OPINI
MBG dan Ujian Kepercayaan Publik

Oleh: Usep Saepul Ahyar dan Dimas Ramadhan*
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah janji kampanye Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang paling menonjol.
Sejak awal diluncurkan, program ini dimaksudkan bukan sekadar intervensi gizi bagi anak sekolah, balita, ibu hamil, dan ibu menyusui, melainkan juga untuk memberdayakan UMKM dan mendorong produksi pangan lokal.
Namun, dalam praktiknya, tujuan mulia ini justru menjadi sorotan tajam dari publik, bukan karena keberhasilan, tetapi sebab kontroversi, terutama soal anggaran jumbo, persoalan teknis, hingga kasus keracunan massal yang mencoreng wajah program ini.
Banyak yang menilai bahwa sebenarnya, sorotan publik tersebut sangat wajar dan diperlukan. Anggaran MBG yang mencapai Rp171 triliun, dirasakan masyarakat sebagai sesuatu yang kurang adil. Angka itu terbilang sangat besar jika dibandingkan dengan program lain yang sama-sama penting.
Bandingkan dengan program peningkatan kesejahteraan guru honorer, misalnya, yang nilainya Rp11,5 triliun. Padahal guru yang menjadi pilar utama pendidikan ini sudah lama tidak diperhatikan kesejahteraannya dengan baik. Tidak heran bila muncul kritik tajam bahwa program ini menyedot porsi APBN secara tidak proporsional.
Niatnya memang mulia, tetapi publik berhak mempertanyakan apakah dana sebesar itu benar-benar akan menghasilkan dampak nyata atau justru membebani sektor lain yang krusial bagi kualitas pendidikan dan kesejahteraan sosial.
Tata Kelola dan Legitimasi
Namun, masalah MBG bukan hanya soal angka, tetapi lebih mendalam pada cara program ini dijalankan di lapangan. Selain besarnya anggaran, masalah lain yang justeru paling mendasar adalah lemahnya tata kelola MBG.
Laporan tentang siswa yang keracunan, makanan basi, distribusi tidak tepat waktu, hingga standar higienitas yang buruk memperlihatkan rapuhnya sistem pengawasan.
Kasus keracunan massal di Kabupaten Bandung Barat pada September 2025, dengan lebih dari 1.000 siswa korban keracunan, menjadi peringatan keras bahwa aspek keamanan pangan terabaikan. Jika masalah elementer seperti higienitas tidak mampu dijamin, bagaimana mungkin program sebesar ini bisa bertahan?
Selanjutnya, guru dan sekolah juga ikut menanggung tambahan beban. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat banyak sekolah diminta menyediakan tenaga tambahan dan fasilitas tanpa kompensasi memadai.
Ada guru yang diwajibkan mencicipi makanan lebih dulu, meski dia jelas tidak memiliki kapasitas melakukan pengendalian mutu. Bahkan ada sekolah yang terpaksa membeli kembali peralatan makan yang rusak. Situasi ini menimbulkan kesan bahwa negara justru melempar tanggung jawab ke pihak yang seharusnya menjadi penerima manfaat.
Sesungguhnya, keberhasilan program makan bergizi gratis tidak hanya ditentukan oleh kelancaran distribusi makanan, tetapi juga oleh kepercayaan publik. Survei Populi Center pada Februari 2025 menunjukkan sekitar 70 persen masyarakat mendukung program ini, dengan tingkat pengetahuan publik mencapai 91,5 persen.
Angka itu semestinya menjadi modal politik besar untuk menjalankannya dengan baik. Namun jika dicermati, dukungan tersebut masih rapuh, lebih didorong oleh harapan dan optimisme, bukan pengalaman nyata atas hasil program di lapangan.
Dari sisi politik, dukungan besar terhadap program makan bergizi gratis memang banyak datang dari pemilih Prabowo - Gibran dan partai koalisinya. Data ini penting dicermati karena berpotensi menjadi isu partisan. Dukungan publik tidak semata muncul dari penilaian atas manfaat program, tetapi juga karena kedekatan politik.
Jika persepsi ini terus menguat, masyarakat bisa memandang MBG sebagai proyek politik yang nasibnya bergantung pada siapa yang berkuasa. Karena itu, pemerintah perlu menegaskan netralitas program ini melalui indikator keberhasilan yang jelas serta proses rekrutmen pengelola yang transparan dan objektif.
Ke depan, tantangan utama bukan hanya menjaga dukungan politik, tetapi memastikan program ini berjalan di atas siklus pergantian kekuasaan.
Kunci Keberlanjutan
Indonesia sesungguhnya bukan satu-satunya negara yang melaksanakan semacam program makan gratis ini, negara lain juga telah melakukannya. Sebaiknya pemerintah belajar juga dari pengalaman negara lain.
Di Brasil misalnya, program makan bergizi bisa bertahan karena pengawasan ketat, partisipasi komunitas, dan konsistensi standar gizi. Di India, mid-day meal sukses karena melibatkan sekolah dan masyarakat dalam pengelolaan (Drèze & Goyal, 2003; Aurino et al., 2019).
Namun, keberhasilan tersebut tidak terjadi dalam semalam. Mereka memiliki sistem gizi sekolah yang sudah terbangun bertahun-tahun dan konsisten dalam pengawasan. Kuncinya jelas: tanpa standar higienitas yang konsisten dan partisipasi lokal, program sebesar MBG mudah kehilangan legitimasi.
Karena itu, pemerintah harus segera memperbaiki aspek-aspek fundamental, antara lain pertama, melembagakan MBG melalui undang-undang, agar keberadaannya tidak bergantung pada dinamika politik jangka pendek.
Kedua, membangun mekanisme pengawasan independen, audit transparan, dan sistem pengaduan publik yang responsif, sehingga kasus keracunan tidak terulang. Ketiga, memastikan keterlibatan UMKM lokal dengan sertifikasi higienitas agar manfaat ekonomi program benar-benar dirasakan masyarakat.
Di samping itu, perbaiki strategi komunikasi publik agar kepercayaan publik meningkat dan tentu agar kecerobohan dalam komunikasi tidak perlu terulang kembali. Komunikasi publik yang baik sangat diperlukan, sebab kelompok masyarakat berpendidikan tinggi dan masyarakat perkotaan cenderung lebih kritis dan skeptis terhadap efektivitas program.
Untuk itu, pemerintah harus menyajikan data yang transparan mengenai capaian gizi, progres angka penurunan stunting, keamanan pangan, serta dampak sosial-ekonomi dari program tersebut. Hanya dengan transparansi dan bukti nyata, kepercayaan publik dapat dijaga.
Keberlanjutan MBG juga menuntut integrasi dengan sistem perlindungan sosial yang lebih luas. Anggaran perlu dikelola bertahap dan realistis, termasuk melalui pembiayaan bersama dengan pemerintah daerah.
Evaluasi dampak jangka panjang harus dilakukan, bukan hanya untuk mengukur penurunan stunting, tetapi juga untuk melihat apakah program ini benar-benar memperkuat ketahanan pangan nasional atau malah mengganggu system ketahanan pangan kita.
Pada akhirnya, MBG adalah ujian besar bagi pemerintah. Bukan hanya ujian teknis tentang distribusi makanan, tetapi juga ujian politik: mampukah pemerintah mengubah janji populis ini menjadi kebijakan publik yang berkelanjutan.
Jika perbaikan dilakukan serius, MBG berpotensi menjadi warisan penting dalam sejarah kebijakan sosial Indonesia. Tetapi bila dibiarkan berjalan secara ugal-ugalan, ia hanya akan tercatat sebagai simbol mahalnya populisme yang gagal menjawab harapan publik.
*) Usep Saepul Ahyar merupakan Dosen Sosiologi di Universitas Serang (Banten)
*) Dimas Ramadhan merupakan Anggota Asosiasi Ilmu Politik Indonesia

Editor:
BETHRIQ KINDY ARRAZY
BETHRIQ KINDY ARRAZY