat. Foto: Antara

Oleh: Syafruddin Karimi*

Aksi massa selalu membawa biaya peluang (opportunity cost) bagi ekonomi. Dalam skenario aman, biaya utama muncul dari jam kerja yang hilang, gangguan logistik, dan penundaan transaksi harian. Meski begitu, aksi damai dapat menciptakan nilai jangka panjang: pemerintah terdorong lebih akuntabel, kebijakan jadi lebih responsif, dan premi risiko negara turun karena pasar melihat penyaluran aspirasi berjalan tertib.

Efek ini memperbaiki iklim investasi, menjaga arus modal, dan menstabilkan permintaan domestik. Dengan kata lain, biaya jangka pendek terbayar oleh perbaikan tata kelola yang menurunkan biaya modal dan meningkatkan kepastian berusaha.

Gambaran berubah total ketika aksi berujung rusuh, penjarahan, dan perusakan fasilitas publik. Opportunity cost melonjak karena aktivitas ekonomi berhenti, pusat perdagangan tutup, logistik terganggu, dan rantai pasok retak. Perusakan infrastruktur publik memaksa pemerintah mengalihkan anggaran ke rehabilitasi, sedangkan dunia usaha menanggung biaya penggantian aset, premi asuransi lebih tinggi, dan kehilangan pendapatan.

Baca juga: Menjaga Profesionalisasi DPR

Pasar keuangan merespons dengan volatilitas, biaya pendanaan naik, dan manajer risiko menunda keputusan investasi. Efek lanjutan menyasar konsumsi rumah tangga lewat psikologi ketakutan serta kenaikan harga barang pokok akibat hambatan distribusi.

Kenaikan anggaran keamanan menambah beban fiskal. Overtime aparat, BBM, logistik, perlengkapan pengendalian massa, serta penebalan operasi lapangan menekan belanja prioritas seperti pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial.

Realokasi ini mengurangi multiplier fiskal yang seharusnya menopang pertumbuhan. Jika kerusuhan berulang, pemerintah terjebak dalam siklus biaya keamanan yang tinggi, defisit melebar, dan ruang kebijakan menyempit. Investor membaca sinyal ini sebagai penurunan kualitas kebijakan, sehingga meminta imbal hasil lebih tinggi atau menunda penempatan dana.

Dalam kekacauan, aktor intelektual di balik mobilisasi dapat memetik keuntungan politik dan ekonomi. Pengendali narasi memperoleh daya tawar untuk menekan konsesi kebijakan, pialang politik menukar dukungan dengan akses rente, spekulan memanfaatkan volatilitas harga aset dan mata uang, sementara pelaku pasar gelap meraup laba dari penimbunan komoditas langka.

Baca juga: Vox Populi Vox Dei: Suara Rakyat Jadi Penentu Arah Bangsa

Keuntungan privat itu lahir dari biaya sosial yang ditanggung publik: hilangnya rasa aman, rusaknya fasilitas umum, dan turunnya kepercayaan pada institusi. Situasi ini mereduksi modal sosial, meningkatkan polarisasi, serta memperlemah legitimasi kebijakan makro yang dibutuhkan untuk menjaga stabilitas.

Kebijakan yang bijak meminimalkan opportunity cost dan menutup ruang rente. Pemerintah perlu mengamankan hak berkumpul damai dengan tata kelola pengamanan yang profesional; membuka investigasi independen pada insiden kekerasan; menjaga komunikasi terpadu BI–Kemenkeu agar pasar memperoleh kepastian arah; memperkuat jaring pengaman sosial di titik rawan; serta memulihkan fasilitas publik secara cepat dan transparan.

Pendekatan itu memotong insentif bagi aktor intelektual yang ingin memonetisasi kekacauan, menurunkan premi risiko, dan mengembalikan fokus ekonomi pada produktivitas, investasi, serta pertumbuhan berkelanjutan.

*) Guru Besar Departemen Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Andalas

4 kali dilihat, 5 kunjungan hari ini
Editor: Bethriq Kindy Arrazy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *