Kritik JPPI: Kesejahteraan Guru adalah Hak, Bukan Hadiah

apakabar.co.id, JAKARTA - Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap berbagai kebijakan pendidikan, khususnya di Jawa Barat dan di tingkat nasional. JPPI menilai, berbagai kebijakan tersebut tidak hanya bermasalah dalam pelaksanaan, tetapi juga sarat politisasi yang merugikan para guru sebagai garda terdepan pendidikan.
Selama pemantauan dari Januari 2024 hingga Juli 2025, JPPI menemukan lima anomali serius dalam kebijakan pendidikan di Jawa Barat. Meskipun beberapa masalah merupakan warisan masa lalu, pendekatan sepihak pemerintah provinsi yang cenderung 'jalan sendiri' justru memperparah situasi. JPPI menyerukan agar Pemerintah Provinsi Jawa Barat mulai mendengar aspirasi masyarakat dan menyusun kebijakan yang lebih partisipatif dan transparan.
Di tingkat nasional, JPPI juga mengecam keras pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang menyebut peningkatan kesejahteraan guru sebagai kado dari Presiden menjelang HUT ke-80 RI. Menurut JPPI, narasi tersebut sangat menyesatkan dan merendahkan martabat profesi guru. Kesejahteraan guru bukanlah hadiah atau belas kasihan, melainkan hak yang dijamin undang-undang.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dengan jelas menyebut guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum serta jaminan kesejahteraan sosial. Menyebutnya sebagai 'kado' merupakan bentuk politisasi yang menjadikan guru sebagai alat pencitraan politik. Hal tersebut dinilai tidak hanya menyesatkan publik, tetapi juga menyakitkan bagi para guru yang selama ini berjuang tanpa dukungan memadai.
JPPI juga mengkritik jumlah insentif yang diberikan, yaitu hanya Rp300.000 per bulan. Angka tersebut dianggap sangat tidak layak, terutama bagi guru honorer dan guru PAUD yang selama ini menerima gaji jauh di bawah Upah Minimum Regional (UMR). Sebagian bahkan hanya menerima gaji di bawah Rp1 juta per bulan, jauh dari standar negara-negara Asia Tenggara lainnya yang mencapai Rp5,5 juta hingga Rp11 juta per bulan.
Ironisnya, pemerintah menuntut kualitas tinggi dari para guru tanpa memberikan kesejahteraan yang memadai. Banyak guru terpaksa bekerja sambilan atau hidup dalam tekanan ekonomi, sehingga tidak bisa fokus pada tugas utama mereka, yaitu mendidik generasi penerus bangsa.
Selain itu, JPPI juga menemukan bahwa banyak guru tidak bisa mencairkan tunjangan sertifikasi karena prosedur birokrasi yang rumit. Masalah ini paling banyak terjadi di daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal), di mana akses terhadap layanan administrasi sangat terbatas.
Melihat berbagai persoalan ini, JPPI mendesak pemerintah agar berhenti mempolitisasi isu kesejahteraan guru dan segera mengambil langkah nyata untuk memenuhi hak-hak mereka sesuai konstitusi. Negara harus menciptakan sistem yang adil, tidak rumit, dan benar-benar berpihak pada guru. Kesejahteraan guru bukan beban anggaran, tetapi investasi jangka panjang untuk masa depan bangsa.
Sudah saatnya guru diperlakukan dengan hormat dan layak, bukan sekadar alat politik atau penerima hadiah. Mereka adalah ujung tombak pendidikan, dan masa depan bangsa ada di tangan mereka.

ADMIN