OPINI

Drama Mikro China yang Menyihir Layar Kita

Sejumlah peserta mengenakan pakaian adat tradisional China dan kostum serial drama kera sakti saat mengikuti parade perayaan Cap Go Meh 1000 Naga di kawasan Karangturi Grand Padma, Semarang, Jawa Tengah, Jumat (23/2/2024).
Sejumlah peserta mengenakan pakaian adat tradisional China dan kostum serial drama kera sakti saat mengikuti parade perayaan Cap Go Meh 1000 Naga di kawasan Karangturi Grand Padma, Semarang, Jawa Tengah, Jumat (23/2/2024).
Oleh: Yayan Sakti Suryandaru*

Fenomena micro-drama atau yang populer disebut Drama China (Dracin) pendek, tengah menarik perhatian publik hiburan digital di Indonesia. Konten-konten berdurasi super singkat --rata-rata hanya tiga hingga delapan menit per episode, bahkan ada yang 60 hingga 120 detik-- ini menawarkan jalan cerita yang padat, emosional, dan penuh plot twist.

Kehadirannya tidak lagi sebatas tren iseng, melainkan sebuah mesin bisnis triliunan rupiah yang sangat cerdas. Mengutip data iiMediaResearch, pasar short drama China mencapai nilai fantastis 37,39 miliar yuan (sekitar 5,26 miliar dolar AS) pada tahun 2023, dengan proyeksi melampaui 100 miliar yuan pada 2027.

Asma Nadia Hasuna dkk (2025) dalam publikasi riset bertajuk "Daya Tarik Short Drama China: Fenomena Konsumsi Cepat dalam Perspektif Psikologi Sosial" menilai short drama China memiliki daya tarik kuat yang berasal dari formatnya yang singkat, namun padat secara emosional.

Dalam perspektif psikologi sosial, fenomena ini menunjukkan bagaimana kebutuhan akan kepuasan instan, konformitas terhadap tren media sosial, serta pencarian aktualisasi diri menjadi faktor utama dalam pola konsumsi hiburan modern.
Hal ini selaras dengan salah satu kajian George Ainslie (1975) yang menjelaskan kecenderungan individu memilih hadiah yang lebih kecil, namun segera, daripada hadiah yang lebih besar, tetapi tertunda. Dalam konteks tontonan, penonton modern cenderung memilih drama pendek yang ringkas dan langsung ke inti konflik, meski kualitas alur atau produksinya mungkin lebih rendah, daripada serial konvensional berdurasi panjang.

Strategi menarik perhatian Dracin pun unik. Episode-episode awal disajikan secara gratis di media sosial (TikTok, YouTube Shorts) sebagai hook. Namun, untuk melanjutkan kisah yang sengaja diputus pada titik yang paling memancing, penonton dipaksa beralih ke aplikasi video on demand khusus dan berbayar. Alur cerita cepat, penuh cliffhanger, dan disajikan dalam format vertikal ini dirancang untuk memberikan "dopamin rush", memicu kecanduan untuk menonton terus-menerus (binge-watching).

Kewaspadaan Publik

Kewaspadaan publik harus ditingkatkan karena micro-drama, bukan hanya sekadar produk komersial, melainkan juga instrumen penyebaran nilai.

Dalam ilmu komunikasi, hal ini dianalisis melalui Teori Kultivasi (Cultivation Theory) yang dikembangkan oleh George Gerbner (1967). Teori ini menyatakan bahwa paparan media massa yang berulang dan konsisten, bahkan dalam durasi yang sangat singkat dan sering, akan secara bertahap membentuk (cultivate) persepsi audiens tentang realitas sosial.

Jika masyarakat Indonesia terus-menerus mengonsumsi narasi dramatis yang menampilkan standar kehidupan, moralitas, dan relasi sosial dari Tiongkok, maka secara pasif, nilai-nilai yang ditampilkan dapat dianggap sebagai norma. Meskipun tema yang diangkat ringan (cinta pertama, pertemanan, meraih mimpi), potensi perbedaan budaya tetap ada dan dapat menciptakan akulturasi nilai secara tidak disadari.
Fakta di balik layar memperkuat kekhawatiran ini, produksi micro-drama di China berada di bawah kontrol ketat Pemerintah. Pemerintah China melalui NRTA (Administrasi Radio dan Televisi Nasional) tidak hanya menyensor ribuan seri yang dianggap vulgar, tetapi juga mendorong rumah produksi untuk membuat cerita yang mempromosikan nilai-nilai budaya dan moral yang sesuai dengan agenda mereka. Bahkan, ada rencana untuk membuat konten video pendek yang secara eksplisit menyorot pemikiran politik Xi Jinping sebagai bagian dari strategi soft power.

Ini menandakan bahwa tontonan yang kita nikmati adalah media yang telah disaring dan diarahkan untuk menyebarkan pengaruh budaya dan ideologis Tiongkok ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Mengingat daya tarik micro-drama yang bersifat adiktif (didukung oleh mekanisme psikologis kepuasan instan) serta adanya agenda soft power yang terselip di baliknya, publik perlu segera menyalakan kendali diri (self-control) dan membangun kewaspadaan yang kritis.

Pertama, bahaya nyata terletak pada dampak kognitif dan produktivitas individu. Kecanduan terhadap micro-drama terbukti dapat mengurangi rentang perhatian (attention span) penonton. Kebiasaan terus-menerus menonton konten serba cepat secara berlebihan membuat individu lebih sulit fokus pada aktivitas yang membutuhkan konsentrasi tinggi. Lebih jauh lagi, perilaku binge-watching (kecanduan menonton secara terus-menerus) telah terbukti mempengaruhi produktivitas dan mengganggu rutinitas harian penikmatnya.

Kedua, aspek kesehatan mental juga patut diwaspadai. Perilaku binge-watching berpotensi menurunkan kualitas kesehatan mental, seperti meningkatnya kecemasan karena dorongan kuat untuk segera menyelesaikan episode yang ditonton.
Meskipun micro-drama awalnya berfungsi sebagai penghilang stres dan memberikan perasaan terhibur secara instan, kepuasan yang didapat seringkali hanya bersifat sementara. Hal ini yang menuntut konsumsi berkelanjutan.

Ketiga, masyarakat harus waspada terhadap standar sosial dan moral yang diserap, tanpa adanya filter kritis. Konten micro-drama adalah produk budaya Tiongkok yang telah disensor dan diarahkan oleh pemerintahnya, yang berarti nilai-nilai yang dibawa belum tentu selaras dengan konteks lokal. Kita harus memastikan bahwa nilai-nilai tersebut tidak secara pasif dan perlahan menggantikan nilai-nilai luhur dan kearifan lokal Indonesia.

Booming micro-drama China adalah bukti nyata kecanggihan strategi menarik perhatian di era digital. Tugas kita sebagai konsumen media, bukan hanya menjadi penonton yang terhibur, melainkan menjadi penonton yang kritis dan berbudaya.

Nikmati hiburannya, tetapi selalu pertahankan literasi media dan kendali diri (self-control) agar kita tidak hanya menjadi objek pasif dari mesin pencetak uang dan soft power negara lain.

*) Dosen Departemen Komunikasi, FISIP Universitas UNAIR