oleh Penulis & Novelis RANDU ALAMSYAH
DALAM perjalanan kembali ke Jakarta dari acara PKS di BSD City baru-baru ini, Syaifullah Tamliha mencoba menghubungi Saidi Mansyur–rivalnya dalam kontestasi Pilkada Kabupaten Banjar November nanti.
Terdengar dering beberapa kali, namun telepon tak kunjung diangkat. “Jika benar politisi sejati, dia akan menelepon balik,” kedip Syaifullah kepada saya ditingkahi bising kemacetan jalan tol Tangerang-Jakarta.
Semenit kemudian, handphone Syaifullah berdering. Di layar, Syaifullah melirik: itu sang Bupati Banjar Saidi Mansyur. Meski sambungannya putus-putus, infleksi suara yang terdengar begitu akrab, seolah keduanya tidak sedang berada di ambang persaingan pemilu.
Sebagaimana tradisi setiap politisi hebat: Keduanya saling memuji. Syaifullah mengakui kegesitan Saidi yang berhasil mengamankan dukungan PAN, sementara Saidi dengan jujur mengutarakan ketakjubanya karena berhasil mendapatkan dukungan PKB tanpa mahar.
“Hebat pian lah,” ucap Saidi.
Syaifullah hanya terkekeh ringan. Terlalu panjang cerita yang bisa dibagikan dalam satu sambungan telepon. Saya bercanda bahwa mungkin saja misteri PKB dan Syaifullah akan mengangkat penjualan buku biografi Syaifullah Tamliha yang sedang dalam proses penerbitan.
Suatu hari di pengujung tahun 1994, Syaifullah Tamliha mendatangi Muhaimin Iskandar. Ketua PC PMII Banjarbaru itu mendengar kabar bahwa seniornya yang baru sehari lalu terpilih sebagai Ketua Umum PB PMII itu berada di Banjarmasin. Pasca Kongres yang sengit di Samarinda, Muhaimin yang membawa rombongan besar PMII melalui jalur darat, rupanya kehabisan ongkos untuk pulang ke Jawa.
Setelah mengetahui kesulitan yang dialami, Syaifullah kemudian melobi Wakil Ketua DPRD Kalimantan Selatan, KH Syafriansyah. Sang tokoh NU itu setuju menempatkan rombongan mahasiswa yang berjumlah sekitar 30 orang itu, tidur di di kantor PWNU Kalimantan Selatan di Bundaran Hasanuddin Banjarmasin.
Esoknya, Syaifullah meluncur menuju kantor Gubernur Kalimantan Selatan di Jalan Sudirman Banjarmasin. Dia menceritakan situasi yang sedang dihadapi sang keponakan Gus Dur itu dan para simpatisannya kepada sang gubernur. Gubernur Muhammad Said dengan prihatin mencari tahu lebih jauh tentang kondisi rombongan ini.
“Coba Syaifullah, kamu hitung berapa orang mereka dan berapa biaya yang diperlukan untuk pulang ke sana,” ucap sang gubernur.
Syaifullah merincikan dengan cepat dalam sebuah kertas. Setelah beberapa menit corat-coret, dia menemukan angka Rp 7 juta. Itu jumlah yang lumayan besar di tahun 90-an.
“Begini saja,” ucap Gubernur Said setelah mendengarkan jumlah yang diperlukan. “Karena Muhaimin ingin segera bertemu dengan ibunya, dia sendiri saja yang naik pesawat.”
“Terus timnya bagaimana, Pak?” tanya Syaifullah.
“Timnya semua cukup belikan tiket kapal Kelimutu.”
Gubernur Said kemudian memberikan sejumlah uang untuk tiket pesawat melalui ajudannya, Zainal Mukhlisin, untuk diteruskan kepada KH Syafriansyah. Gedung DPRD Kalimantan Selatan hanya sepelemparan batu dari kantor gubernur, ke sanalah uang itu diantar dalam sebuah amplop besar.
Uang itu bukan hanya menjadi tiket bagi Muhaimin Iskandar untuk pulang, namun juga, dalam arti tertentu, menjadi tiket bagi Syaifullah Tamliha untuk go nasional. Tak sampai sebulan sejak keberangkatan Muhaimin Iskandar ke Jawa, Syaifullah Tamliha mendapatkan surat dari PB PMII.
Dia diminta secara pribadi oleh Muhaimin Iskandar untuk menjadi Ketua Lembaga Pemberdayaan dan Pengembangan Perekonomian Masyarakat PB PMII. Muhaimin mungkin terkesan dengan cara Syaifullah mendapatkan donasi. Dia berpikir barangkali Syaifullah akan menjadi tim yang baik di PB PMII.
Penilaian Muhaimin terbukti. Di tangan duo Muhaimin-Syaifullah, PB PMII menjadi organisasi yang merepresentasikan kekuatan politik dan ekonomi mahasiswa, khususnya di ibukota. Muhaimin mempercayakan Syaifullah untuk mewakilinya menghadiri acara-acara resmi yang mengundang sang ketua umum.
Dalam beberapa acara yang sangat penting, dua orang pemuda ini tampil kontras. Karena mengurusi bidang ekonomi, Syaifullah selalu tampil berjas berdasi, lebih terlihat sebagai seorang pengusaha dibanding anggota organisasi mahasiswa.
Meski reputasi Syaifullah Tamliha naik dengan cepat di kalangan publik politik ibukota, namun Muhaimin Iskandar tak pernah merasa tersaingi. Dalam beberapa hal, Muhaimin tampaknya mengorkestrasi sebuah situasi di mana ia dan Syaifullah mengambil dua pendekatan yang berbeda, bahkan saling berlawanan, untuk bisa menyelaraskan opini politik dengan kepentingan organisasi.
Syaifullah Tamliha dan KH Idham Chalid berakrab-akrab ria dengan pemerintah orde baru, khususnya Soeharto, sementara Muhaimin Iskandar dan Gus Dur mengambil posisi sebaliknya. Pembagian peran yang dimainkan keduanya begitu canggih karena membentuk dinamika jungkat-junggit yang di belakang layar saling menyeimbangkan antar pemerintah dan para oposisi.
Bagaimanapun, politik tak selalu permainan saling menyeimbangkan. Ini lebih mirip rollercoaster dalam wahana di pasar malam: meluncur cepat dalam kegelapan pada tensi dan situasi yang berubah-ubah. Pasca Muktamar Cipasung, muktamar paling sengit dalam sejarah NU, Syaifullah dan Muhaimin mendapati diri mereka tiba-tiba berada di dua kubu yang berbeda.
Syaifullah, atas permintaan KH Idham Chalid berada di kubu Abu Hasan, sementara Muhaimin masih mendampingi Gus Dur. Meski Syaifulah memiliki foto Gus Dur di atas meja kerjanya, namun dia harus menekan semua penilaian objektifnya, dan berkeliling bersama Abu Hasan untuk menggalang dukungan “NU tandingan” dari pengurus cabang dan wilayah di seluruh Indonesia.
Dalam pusaran konflik di tubuh PBNU, kedua sahabat ini terjebak. Mereka harus menyeimbangkan dirinya—berjingkat-jingkat ke arah sana, berjingkat-jingkat ke arah sini—untuk menghindari ketersinggungan dari kedua belah pihak. Syaifullah bersama dengan Muhaimin Iskandar, berusaha untuk mencari solusi damai antara Gus Dur dan Abu Hasan.
Pada akhirnya Gus Dur lah yang kemudian, dengan caranya yang selalu unik, memutuskan keragu-raguan sikap mereka. Melalui pemberitaan di Harian Merdeka, Gus Dur mengatakan Syaifullah Tamliha beserta anak buahnya di bidang ekonomi PMII berencana makar kepada Muhaimin Iskandar dengan cara mengubah Rapimnas PMII di Palembang menjadi Kongres Luar Biasa untuk melengserkan ketua umum.
Meski pada akhirnya Gus Dur mengklarifikasi hal itu langsung kepada Syaifullah, namun Syaifullah terlanjur merasakan perseteruan Gus Dur dengan Abu Hasan akhirnya berimbas pada organisasinya, dan juga persahabatannya dengan Muhaimin Iskandar.
Pasca reformasi, kedua aktivis ini akhirnya menempati rumah yang berbeda. Muhaimin Iskandar yang belakangan populer dipanggil Cak Imin bersama Gus Dur mendirikan PKB, sementara Syaifullah Tamliha masih setia dengan “jalan Kakbah” bersama dengan KH Idham Chalid.
Melalui PPP, Syaifullah Tamliha menjadi Anggota DPRD Kalimantan Selatan. Hanya lima tahun di Banjar dia kemudian mencalonkan diri sebagai anggota DPR RI di tahun 2009. Ketika terpilih pertama kali menjadi wakil rakyat di Senayan, Muhaimin Iskandar menghampiri Syaifullah dalam pelantikan dan berbisik: Selamat, sampai juga ente di Senayan…
Selama tiga periode, PPP dan PKB mengalami pasang surut di tengah dunia perpolitikan Indonesia yang ricuh. Konflik internal, friksi, perbedaan arah dukungan, dan pengkhianatan adalah episode yang tak berkesudahan di tubuh partai-partai Islam ini. Baik Muhaimin Iskandar maupun Syaifullah Tamliha menghadapi perang mereka masing-masing, membuat kedua sahabat ini akhirnya jarang sekali berkomunikasi.
Di tahun pemilu 2024, PPP tak mampu menembus ambang batas di Senayan, sementara PKB menjadi salah satu partai pemenang. Syaifullah yang ingin meneruskan kiprahnya dalam politik, berniat mencalonkan diri sebagai kepala daerah di Kabupaten Banjar. Dalam usahanya untuk mendapatkan dukungan partai pengusung, Syaifullah membuka jalur komunikasi dengan PKB.
Siapapun yang berkecimpung dalam dunia politik pasti mengetahui bukan hal yang mudah untuk mendapatkan dukungan partai dalam Pilkada. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa partai-partai tertentu memiliki semacam mahar untuk menerbitkan SK dukungannya. Dalam dunia politik ini semacam etiket dagang yang suplai dan permintaannya telah mapan dengan angka-angka yang sudah ditentukan.
Sejak awal, banyak yang mengira bahwa mekanisme pasar ini juga akan berlaku bagi Syaifullah Tamliha dalam hubungannya dengan PKB. Sebagai partai yang terafiliasi secara kultural dengan NU, semua kontestan berusaha mengamankan tandatangan Muhaimin Iskandar dalam SK dukungan. Jika ingin mencalonkan diri melalui partai ini, Syaifullah harusnya membayar sejumlah uang kepada PKB.
Namun asumsi ini mengabaikan satu hal, begitupun anehnya dalam dunia politik : persahabatan. Syaifullah Tamliha dan Muhaimin Iskandar telah mengembangkan semacam persahabatan langka dalam dunia politik kita yang gersang, gegas, kejam dan semakin berorientasi pada uang.
Lebih dari uang, persahabatan Syaifullah-Cak Imin disepuh selama puluhan tahun. Keduanya mungkin pada akhirnya tidak berada di ruang yang sama, namun baik Syaifullah dan Muhaimin besar dalam rahim aktivisme, didikan, ideologi, figur panutan, visi dan cita-cita yang sama. Dalam level ini, uang mahar seberapapun akhirnya terlihat remeh dan tidak relevan.
Di kesemuanya, saya memuji bukan hanya persahabatan Syaifullah dan Cak Imin tapi juga kedewasaan Syaifullah dan Saidi Mansyur dalam menjalin komunikasi. Jika ada hal yang seharusnya diajarkan politik abad ke-21 kepada kita adalah bahwa sedikit hal dalam hidup ini yang hitam dan putih, bahwa sebagian besar realitas manusia, utamanya politik melibatkan nuansa abu-abu yang kompleks.
Politik dalam demokrasi kita hanyalah usaha terus-menerus untuk mencari opsi yang terbaik bagi semua. Di dalamnya, harus ada saling memberi dan menerima, dialog dan kompromi di antara berbagai kepentingan. Jangan kita mereduksinya menjadi permainan kalah-menang, atau apalagi hanya “bebanyak-banyakan duit.”()
*Penulis Biografi Syaifullah Tamliha: Kakbah Sejak Pikiran