NEWS

Percepat Penanganan Bencana Sumatera, Pakar Usulkan Lembaga Khusus

uasana pusat Kota Kuala Simpang yang luluh lantak akibat banjir bandang di Aceh Tamiang, Aceh, Sabtu (6/12/2025). Foto: Antara
uasana pusat Kota Kuala Simpang yang luluh lantak akibat banjir bandang di Aceh Tamiang, Aceh, Sabtu (6/12/2025). Foto: Antara
apakabar.co.id, JAKARTA - Guru Besar Lingkungan dan Kebencanaan Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Dwikorita Karnawati mengusulkan pembentukan lembaga khusus untuk mempercepat penanganan banjir dan longsor di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh.

"Dengan skala kerusakan sebesar ini, mekanisme rutin tampaknya tidak lagi memadai. Kita memerlukan lembaga lintas sektor yang mampu bekerja terpadu dan cepat," ujar dia dalam keterangan dikutip di Jakarta, Jumat (12/12).

Ia menjelaskan rangkaian banjir bandang, longsor, dan kerusakan infrastruktur di tiga provinsi itu menimbulkan dampak multidimensi yang tidak dapat ditangani dengan mekanisme penanggulangan bencana reguler.

Sistem yang disusun sejak 2007 itu, menurut dia, belum dirancang untuk menghadapi multi-bencana yang lahir dari kompleksitas perubahan iklim dan kerusakan lingkungan yang kini jauh lebih serius.
Ia menilai kondisi tersebut membutuhkan sistem penanganan yang lebih kuat, terutama pada pencegahan dan mitigasi jangka panjang, agar prinsip "build back better" dapat diwujudkan dalam pemulihan.

"Bencana kali ini merupakan multi-bencana dengan penyebab dan dampak yang saling memperkuat," ujar mantan Kepala BMKG ini.

Oleh karena itu, menurut dia, pemulihan memerlukan mekanisme khusus yang bekerja cepat, taktis, dan masif, terpisah dari pola rutin, sehingga koordinasi lintas sektor harus diperkuat.

Ia mengingatkan model BRR NAD–Nias pascatsunami 2004 menunjukkan efektivitas lembaga dengan mandat terintegrasi.

Pembentukan lembaga atau badan khusus, katanya, bukan sekadar keputusan administratif, melainkan langkah strategis agar negara hadir sepenuhnya dalam membangun kembali Sumut, Sumbar, dan Aceh di tengah meningkatnya risiko bencana akibat perubahan iklim.
Ia merekomendasikan pemerintah menyusun kajian komprehensif bersama kementerian teknis, BNPB, pemerintah daerah, akademisi, dan komunitas kebencanaan, yang memasukkan faktor perubahan iklim, kerusakan lingkungan, dan proyeksi bahaya hidrometeorologi.

"Pemulihan harus disiapkan untuk menghadapi kejadian ekstrem yang berpotensi berulang," tegasnya.

Dwikorita menjelaskan bencana di tiga wilayah itu dampak nyata dari kerentanan geologi Indonesia yang diperparah kerusakan lingkungan dan perubahan iklim.

Kondisi itu memicu bencana geo-hidrometeorologi berantai dengan intensitas jauh melampaui kejadian sebelumnya.

Ia merujuk laporan iklim yang menunjukkan 2024 sebagai tahun terpanas dalam sejarah pencatatan modern, dengan anomali suhu global +1,55 derajat Celsius di atas pra-industri.

Catatan BMKG juga menunjukkan lonjakan kejadian cuaca ekstrem dari 2.483 pada 2020 menjadi 6.128 pada 2024, sejalan dengan tren peningkatan curah hujan di kawasan barat Indonesia.
Realitas ini memperkuat risiko banjir bandang, aliran debris, dan gerakan tanah, terutama di daerah dengan topografi curam dan perubahan tata guna lahan.

"Hujan ekstrem yang dulunya jarang, kini mulai muncul berulang. Ini yang menyebabkan banjir bandang di Sumatra datang dengan daya rusak yang jauh lebih besar," kata Dwikorita.

Menurut dia, dinamika geologi dan hidrometeorologi yang saling memicu serta diperparah kerusakan lingkungan membuat satu kejadian dapat memunculkan rangkaian bencana susulan.

"Selama musim hujan, potensi banjir bandang lanjutan masih sangat tinggi. Saat rehabilitasi baru dimulai, hujan ekstrem bisa datang lagi dan memaksa daerah terdampak kembali ke fase tanggap darurat kembali," pungkasnya.