Minimnya informasi pada kemasan makanan bisa menyembunyikan ancaman serius bagi kesehatan masyarakat.
Oleh: Prof. Dr. Husaini, SKM., M.Kes – Akademisi ULM
Label pada produk makanan bukan sekadar pelengkap kemasan. Ia adalah instrumen penting dalam melindungi hak konsumen atas informasi dan kesehatan.
Label berfungsi menyampaikan informasi mengenai komposisi bahan, kandungan gizi, tanggal kedaluwarsa, serta petunjuk penyimpanan.
Tanpa label yang informatif dan akurat, konsumen rentan terhadap paparan bahan berbahaya seperti zat pengawet berlebihan, pewarna sintetis, atau kadar gula dan garam yang tinggi, karena semuanya berdampak serius bagi mereka yang memiliki alergi, diabetes, hipertensi, dan penyakit lainnya.
Label sebagai Perlindungan Konsumen
Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 secara tegas mewajibkan pencantuman label yang memuat informasi bahan baku, kandungan gizi, serta tanggal kedaluwarsa.
Tujuannya jelas: memberikan konsumen kendali atas apa yang mereka konsumsi dan melindungi mereka dari risiko kesehatan. Namun, penerapan aturan ini di lapangan masih menghadapi tantangan besar.
Banyak produk makanan, terutama yang dijual di pasar tradisional dan oleh pelaku usaha kecil, masih beredar tanpa label atau dengan label yang tidak memadai.
Menurut Sukmono et al. (2020), kendala seperti keterbatasan sumber daya, rendahnya pemahaman produsen, dan lemahnya pengawasan membuat regulasi tersebut tak berjalan optimal.
Risiko Kesehatan dari Makanan Tanpa Label
Ketiadaan label membuka celah terhadap paparan zat berbahaya. Studi Hapsari et al. (2022) menunjukkan bahwa makanan olahan di pasar tradisional kerap mengandung bahan pengawet berbahaya yang tak dicantumkan di label.
Tanpa informasi jelas, konsumen tidak mampu mengenali risiko kesehatan yang terkandung dalam makanan yang mereka beli.
Lebih lanjut, minimnya informasi nutrisi memperparah risiko penyakit kronis seperti diabetes, obesitas, dan penyakit jantung.
Konsumen yang tidak mengetahui kandungan gula, lemak, atau garam dalam makanan berisiko mengonsumsinya secara berlebihan. Ini sangat membahayakan kelompok rentan seperti lansia, anak-anak, atau penderita penyakit tertentu.
Implementasi Peraturan dan Kelemahan di Lapangan
Meskipun BPOM telah menetapkan peraturan yang komprehensif, pelaksanaannya di berbagai daerah masih lemah.
UMKM dan produsen kecil seringkali tidak mengetahui aturan atau tidak mampu memenuhi standar pelabelan karena terbatasnya akses laboratorium dan biaya pencetakan label.
Inspeksi yang tidak merata memperparah persoalan ini. Akibatnya, produk tanpa label atau label palsu masih banyak beredar, terutama di pasar tradisional dan wilayah pedesaan.
Rendahnya Kesadaran Konsumen
Temuan lapangan mengungkap bahwa banyak konsumen mengabaikan label saat membeli produk makanan. Mereka lebih mempertimbangkan harga dan tampilan kemasan.
Wawancara menunjukkan bahwa sebagian besar konsumen tidak tahu cara membaca label dengan benar. Hal ini menunjukkan perlunya edukasi menyeluruh agar masyarakat memahami pentingnya label sebagai alat perlindungan diri, bukan sekadar formalitas.
Untuk menanggulangi masalah ini, diperlukan langkah-langkah konkret, antara lain:
1. Peningkatan edukasi konsumen melalui kampanye publik, kurikulum sekolah, dan media sosial agar masyarakat memahami risiko dari makanan tanpa label.
2. Bantuan teknis dan finansial bagi UMKM agar mereka mampu memenuhi kewajiban pelabelan.
3. Peningkatan inspeksi dan pengawasan BPOM, khususnya di pasar tradisional dan wilayah pinggiran.
4. Penerapan sanksi tegas terhadap pelanggaran pelabelan, termasuk denda, penarikan produk, dan larangan produksi untuk pelanggaran berat.
Penutup
Label makanan bukan hanya informasi teknis—ia adalah bentuk perlindungan masyarakat dari ancaman kesehatan yang tersembunyi.
Pemerintah, produsen, dan konsumen perlu mengambil peran aktif agar semua produk makanan di Indonesia memiliki label yang lengkap, jelas, dan akurat.
Ketiadaan label sama saja dengan membiarkan masyarakat berjudi dengan kesehatan mereka sendiri.