LINGKUNGAN HIDUP
Transisi Energi yang Tak Bersih: Ketika Ambisi Hijau Dibelokkan oleh Kepentingan Elit
Koalisi Transisi Bersih—gabungan organisasi masyarakat sipil seperti Satya Bumi, Trend Asia, Sawit Watch, SPKS, Greenpeace, dan Walhi menilai arah kebijakan transisi energi Indonesia tidak mengarah pada perubahan sistem pengelolaan energi yang adil dan berkelanjutan, melainkan sekadar pergantian teknologi.

apakabar.co.id, JAKARTA - Menjelang satu tahun pemerintahan, Presiden Prabowo Subianto kembali menegaskan ambisinya mempercepat transisi energi di Indonesia. Dalam rapat di Istana Negara, ia meminta pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkekuatan 80–100 gigawatt kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Arahan itu sejalan dengan target pemerintah mencapai 100 persen bauran energi terbarukan pada 2060 seperti yang disampaikan dalam Sidang MPR Agustus lalu.
Namun, di balik ambisi besar tersebut, muncul kritik tajam dari Koalisi Transisi Bersih—gabungan organisasi masyarakat sipil seperti Satya Bumi, Trend Asia, Sawit Watch, SPKS, Greenpeace, dan Walhi. Menurut mereka, arah kebijakan transisi energi di Indonesia tidak mengarah pada perubahan sistem pengelolaan energi yang adil dan berkelanjutan, melainkan sekadar pergantian teknologi.
“Pendekatan transisi energi kita tidak transformatif. Dengan biaya proyek yang besar dan target bauran energi yang dikejar-kejar, yang diuntungkan justru pemain lama yang masih aktif berbisnis energi kotor,” ujar Sayyidatiihayaa Afra, Manajer Kampanye Satya Bumi, dalam peluncuran riset terbaru Koalisi Transisi Bersih bertajuk Pemain Energi Kotor di Transisi Bersih di Jakarta, Senin (6/10).
Enam raksasa energi kotor di balik proyek hijau
Riset tersebut mengungkapkan adanya enam grup usaha besar yang terlibat aktif dalam proyek transisi energi namun juga menjalankan bisnis energi kotor: Barito Pacific, Adaro, Medco, Wilmar, Jhonlin, dan Sinar Mas.
Contohnya, di Kampung Cibitung, Pangalengan, Jawa Barat, satu kampung hilang akibat ledakan pipa Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Wayang Windu milik PT Star Energy—perusahaan geothermal yang diakuisisi Grup Barito Pacific pada 2014.
Kasus serupa juga muncul di Kalimantan Utara, di mana proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Kayan Mentarang milik Grup Adaro berencana menenggelamkan 22.604 hektare lahan di Kecamatan Mentarang Ulu dan Sungai Tubu. Akibatnya, lebih dari 500 keluarga terancam kehilangan rumah dan lahan pertanian mereka.
Riset Koalisi Transisi Bersih juga menemukan keterlibatan 28 individu berstatus Politically Exposed Persons (PEPs)—tokoh yang punya hubungan erat dengan kekuasaan—dalam enam grup usaha tersebut. Mereka berasal dari kalangan eksekutif, yudikatif, hingga aparat penegak hukum.
“Ada potensi besar bahwa jejaring PEPs membantu memuluskan bisnis transisi energi ini. Misalnya kasus Wilmar dalam korupsi ekspor biodiesel yang merugikan negara hingga Rp11 triliun,” ujar Hayaa.
Jejaring elit di balik transisi energi
Hubungan antara dunia bisnis energi dan jejaring kekuasaan terlihat jelas dari sejumlah contoh yang disorot dalam riset tersebut.
Di Grup Barito, misalnya, ada nama Rudy Suparman, petinggi Danareksa (sekarang Danantara), yang diketahui bermitra dengan Barito. Bahkan, salah satu unit usaha Barito, Barito Pacific Timber, mendapat pembiayaan Rp375 miliar dari PT Taspen.
Sementara Grup Medco memiliki keterkaitan dengan Teguh Pamuji (Sekjen Kementerian ESDM 2013–2017) dan Marsillam Simanjuntak (Jaksa Agung 2000–2001). Medco kini mengelola 16 pembangkit listrik energi terbarukan di berbagai wilayah dan baru saja menerima pendanaan Rp65 miliar dari Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).
Grup Wilmar bahkan tercatat sebagai penerima subsidi biodiesel terbesar, mencapai Rp56,6 triliun selama 2015–2023. Padahal, perusahaan ini pernah terseret kasus korupsi minyak mentah (CPO). Dua tokoh yang terindikasi berperan sebagai PEPs di balik bisnis Wilmar adalah Sutanto (Kapolri 2005–2008) dan MP Parulian Tumangor (Bupati Dairi 1999–2009).
“Jejaring PEPs Wilmar ini menjadi prototipe bagaimana elit berpengaruh besar dalam arah bisnis energi. Mereka harus jadi sorotan publik agar proyek energi terbarukan tidak menjadi bancakan elit,” tegas Hayaa.
Demokratisasi energi untuk rakyat
Manajer Kampanye Bioenergi Trend Asia, Amalya Reza, menilai bahwa sistem energi Indonesia saat ini belum berpihak kepada masyarakat.
“Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) memang diturunkan menjadi Rencana Umum Energi Daerah (RUED), tapi hampir tidak ada daerah yang memasukkan sistem pengelolaan energi berbasis komunitas,” ujarnya.
Amalya menegaskan bahwa demokratisasi energi berarti masyarakat harus diberi ruang untuk mengelola sumber energi secara mandiri, bukan menjadi penonton dari proyek-proyek raksasa yang dikuasai korporasi besar.
Tak hanya dana, perusahaan-perusahaan energi juga mendapat berbagai fasilitas dan kemudahan dari pemerintah. Misalnya, Grup Jhonlin mendapat dukungan langsung dari Menteri Pertanian dalam peresmian proyek biodiesel B50 milik PT Jhonlin Agro Raya.
Sedangkan proyek PLTA Kayan milik Adaro mendapatkan status Proyek Strategis Nasional (PSN) yang membuatnya lebih kebal terhadap tuntutan hukum meskipun terbukti merusak lingkungan.
Energi bersih jangan dikotori
Mantan Wakil Ketua KPK, La Ode M Syarif, mengingatkan bahwa energi terbarukan seharusnya menjadi energi yang bersih secara utuh—bukan hanya dari sisi teknologinya, tapi juga dari praktik bisnis dan etika pengelolaannya.
“Energi terbarukan harus menjadi clean energy. Jangan dikotori oleh korupsi dan perusakan lingkungan. Kalau itu terjadi, maka transisi energi kehilangan makna keadilannya,” tegas La Ode.
Ia menambahkan, makna “just energy transition” bukan sekadar soal mengganti sumber energi, tapi memastikan keadilan bagi masyarakat yang terdampak langsung oleh proyek-proyek tersebut.
Transisi energi seharusnya membawa Indonesia menuju masa depan yang hijau, bersih, dan adil. Namun, bila tetap dikuasai oleh elit politik dan korporasi besar dengan kepentingan bisnis energi kotor, cita-cita tersebut hanya akan menjadi slogan kosong.
Tanpa perubahan sistem tata kelola energi dan partisipasi masyarakat, Indonesia berisiko gagal mencapai kemandirian energi dan keadilan bagi seluruh rakyatnya.

Editor:
JEKSON SIMANJUNTAK
JEKSON SIMANJUNTAK