Opini  

Bila AS Menyerang Iran, Apa Selanjutnya?

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Foto: Bloomberg

Oleh: Achmad Nur Hidayat*

Di tengah gempuran bom yang menghujam tanah Persia dan ancaman global yang terus mengintai, kita menyaksikan babak baru dalam sejarah peradaban: konflik Israel-Iran yang berpotensi menyeret Amerika Serikat langsung ke medan perang.

Tetapi pertanyaan besar yang mesti diajukan dunia hari ini bukan sekadar tentang siapa menang atau kalah, melainkan Apa artinya bila AS benar-benar menyerang Iran?

Jawabannya suram: Dunia akan dipimpin oleh para agresor dan pembenci—bukan negarawan, bukan pemimpin bermoral, bukan pula peradaban yang adil.

Dunia yang Dipimpin oleh Agresor dan Haters

Kepemimpinan global sejatinya dibangun atas prinsip legitimasi moral, rasionalitas, dan stabilitas jangka panjang. Namun, dengan serangan militer ke Iran, wajah kepemimpinan internasional berubah total.

AS dan Israel bukan hanya tampil sebagai kekuatan militer, tetapi sebagai arsitek dominasi global yang tak segan menggulingkan rezim berdaulat atas nama “pencegahan ancaman”.

Seperti yang dikatakan banyak analis geopolitik, “Jika Iran jatuh, dunia akan jatuh di bawah satu kekuatan: Kekaisaran Amerika.”

Dan bila itu terjadi, kita telah resmi masuk ke dalam rezim internasional yang dipimpin oleh logika kekerasan, bukan konsensus.

Pernyataan Benjamin Netanyahu yang menyatakan bahwa “ini adalah pertempuran untuk bertahan hidup” justru mengungkap narasi ketakutan yang telah dikapitalisasi secara sistematis oleh kubu Zionis dan sekutunya.

Masalahnya bukan pada senjata nuklir Iran—karena bahkan Direktur Intelijen Nasional AS, Tulsi Gabbard, mengatakan bahwa Iran tidak sedang mengembangkan senjata nuklir.

Masalah utamanya adalah penolakan Barat terhadap kedaulatan Iran, terhadap kemerdekaan bangsa Timur, dan terhadap keberpihakan Iran kepada Palestina. Ini adalah perang ancaman peradaban, bukan sekadar pertarungan geopolitik.

Analogi Yugoslavia: Dari Disintegrasi ke Bencana Kemanusiaan

Mari kita lihat ke belakang: ingatkah kita pada Yugoslavia? Negara multietnis yang dipaksa bertekuk lutut oleh gelombang intervensi dan tekanan asing.

Pecahnya Yugoslavia bukanlah buah dari kehendak rakyat, tetapi hasil dari skema geopolitik dan intervensi yang dibalut narasi HAM.

Iran, sebagai negara multi-etnis (Kurdi, Azeri, Arab, Baluchi), berisiko mengalami hal yang sama jika jatuh akibat agresi asing. Kekacauan pasca-rezim dapat memicu perang saudara, disintegrasi, dan bencana kemanusiaan berskala besar.

Namun, Barat tampaknya tidak belajar dari Irak dan Libya. Irak dijatuhkan atas nama senjata pemusnah massal yang tak pernah ditemukan. Begitu pun Libya dihancurkan dengan dalih demokratisasi, dan hasilnya adalah negara gagal dengan perdagangan budak di abad 21.

Bila AS melanjutkan pola ini terhadap Iran, dunia akan menyaksikan sekali lagi bahwa kekuatan dominan di dunia justru menjadi fabrikator kehancuran, bukan penjaga perdamaian.

Geopolitik atau Penjajahan Gaya Baru?

Iran bukan hanya simbol pertahanan Palestina, tetapi juga penghubung strategis antara Asia Tengah, Timur Tengah, dan jalur energi global. Dalam skema geopolitik, kekuatan Iran mampu menahan ekspansi AS dan NATO ke jantung Eurasia.

Jika Iran dikendalikan Barat, Rusia kehilangan “tembok selatannya”, dan China kehilangan akses darat strategis ke Timur Tengah. Inilah mengapa perang ini tidak bisa dibaca secara sempit sebagai konflik Israel-Iran semata.

Ini adalah perang untuk menentukan arsitektur dunia pasca-hegemonik. Kita berada pada titik balik sejarah di mana dunia menghadapi dua pilihan: melanjutkan dunia multipolar dengan kekuatan yang seimbang, atau kembali ke dunia unipolar yang didominasi satu negara dan satu ideologi: neoliberalisme Barat.

Dan serangan AS terhadap Iran akan menjadi sinyal bahwa dunia telah menyerah pada pilihan kedua: dunia unipolar yang brutal.

Perang atas Nama Dusta, Diplomasi Dikesampingkan

Iran sebenarnya sudah menunjukkan niat baik melalui penandatanganan JCPOA pada 2015—kesepakatan internasional yang membatasi pengayaan uranium Iran secara ketat. Namun, kesepakatan ini dihancurkan secara sepihak oleh Presiden Trump pada 2018.

Dunia seolah lupa bahwa diplomasi telah dicoba, dan justru AS sendiri yang mencabutnya. Lalu, atas dasar apa AS dan Israel kini ingin kembali menyerang Iran?

Jawabannya sederhana: karena yang mereka kejar bukan denuklirisasi, melainkan regime change. Tujuan sebenarnya Israel dan Barat bukan denuklirisasi melainkan adalah perubahan rezim.

Barat tidak mau negara independen, apalagi yang mendukung Palestina sebagaimana yang diperankan Iran selama ini.

Bila Trump benar memutuskan akan menyerang Iran- keputusannya paling lama 2 pekan atau 6 Juli 2025 ke depan- Publik dunia akan melihat bahwa standar ganda AS telah menjelma menjadi agresor baru dalam politik internasional: siapa yang sejalan didukung, siapa yang melawan digulingkan.

Dampak Ekonomi Global: Dunia dalam Risiko Tinggi

Konsekuensi perang ini tidak hanya berupa kehancuran fisik dan politik, tetapi juga instabilitas ekonomi global.

Iran, sebagai salah satu penghasil minyak terbesar dunia, memegang peranan penting dalam rantai pasokan energi global.

Jika perang berkecamuk, blokade Selat Hormuz tidak dapat dihindari. Harga minyak bisa meroket hingga bahkan $150 per barel-saat ini 78 USD/barel, memicu inflasi global, krisis energi di Eropa dan Asia, serta memperburuk ketimpangan ekonomi global pasca-COVID.

Indonesia, sebagai negara net-importir minyak dan komoditas, juga akan terdampak keras. Saat ini harga batubara, emas, CPO sawit juga menunjukan tren yang meningkat.

Subsidi energi akan membengkak, nilai tukar rupiah bisa tertekan, dan harga pangan bisa naik drastis.

Dunia yang dipimpin agresor tidak hanya menebar peluru, tetapi juga inflasi dan penderitaan ekonomi di belahan bumi yang tak punya andil dalam keputusan perang.

Siapa Penjaga Keseimbangan Dunia?

Dalam kondisi ini, dunia membutuhkan alternatif kepemimpinan global. Sayangnya, PBB tampak lumpuh, dan Uni Eropa terbelah oleh kepentingan sendiri-sendiri.

Maka, munculnya koalisi Timur—Iran, Rusia, dan China—bisa dilihat sebagai penyeimbang baru yang menantang dominasi tunggal Barat. Bagaimana Indonesia? Indonesia bisa mengambil peranan penting bila dikelola oleh tim diplomasi smart.

Inilah mengapa kemenangan atau kekalahan Iran dalam konflik ini menjadi titik kritis arah sejarah dunia. Bila Iran berhasil bertahan, maka tatanan multipolar berpeluang tumbuh.

Tetapi bila Iran tumbang, kita akan menyaksikan the return of empire, di mana Gedung Putih menjadi pusat kekuasaan dunia, dan negara-negara lain tak lebih dari satelit tunduk.

Indonesia Harus Bersikap

Sebagai negara dengan konstitusi anti-penjajahan dan sejarah panjang solidaritas terhadap Palestina, Indonesia tidak boleh diam.

Kita harus bersuara di forum internasional: menyerukan penghentian agresi, membela kedaulatan bangsa lain, dan mendorong diplomasi.

Bukan karena kita berpihak pada Iran, tetapi karena kita berpihak pada dunia yang lebih adil, damai, dan bebas dari logika kekuasaan brutal.

Bila AS menyerang Iran dan dunia membiarkannya, maka bukan hanya Iran yang kalah—seluruh peradaban manusia akan tunduk pada para agresor dan para pembenci.

Dan ketika dunia dipimpin oleh mereka, maka siapa pun yang merdeka hari ini, bisa menjadi target berikutnya esok hari.

*) Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta

9 kali dilihat, 9 kunjungan hari ini
Editor: Bethriq Kindy Arrazy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *