LINGKUNGAN HIDUP

Gelar Pahlawan untuk Soeharto, Langkah Mundur bagi Keadilan Ekologis

Penolakan ini bukan semata karena persoalan politik masa lalu, tetapi karena dampak besar yang ditinggalkan rezim Orde Baru terhadap lingkungan hidup dan arah pembangunan bangsa.
Presiden Prabowo Subianto memimpin upacara penganugerahan gelar Pahlawan Nasional di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (10/11/2025). Foto: ANTARA
Presiden Prabowo Subianto memimpin upacara penganugerahan gelar Pahlawan Nasional di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (10/11/2025). Foto: ANTARA
apakabar.co.id, JAKARTA - Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada mantan Presiden Soeharto telah menuai penolakan dari berbagai kalangan masyarakat sipil. Penolakan ini bukan semata karena persoalan politik masa lalu, tetapi karena dampak besar yang ditinggalkan rezim Orde Baru terhadap lingkungan hidup dan arah pembangunan bangsa.

Program Officer for Natural Resources and Climate Justice dari Yayasan TIFA, Firdaus Cahyadi, menilai penghormatan terhadap Soeharto tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ekonomi-politik di baliknya. “Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto itu bagian dari proyek normalisasi model pembangunan ekstraktif Orde Baru yang merusak lingkungan,” ujar Firdaus di Jakarta, Sabtu (9/10). 

Menurutnya, langkah tersebut berpotensi melegitimasi kembali pola pembangunan yang menempatkan eksploitasi sumber daya alam (SDA) sebagai motor utama pertumbuhan ekonomi.

Firdaus menjelaskan bahwa model pembangunan ekstraktif yang diwariskan Orde Baru kini berpotensi direplikasi oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yang juga merupakan mantan menantu Soeharto. 

“Arah pembangunan Indonesia di bawah Presiden Prabowo berpijak pada model pembangunan ekstraktif,” paparnya. Hanya saja, menurut Firdaus, pola itu kini dikemas dengan jargon nasionalistik seperti swasembada pangan dan energi untuk menyamarkan kepentingan ekonomi di baliknya.

Pada masa Soeharto, pembangunan dijalankan secara otoritarian dengan menyingkirkan partisipasi rakyat. Kekuasaan digunakan untuk menopang proyek-proyek besar yang sering kali merusak alam, seperti pembukaan lahan gambut yang gagal, penebangan hutan secara masif, hingga pembangunan Waduk Kedung Ombo yang menimbulkan tragedi kemanusiaan dan ekologi. 

"Jejak kerusakan ini masih bisa dilihat hingga hari ini," paparnya.

Firdaus mengungkapkan gelar pahlawan bagi Soeharto sama saja dengan upaya pemutihan dosa-dosa ekologi masa Orde Baru. Dengan mengangkat Soeharto sebagai pahlawan, model pembangunan yang merusak justru akan dianggap wajar dan patut diteruskan. 

Karena itu, ia menilai, pemberian gelar pahlawan akan menjadi landasan untuk melanjutkan pembangunan yang menguntungkan segelintir elite ekonomi-politik sambil menyingkirkan kepentingan rakyat dan lingkungan.

Lebih jauh, Firdaus menyebut pemberian gelar tersebut sebagai upaya menciptakan kesadaran palsu di masyarakat. Kesadaran ini bisa melemahkan semangat publik untuk menjaga kelestarian alam. 

Modifikasi model ekstraktif saat ini, ujarnya, tampak dari kebijakan pembagian konsesi tambang kepada ormas keagamaan dan koperasi.

“Penolakan terhadap gelar pahlawan Soeharto bukan karena kebencian personal,” tegas Firdaus, “melainkan bentuk perlawanan terhadap pengulangan model pembangunan yang merusak lingkungan.” 

Ia menutup dengan peringatan bahwa Indonesia harus belajar dari sejarah. Keanekaragaman hayati negeri ini, katanya, tidak boleh lagi menjadi korban pembangunan yang hanya menguntungkan segelintir elite.