Oleh Syafruddin Karimi*
Ketika Kanselir Jerman Friedrich Merz menyuarakan empat sasaran utama G7 terhadap konflik Israel–Iran—mencegah Iran memiliki senjata nuklir, menjamin hak Israel membela diri, menghindari eskalasi, dan membuka ruang diplomasi—ia mengungkap lebih dari sekadar posisi diplomatik Eropa. Ia menyingkap wajah asli moralitas Barat: selektif, strategis, dan tidak setara.
Di hadapan publik dunia, Eropa tampil sebagai pengusung perdamaian. Tapi siapa yang mendapat hak untuk membela diri? Dan siapa yang terus ditekan agar menyerah atas nama stabilitas?
Pernyataan Merz sangat mencolok karena menyiratkan satu hal: hak membela diri hanya berlaku bagi Israel. Iran, Palestina, dan semua pihak non-Barat tidak punya tempat dalam narasi moral itu. Di mana letak keadilan jika satu pihak terus diminta menahan diri, sementara yang lain didukung untuk menyerang atas nama pertahanan?
Eropa, yang masih dibayangi rasa bersalah atas Holocaust, telah menjadikan Israel sebagai pengecualian abadi dari standar internasional. Padahal, Eropa selalu saja menyanjung Israel sebagai penjaga demokrasi di Timur Tengah, melainkan juga pelaku pendudukan, blokade, dan pemboman terhadap warga sipil di Gaza dan Lebanon.
Baca juga: Iran Menolak Tekanan Trump!
Ketika serangan terhadap infrastruktur Iran dilakukan secara terbuka, dan ratusan warga sipil tewas, mengapa tak satu pun pemimpin G7 menyinggung “hak Iran untuk membela diri”? Ini bukan diplomasi. Ini dominasi.
Standar ganda inilah yang membuat dunia non-Barat harus bersikap waspada. Diplomasi yang disampaikan G7 bukan diplomasi netral. Ia sarat kepentingan, berpihak, dan kerap mengabaikan penderitaan pihak yang tak masuk aliansi strategis.
Dunia selatan, dari Jakarta hingga Johannesburg, dari Brasilia hingga New Delhi, harus berhenti menelan narasi Barat mentah-mentah. Perdamaian tidak akan lahir dari tekanan sepihak. Ia hanya bisa tumbuh jika semua pihak—termasuk Iran—dipandang sebagai aktor sah dalam sistem internasional.
Baca juga: Wajah Ketimpangan Moralitas G7
Ketika G7 mengklaim mendorong de-eskalasi, dunia harus bertanya: de-eskalasi untuk siapa? Jika yang dimaksud adalah menahan Iran, tapi tetap memberi kebebasan penuh bagi Israel melanjutkan kampanye militernya, maka itu bukan perdamaian. Itu pengukuhan ketimpangan. Dunia harus berhenti mempercayai “perdamaian” yang hanya nama lain dari kepatuhan terhadap kepentingan Barat.
Bagi Indonesia dan negara-negara Global South lainnya, ini adalah momen penting. Kita tak boleh terus menjadi objek dari percaturan kekuatan besar. Kita harus menjadi subjek yang merumuskan sendiri makna perdamaian: damai yang adil, setara, dan menghargai kedaulatan semua bangsa. Jika kita hanya diam, maka kita ikut melegitimasi tatanan dunia yang timpang.
Saat dunia menyaksikan G7 bersidang di pegunungan Kanada, pertanyaannya bukan lagi apakah Barat berpihak. Itu sudah jelas. Pertanyaannya: apakah dunia non-Barat masih mau menerima peta moral yang ditentukan oleh mereka?
*) Guru Besar Departemen Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Andalas