1446
1446

Faisal Basri dalam Kenangan Tiga Ekonom Pendiri INDEF

Ekonom senior INDEF Faisal Basri. Foto via katadata.co.id

apakabar.co.id, JAKARTA – Ekonom senior sekaligus pendiri Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Faisal Basri meninggal dunia pada Kamis (5/9/2024). Namun kepergian ekonom yang terkenal lantang dan kritis kepada pemerintah tersebut juga meninggalkan kesan mendalam bagi tiga ekonom senior lainnya yang juga sesama pendiri INDEF.

Didin S. Damanhuri salah satunya. Awal perjumpaannya dengan Faisal Basri saat saat di ruangan Dipo Alam saat di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada 1995. Didin kemudian menjalin komunikasi dengan ekonom Didik J. Rachbini, keduanya membincangkan mengenai perlunya lembaga think tank di bidang ekonomi.

Perbincangan tersebut juga turut melibatkan ekonom Fadhil Hasan dan pengusaha muda ternama Sutrisno Bachir. Keterlibatan Faisal dalam rencana pembentukan INDEF tersebut muncul dari saran Sutrisno Bachir yang saat itu pemilik Majalah Prospek. Di media tersebut, Faisal Basri merupakan seorang redaktur ahli.

“Di pertemuan malam itu kami sepakati membuat INDEF pada 1995,” katanya dalam diskusi publik dan peresmian Ruang Baca Faisal Basri: Merekam Jejak Faisal Basri di Jakarta, Jumat (7/2).

Baca juga: Kabar Duka, Ekonom Faisal Basri Meninggal Dunia

Baca juga: Mengenang Sosok Sederhana: Faisal Basri

INDEF kemudian memulai sepak terjangnya dengan membincangkan persoalan monopoli subsidi impor gandum senilai Rp760 miliar per tahun. Subsidi impor gandum tersebut digunakan untuk bahan baku roti dan makanan alternatif pengganti beras saat itu.

Di sisi lain, International Monetary Fund (IMF) memuji pemerintahan Presiden Soeharto saat itu dalam pembangunan industrialisasi. Indonesia bersama beberapa negara di Asia lainnnya sempat disebut sebagai negara industri maju.

“Seperti banyak kritik saat itu Indonesia rapuh karena diisi oleh interpreneur semu yang disubsidi rakyat yang disalurkan negara,” katanya.

Di saat itulah, empat ekonom pendiri INDEF sering menjadi panelis di forum seminar yang diselenggarakan sejumlah lembaga dan perguruan tinggi. Di momen itulah Faisal Basri kemudian muncul dikenal sebagai ekonom yang berani mengemukakan kritiknya secara tegas disertai data yang kuat.

Ekonom Senior INDEF Didin S. Damanhuri, Ekonom Senior INDEF Fadhil Hasan, Direktur Eksekutif INDEF Esther Sri Astuti, Ekonom Senior INDEF Didik J. Rachbini (dari kiri ke kanan). Foto: apakabar.co.id/Kindy

Sikap kritis Faisal Basri tersebut tak hanya muncul saat di pemerintahan Soeharto, melainkan hingga ke pemerintahan Joko Widodo. Konsistensi tersebut, kata Didin, yang menjelaskan sikap Faisal Basri yang antikorupsi, antiketidakadilan, dan antitata kelola yang buruk.

“Pemerintahan manapun sampai sekarang kritik tajam Faisal Basri pada tiga aspek tersebut,” kata Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) tersebut.

Fadhil Hasan juga punya kisah serupa. Saat ia menjadi Direktur INDEF, Fadhil mengaku sempat mendapatkan tawaran proyek pendanaan dengan nilai yang tergolong besar saat itu dari BTPN. Mendengar tawaran tersebut, Faisal Basri meminta Fadhil menolak tawaran tersebut.

“Lembaga (INDEF) kita nanti dilegitimasi dan dia lembaga yang korup,” kata Fadhil menirukan penolakan Faisal Basri.

Baca juga: Perekonomian RI Lesu: INDEF: Bereskan Dulu Masalah Ketenagakerjaan

Meski kritiknya tergolong tajam, Faisal Basri kemudian sempat masuk membantu pemerintahan Abdurrahman Wahid. Termasuk menjadi tim monitoring dan evaluasi (monev) Boediono, Menteri Keuangan di pemerintahan Megawati Soekarnoputri.

Tak hanya itu, Faisal Basri juga dua kali menjadi tim satuan tugas (satgas) di pemerintahan Joko Widodo. Pertama, keterlibatannya di Satgas Migas dengan merekomendasikan tidak mengimpor minyak melalui Pertamina Energy Service.

Kedua, saat menjadi tim Satgas Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) untuk menelusuri transaksi janggal sebesar Rp349 triliun. Tim satgas tersebut dibentuk langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD.

“Saya kira ada banyak keterlibatan Faisal dari dalam perbaikan kebijakan dan tata kelola. Yang membedakan Faisal ini tidak nyaman kalau bekerja dari dalam, makanya tidak terlalu lama terlibat dalam satgas dan tim tim itu. Tidak seperti koleganya siapapun pemerintahannya selalu ikut dan menikmati,” jelasnya.

Baca juga: INDEF Ingatkan Prabowo Atasi Masalah Penurunan Kelas Menengah

Sementara itu, Didik J. Rachbini mempunyai kesan tersendiri mengenai Faisal Basri. Didik menilai Faisal Basri selalu mencoba menarik relevansi kebijakan ekonomi dari keputusan politik yang dihasilkan.

Faisal Basri disebutnya juga pernah mengkritik kebijakan hutang untuk membayar hutang yang dilakukan pemerintah pada masa pandemi Covid-19. Kebijakan tersebut menyebabkan APBN semakin terbebani.

“Dia (Faisal Basri) mengkritik bahwa politik uang yang sekarang ini adalah demokrasi yang najis, politik yang kontra dekat dengan perselingkuhan. Dalam pandanganya Faisal, kontra ini menjadi perselingkuhan dan wajar tinggal menunggu hancurnya,” pungkasnya.

8 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Bethriq Kindy Arrazy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *