WALHI Dorong Ekosistem Ekonomi Nusantara untuk Perbaikan Lingkungan dan Kesejahteraan Masyarakat

Bentang alam Kelurahan Kalaodi, Maluku Utara. Pengelolaan hutan secara berkelanjutan oleh warga diinspirasi oleh tradisi turun temurun di area tersebut yang mengedepankan kesejahteraan bersama alih-alih kepemilikan lahan individual. Foto: WALHI

apakabar.co.id, JAKARTA – Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Zenzi Suhadi menegaskan pentingnya penerapan ‘ekonomi nusantara’ dengan membangun jejaring promosi dan pemasaran hasil-hasil Bumi lebih dari 1,3 juta lahan.

Ekonomi nusantara, kata Zenzi, merupakan model ekonomi restoratif dalam mengelola sumber daya alam dalam rangka memulihkan alam indonesia. Hal itu berangkat dari ketimpangan sosial-ekonomi yang kian tinggi, sementara keanekaragaman hayati berangsur-angsur hilang.

Untuk itu, ia menekankan urgensi peralihan ekonomi eksploitatif menjadi ekonomi yang membawa perbaikan pada alam dan masyarakat. Dan momen Hari Bumi, ujar Zensi, menjadi titik balik terhadap penanganan krisis iklim akibat ekstraksi lingkungan yang bertentangan dengan aspek ekologi dan sosial, yang mengatasnamakan pertumbuhan ekonomi.

“Skema ekonomi nusantara mendukung praktik ekonomi lokal yang berkelanjutan dan menyatukan nilai-nilai ekologi, sosial, dan ekonomi secara seimbang. Secara alami, ekonomi nusantara menumbuhkan ekosistem baru yang didalamnya berupa jaringan ekonomi komoditas yang dihasilkan oleh komunitas dari wilayahnya, dengan tujuan untuk memulihkan hak-hak rakyat, ekosistem, dan ekonomi,” paparnya di Jakarta, (29/4).

Dari kiri ke kanan: Farah Sofa (Program Officer Natural Resources and Climate Change Ford Foundation Indonesia), Zenzi Suhadi (Direktur Eksekutif Nasional WALHI), dan Roni Usman (Ketua Umum Badan Pengurus Nasional Asosiasi Pengelola Perhutanan Sosial Indonesia/AP2SI) memberikan paparan para sesi Media Briefing “Ekonomi Nusantara Solusi Pulihkan Alam Indonesia” di Kantor Eksekutif Nasional WALHI, Jakarta Selatan, Senin (29/04/24). Foto: WALHI

Menurut Zenzi, roda penggerak dari ekonomi nusantara terletak pada pengakuan dan perlindungan Wilayah Kelola Rakyat (WKR). WKR merupakan mekanisme pengelolaan wilayah tertentu yang integratif dan partisipatif, baik dalam aspek kepemilikan, konsumsi, tata kelola, dan produksi. Dengan demikian, WKR mampu menguatkan kedaulatan wilayah Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal (MAKL) atas pengelolaan sumber daya alam.

“WKR menjadi pondasi sekaligus kunci bagi WALHI dalam menciptakan ekosistem ekonomi nusantara sebagai upaya mendorong kemandirian ekonomi komunitas sekaligus meningkatkan kedaulatan pangan dan energi dengan mengurangi emisi dan menyerap karbon,” terang Zenzi.

Petani kopi di kebun perbukitan Kamojang, Desa Ibun, Jawa Barat, menunjukkan hasil budidaya tanamannya. Daerah yang dulunya rentan terbakar kini kembali hijau karena dikelola secara bertanggung jawab oleh masyarakat lokal. Foto: WALHI

Program Officer Natural Resources and Climate Change Ford Foundation Indonesia, Farah Sofa, menyatakan dukungannya terhadap ekonomi nusantara yang digagas WALHI. Hal itu sejalan dengan visi Ford Foundation sebagai lembaga filantropi yang memperjuangkan keadilan sosial di tingkat tapak dengan memperhatikan mitigasi terhadap krisis iklim.

“Salah satu isu yang menjadi perhatian Ford Foundation adalah ekonomi restoratif yang berfokus pada mekanisme ekonomi yang holistik, berkelanjutan, dan selaras dengan alam. Ekonomi nusantara sebagai salah satu bentuk dari ekonomi restoratif menjadi contoh atas praktik ekonomi yang berkelanjutan dan selaras alam, serta mengutamakan kemandirian ekonomi masyarakat akar rumput,” jelas Farah.

Sebelumnya, laporan WALHI bertajuk ‘Ekonomi Nusantara: Tawaran Solusi Pulihkan Indonesia’ menunjukkan praktik ekonomi nusantara tetap eksis dan menopang kehidupan rakyat. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2019-2021 itu mengambil 5 lanskap ekologis, yakni gambut, hutan dataran tinggi, perbukitan hutan dataran rendah dan pesisir yang dilakukan di Sumatera Selatan, Bengkulu, Bali, Jawa Timur dan Kalimantan Timur.

“Di tingkat tapak, praktik ekonomi nusantara hanya mungkin dilakukan dengan baik jika ada pengakuan dan perlindungan wilayah kelola rakyat. Sampai saat ini WALHI mendampingi 1,3 juta lahan yang dikelola oleh komunitas,” kata Zenzi.

Dari pendampingan tersebut, WALHI berhasil mengidentifikasi 77 jenis sumber pangan dan komoditas potensial sebagai sumber kesejahteraan komunitas, basis pembangunan ekonomi nasional, dan pangan global.

Perwakilan dari Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Bayang Bungo Sumatera Barat Sri Hartati menceritakan praktik ekonomi nusantara telah berhasil dalam membuat produk turunan dari tanaman hutan, yakni sirup pala. Produk itu menjadi unggulan pemerintah Nagari Kapujan dan berhasil menjuarai Kompetisi Produk UMKM tingkat Kabupaten Pesisir Selatan.

Astrid Hasan, perwakilan dari komunitas di Desa Kalaodi, Maluku Utara juga menuturkan hal serupa. “Masyarakat Kalodi tidak mengenal konsep kepemilikan tanah, melainkan hanya kepemilikan pohon berdasarkan jenis tanaman pala dan cengkeh yang ditumpangsarikan dengan kenari, kayu manis, durian, dan pinang.” ujarnya.

Hasil budidaya dari Kalaodi, Maluku Utara, seperti komoditas pala, cengkeh, kenari, kayu manis, durian, dan pinang. Pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan berkeadilan oleh warga berhasil menjaga alam dari praktik ekonomi yang cenderung eksploitatif dan merusak lingkungan. Foto: WALHI

Masyarakat Kalaodi, beber Astrid, masih mempertahankan peruntukan lahan untuk kepentingan sosial (tanah desa, tanah masjid, tanah lingkungan). Budaya Kalaodi selalu mengedepankan menjaga alam. Segala peraturan mengenai pengelolaan sumber daya alam akan diputuskan melalui musyawarah mufakat.

Sementara itu, Ketua Umum Badan Pengurus Nasional Asosiasi Pengelola Perhutanan Sosial Indonesia (AP2SI) Roni Usman menekankan pentingnya pengakuan dan perlindungan wilayah kelola rakyat. Hal itu terbukti efektif memulihkan lingkungan dan meningkatkan pendapatan masyarakat.

Tata Produksi: Salah satu masyarakat Desa Ibun, Jawa Barat, mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam untuk menghasilkan komoditas kopi. Foto: WALHI

Hal itu setidaknya bisa dibuktikan di Desa Ibun, Jawa barat. Saat ini, lebih dari 60% kawasan hutan yang dulunya terbuka telah hijau kembali, Caranya dengan menanam kopi yang kini menjadi sumber pendapatan baru. Hal itu imbas positif dari keluarnya Izin pengelolaan Perhutanan Sosial oleh KLHK pada tahun 2017.

“Hutan telah dikelola secara bertanggungjawab oleh komunitas Desa Ibun. Kawasan hutan yang dulunya hanya ditumbuhi ilalang dan rentan kebakaran kini dikelola warga dengan memadukan kopi dengan tanaman hutan,” jelas Roni Usman.

Pengakuan dan perlindungan terhadap Wilayah Kelola Rakyat (WKR) telah menjadi pondasi penting dalam mewujudkan visi ekonomi nusantara yang berkelanjutan dan berpihak kepada masyarakat lokal. Hal itu terbukti dari pulihnya lingkungan dan meningkatnya kesejahteraan warga ketika warga mendapat hak pengelolaan.

“Oleh karena itu, pengakuan dan perlindungan terhadap WKR perlu diprioritaskan sebagai langkah strategis dalam menjaga keberlanjutan ekonomi, ekologi, dan sosial di Indonesia,” pungkas Zenzi.

3,196 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *