OPINI
'Membaca' Rencana Penyatuan Bapanas dengan Perum Bulog
Oleh: Khudori*
Kalau segalanya berjalan sesuai rencana, keberadaan Badan Pangan Nasional (Bapanas) akan berakhir pada 31 Desember 2025. Pada saat itu Bapanas akan disatukan dengan Perum Bulog. Bapanas menjadi almarhum. Institusi yang dibentuk melalui Peraturan Presiden (Perpres) 66 Tahun 2021 dan mulai beroperasi pada Februari 2022 itu tinggal sejarah. Itu terjadi jika revisi UU Pangan No. 18/2012 mulus disetujui dan disahkan.
Di draf RUU Pangan versi 24 September 2025, Bapanas dan Perum Bulog disatukan menjadi Bulog. Institusi baru ini resmi berdiri pada 1 Januari 2026. Bulog bukan BUMN berbentuk perusahaan umum (perum) seperti saat ini. Tetapi entitas baru yang mengemban dua fungsi sekaligus: regulator dan operator. Dua fungsi yang selama ini terpisah itu digabung dalam satu institusi. Wewenang/tugas regulator pangan yang melekat di Bapanas dan fungsi operator Perum Bulog akan menyatu di Bulog.
RUU Pangan ini adalah inisiatif DPR, wabilkhusus Komisi IV DPR. Mengapa Bapanas disatukan dengan Perum Bulog? Di penjelasan bagian umum ditulis, "Untuk mewujudkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan diperlukan kelembagaan Pangan yang berwenang membangun koordinasi, integrasi, dan sinergi lintas sektor. Melalui revisi Bulog ditetapkan sebagai lembaga yang bertugas, berfungsi, dan berwenang menyelenggarakan urusan Pangan serta bertanggung jawab kepada Presiden."
Bab XII tentang Kelembagaan Pangan di UU Pangan yang terdiri Pasal 126-129 diubah menjadi Bab XII tentang Bulog di draf RUU Pangan. Bab XII ini tidak lagi memuat hanya 4 pasal, tapi dimekarkan menjadi 28 pasal. Khusus mengelaborasi keberadaan Bulog. Mulai dari pembentukkan Bulog; status dan tempat kedudukan; fungsi, tugas, dan wewenang; hubungan kelembagaan dan kerja sama hingga organ BULOG yang mencakup direksi dan dewan pengawas; syarat, pemilihan dan pemberhentian dewan pengawas dan direksi; aset; laporan; rancangan rencana strategis dan rencana anggaran tahunan.
Materi dalam perubahan ketiga UU Pangan itu sebetulnya juga mencakup ihwal cadangan pangan, kerawanan pangan, penyelamatan pangan, pendanaan pangan, dan sistem informasi pangan. Soal cadangan pangan misalnya, yang semula hanya untuk antisipasi kekurangan ketersediaan pangan, kelebihan ketersediaan pangan, gejolak harga pangan, dan keadaan darurat, kini diperluas untuk kerawanan pangan dan kekurangan kecukupan gizi. Ada tambahan pasal daerah (provinsi, kabupaten/kota) dan desa menyelenggarakan cadangan pangan. Pemerintah juga bisa memakai cadangan pangan masyarakat yang dimiliki pelaku usaha untuk pemenuhan kebutuhan cadangan pangan pemerintah.
Yang juga baru adalah soal penyelamatan pangan yang diatur dalam 5 pasal di bab tersendiri. Penyelamatan dilakukan dengan cara mencegah dan mengurangi sisa pangan. Intinya, pemerintah (pusat dan daerah) bertanggung jawab dalam penyelamatan pangan. Masyarakat bisa turut serta dalam penyelamatan pangan. Hal lain yang baru adalah soal pendanaan yang juga diatur di bab tersendiri dan sistem informasi pangan yang lebih powerfull. Terkait informasi pangan, ada pengaturan yang mewajibkan pelaku usaha pangan menyampaikan data dan informasi jumlah penyimpanan pangan pokok.
Namun demikian, secara keseluruhan RUU Pangan ini muatan utamanya adalah menyatukan Bapanas dan Perum Bulog menjadi Bulog. Bulog akan berkantor pusat dan berkedudukan di ibu kota negara. Bulog melaksanakan fungsi penyelenggaraan urusan pangan melalui koordinasi, perumusan, dan penetapan, serta pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan pangan. Fungsi-fungsi ini pada saat sekarang sebenarnya melekat di Bapanas.
Nantinya Bulog bertugas merumuskan dan menetapkan kebijakan sepanjang rantai pasok penyelenggaraan pangan, mencakup perencanaan, penyusunan neraca pangan, ketersediaan cadangan, stabilitas pasokan dan harga, pengelolaan dan jumlah cadangan, stabilisasi harga dan distribusi, kebutuhan ekspor dan impor, harga pembelian pemerintah, keterjangkauan, penganekaragaman, kerawanan, penyelamatan, keamanan, pengawasan, pemberian izin dan pengendalian impor, dan sistem informasi pangan.
Untuk pengadaan, Bulog bisa melakukan secara mandiri atau bermitra. Mencakup kemitraan budidaya dan pengadaan pangan, penyediaan benih unggul, penyediaan alat dan mesin pertanian, produksi pangan, pemantauan data pangan, pelaksanaan dan pengendalian impor yang ditetapkan pemerintah untuk dikelola Bulog, dan pengembangan industri pangan. Untuk pengelolaan, Bulog bisa juga melakukan secara mandiri atau bermitra. Ini mencakup penyimpanan dan pergudangan, pemerataan dan pendistribusian, perawatan kualitas, pengolahan, pelepasan, dan kegiatan pengelolaan lainnya.
Untuk penyaluran dan pengembangan pangan, Bulog pun bisa melakukan sendiri atau bermitra. Ini mencakup penyaluran pangan, diversifikasi produk pangan dan produk turunan, pengembangan pangan dari hasil samping, promosi aneka pangan, pengendalian ekspor pangan, dan pelaksanaan dan pengendalian distribusi pangan. Dalam pelaksanaan tugas pengadaan, pengelolaan, dan penyaluran itu Bulog bisa menugaskan BUMN pangan atau kerja sama dan dukungan atas kegiatan kementerian/lembaga atau pelaku usaha.
Untuk mendukung pelaksanaan tugas itu, Bulog dapat membentuk perusahaan beserta badan usaha turunannya melalui penyertaan modal atau badan hukum lain sesuai ketentuan atas persetujuan dewan pengawas. Jenis pangan yang menjadi tugas dan fungsi utama Bulog ada 6: beras, jagung, kedelai, gula konsumsi, daging ruminansia, minyak goreng, dan pangan lainnya. Sementara cakupan yang diurus Bapanas saat ini ada 9: beras, jagung, kedelai, gula konsumsi, daging ruminansia, bawang, daging unggas, telur unggas, dan cabai. Namun, yang diurus Bulog bisa saja bertambah banyak jika presiden menambah cakupan lewat kewenangan penetapan "pangan lainnya".
Apa yang bisa dibaca dari rencana ini? Pertama, ada keinginan menghadirkan institusi yang kuat dalam penyelenggarakan urusan pangan. Ini didasari oleh semacam kekecewaan dari wakil rakyat atas kinerja Bapanas yang dinilai kurang optimal mengoordinasikan, mengintegrasikan, dan mensinergikan lintas sektor di bidang pangan. Karena itu, mereka hendak memperkuat Perum Bulog dengan menaikkan posisinya setara kementerian. Langkah itu bertemu dengan keinginan Presiden Prabowo yang hendak mengembalikan Perum Bulog seperti di era orde baru: menyatukan fungsi regulator dan operator.
Jauh sebelum Prabowo dilantik jadi Presiden, ia sudah membentuk Tim Asistensi dan Teknokrasi Transformasi Kelembagaan Bulog. Tim merekomendasikan Perum Bulog kembali pada fungsi semula sebagai penyangga pasokan dan stabilisasi harga pangan nasional. Dalam rapat dengar pendapat dengan Perum Bulog, 5 November 2024, Komisi IV DPR menyetujui itu. Bahkan, dalam diskusi kelompok terpumpun Perum BULOG dengan Komisi IV DPR, 7 November 2024, revisi UU Pangan inisiatif DPR jadi salah satu alternatif.
Kalau kemudian rencana revisi UU Pangan ini sepertinya akan mulus-mulus saja, bisa dimaklumi. Intinya, Perum Bulog --yang digabung dengan Bapanas menjadi Bulog-- harus diperkuat dengan mengintegrasikan fungsi regulator dan operator. Wewenang tak lagi terbatas yang ditugaskan pemerintah, tapi menyelenggarakan pangan pokok sesuai yang ditentukan presiden. Orientasinya tak lagi campuran profit dan pelayanan publik, tapi melaksanakan penugasan skema APBN dan non-APBN serta tak berorientasi profit.
Kedua, status kelembagaan Bulog adalah Lembaga Pemerintah Lainnya (LPL), seperti diatur Pasal 25 Ayat 3 UU Nomor 61/2024 tentang Perubahan UU Kementerian Negara. Jadi, status Bulog bukan lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK atau LPND di masa lalu), bukan lembaga non-struktural, bukan perum atau lembaga sui generis seperti BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. LPL ini adalah eksperimentasi baru.
Yang patut diwaspadai adalah potensi berulangnya Buloggate. Di masa lalu status Bulog adalah LPND, yang bertindak sebagai pemerintah, pedagang, dan pengawas sekaligus. Sebagai LPND aturan keuangan tunduk pada UU terkait pengelolaan keuangan negara. Karena bukan BUMN/badan usaha, Bulog LPND tak dituntut meraih keuntungan. Namun, dalam praktik, Bulog LPND melakukan usaha seperti BUMN/badan usaha, yang ada untung-rugi. Tiap keuntungan dimasukan ke kas nonbujeter. Kas inilah yang (selalu) jadi incaran penguasa dan politikus, yang sempat mengguncang politik negeri ini.
Nantinya, Bulog LPL memang bukan BUMN/badan usaha. Akan tetapi, dalam praktik, Bulog LPL melakukan usaha seperti BUMN/badan usaha, sebagaimana Bulog LPND di masa lalu. Di draf RUU Pangan diatur khusus pendapatan Bulog, yang bersumber dari dana pemulihan atas pelaksanaan tugas Bulog, pendapatan dari kegiatan usaha, dan sumber pendapatan lain yang sah sesuai ketentuan peraturan perundangan. Memang ada Dewan Pengawas yang diharapkan menjaga tata kelola Bulog. Akan tetapi, terbuka peluang 'transaksi politik' karena Dewan Pengawas harus melalui fit and proper test di DPR.
Ketiga, DPR dan pemerintah sepertinya lupa atas yang mereka ukir ihwal kelembagaan pangan di UU Pangan. Di Pasal 126 dan 127 UU Pangan ditulis, "...dibentuk lembaga Pemerintah yang menangani bidang Pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden" dan "mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang Pangan". Rumusan ini melahirkan Bapanas dengan status LPNK, bukan kementerian.
Ketika saya terlibat membahas Perpres Bapanas di Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan pada 2013-2014, tim sudah menyadari institusi baru turunan UU Pangan ini akan powerless. Bahkan, saya masih ingat anggota Pokja yang juga Guru Besar Fakultas Pertanian UGM Maksoem Mahfoed berkukuh sebaiknya tidak dibentuk institusi pengurus pangan jika diyakini powerless. Bagi dia dan Pokja, institusi pengurus pangan harus kuat. Karena pangan bersifat multidimensi, multisektor, dan multiaktor. Sebelum ada Bapanas, urusan pangan ditangani 19 K/L, salah satunya Kementerian Pertanian.
Belakangan diketahui pembentukan Bapanas adalah hasil 'kompromi politik'. Ini tampak dari, pertama, pembentukannya molor lebih 6 tahun. Kedua, kewenangan yang diterima baru dari tiga kementerian (Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian BUMN). Itu pun yang dialihkan masih terbatas. Ketiga, bentuknya badan membuat Bapanas bukan peserta rapat kabinet. Apalagi, oleh K/L lain, Bapanas dianggap "tidak setara", "lebih rendah", bahkan disetarakan dengan eselon I. Jadi, hemat saya, Bapanas adalah anak haram yang tidak dikehendaki kelahirannya oleh K/L.
Keempat, imajinasi membentuk lembaga kuat seperti Bulog di masa lalu perlu ditimbang ulang. Bulog kuat di masa lalu karena, pertama, perlindungan langsung Presiden Soeharto. Bagi Soeharto, beras dan Bulog adalah pertahanan terakhir (Ali dkk, 1998). Kedua, bentuk organisasinya ekstra-konstitusional. Ketiga, lingkungan politik yang mendukung: monolitik di tangan Presiden Soeharto. Saat itu ihwal transparansi dan akuntabilitas bukan soal penting. Efektivitas yang menjadi pertimbangan utama.
Untuk menjadikan Bulog baru kuat, pemerintah dan DPR mencoba mendesain lewat revisi UU Pangan. Namun demikian, poin ketiga, yakni lingkungan politik, sudah jauh berubah dari orde baru. Melalui otonomi daerah dan desentralisasi, pusat dan daerah berbagi peran. Selain itu, tata kelola yang baik, transparansi, dan akuntabilitas saat ini jadi hal penting. Bagaimana Bulog menerbitkan HPP dan HET lalu mengimplementasikan sendiri? Atau bagaimana Bulog baru memberikan izin impor kepada dirinya sendiri?
Kelima, pragmatisme (politik). Regulasi yang jadi objek perubahan adalah UU Pangan. Judulnya pun tidak berubah. Akan tetapi, di dalamnya, ada bab khusus mengatur detail ihwal Bulog. Idealnya, pembentukan institusi baru seperti ini didasarkan pada UU baru. Langkah 'mencangkok-kan' pasal-pasal penyatuan Bapanas dan Perum Bulog adalah cara mudah dan kilat. Padahal, merujuk Maria SW Sumardjono (2020), perubahan yang dilakukan terhadap suatu ketentuan yang dibangun berdasarkan filosofi, konsepsi dan asas/prinsip tertentu tak dapat dilakukan dengan mengubah/mengganti filosofi, konsepsi dan prinsip dasarnya. Dikhawatirkan yang terjadi justru "penyimpangan".
Jika langkah ini berjalan mulus itu berarti untuk kesekian kalinya pemerintahan yang dipimpin Presiden Prabowo melakukan eksperimen baru. Jika sebelumnya menambah formasi K/L di Kabinet Merah Putih dengan memecah beberapa kementerian, kali ini menyatukan dua institusi: Bapanas dan Perum Bulog. Tentu ada risiko: untuk benar-benar operasional perlu waktu penyesuaian. Bisa setengah tahun, setahun atau lebih. Semakin lama waktu adaptasi akan semakin besar ongkos yang ditanggung.
Hemat saya, akan lebih baik jika pemerintah dan DPR menaikkan level Bapanas menjadi Kementerian Pangan yang menterinya merangkap Kepala Bulog. Bulog menjadi bagian penuh dari Kementerian Pangan. Bukan hanya operator seperti saat ini. Dengan cara ini, Kementerian Pangan bisa bertindak sebagai regulator dan eksekutor sekaligus.
Tentu, dengan keberadaan Kementerian Koordiantor Pangan di Kabinet Merah Putih saat ini, tugas dan wewenang Kementerian Pangan mesti ditata agar tidak tumpang tindih. Dengan mandat yang kuat dan jelas, yang terumuskan dalam fungsi, tugas, dan wewenang, Kementerian Pangan dan Bulog berpotensi menjadi pengubah permainan (game changer) tata kelola pangan. Catatannya, Kementerian Pangan dan Bulog mesti diperkuat sebagai penyangga pasokan dan stabilisasi harga pangan nasional.
*) Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan 2010-2020
Editor:
BETHRIQ KINDY ARRAZY
BETHRIQ KINDY ARRAZY




