OPINI
The New China Playbook: Sebuah Pelajaran Buat Sistem Ekonomi Pancasila
Oleh: Syafruddin Karimi*
Kita sering menyebut Sistem Ekonomi Pancasila sebagai jalan tengah antara kapitalisme dan sosialisme. Tetapi jujur saja, praktiknya sering berhenti pada jargon. Buku The New China Playbook karya Keyu Jin membuka mata kita bahwa “jalan tengah” hanya berarti sesuatu jika negara berani membangun desain kelembagaan yang konkret, disiplin, dan terukur.
Tiongkok tidak sekadar menulis visi di dokumen resmi. Mereka mengubah tata kelola birokrasi, insentif kepala daerah, dan arah pembiayaan untuk mengejar tujuan jangka panjang.
Pelajaran pertama bagi Sistem Ekonomi Pancasila adalah pentingnya eksperimen terarah. Tiongkok menguji kebijakan di wilayah tertentu, mengukur hasilnya, lalu memperluas yang berhasil. Negara bertindak sebagai “arsitek” yang aktif, bukan sekadar “penjaga gawang” yang sibuk membagi bantuan.
Jika kita sungguh-sungguh ingin menghadirkan keadilan sosial, kita perlu menata ulang hubungan pusat–daerah, BUMN–swasta, dan regulasi–inovasi dengan semangat uji coba yang terukur, bukan sekadar menyalin program dari pusat ke daerah tanpa evaluasi.
Pelajaran kedua menyentuh soal produktivitas. Jin menekankan bahwa keunggulan Tiongkok lahir dari kombinasi investasi besar, teknologi, dan inovasi adaptif. Sistem Ekonomi Pancasila sering kita tafsirkan sebagai perlindungan sosial, tetapi terlalu sedikit berbicara tentang loncatan produktivitas.
Jika kita mengatasnamakan Pancasila untuk mempertahankan struktur ekonomi rendah produktivitas, kita justru mengkhianati sila Keadilan Sosial. Tanpa produktivitas tinggi, keadilan hanya menjadi slogan karena kue yang dibagi terlalu kecil.
Pelajaran ketiga adalah peringatan. Buku ini banyak memuji kemampuan negara mengarahkan ekonomi, tetapi kritik terhadap ketimpangan, represi, dan bias data juga menguat. Di sinilah Pancasila harus berdiri tegak. Indonesia tidak boleh meniru disiplin ekonomi Tiongkok dengan mengorbankan demokrasi, kebebasan sipil, dan penghormatan terhadap martabat manusia. Justru keunggulan kita terletak pada kemampuan menggabungkan efisiensi kebijakan dengan akuntabilitas dan partisipasi rakyat.
The New China Playbook mengingatkan kita bahwa “jalan tengah” tidak cukup dinyatakan, tetapi harus diinstitusikan. Sistem Ekonomi Pancasila perlu bergerak dari retorika ke rekayasa kelembagaan: memperkuat kapasitas negara, mendorong produktivitas, dan tetap menjaga demokrasi. Jika kita berani belajar dengan sikap kritis, Indonesia bisa menjadikan Pancasila bukan hanya identitas, tetapi strategi pembangunan yang nyata dan unggul.
*) Guru Besar Departemen Ekonomi, FEB, Universitas Andalas
Editor:
BETHRIQ KINDY ARRAZY
BETHRIQ KINDY ARRAZY