LINGKUNGAN HIDUP
Hijau di Atas Kertas, Kelabu di Lapangan: Dampak Pembangunan Pangan dan Energi Nasional
Ekspansi pembangunan lewat Proyek Strategis Nasional (PSN) menimbulkan pertanyaan besar. Di berbagai daerah, proyek pangan dan energi berskala besar berdampak pada lingkungan dan masyarakat adat.
apakabar.co.id, JAKARTA - Pemerintahan Presiden Prabowo menetapkan Asta Cita sebagai arah pembangunan lima tahun, dengan menjadikan Pancasila dan prinsip-prinsip kemanusiaan sebagai fondasi. Salah satu fokus utamanya adalah mencapai kemandirian dalam pangan, energi, air, dan ekonomi hijau.
Pemerintah juga menempatkan swasembada sebagai prioritas strategis, terutama dalam Cita kedua, yang menekankan ketahanan nasional melalui penguatan sektor pangan dan energi.
Namun, ekspansi pembangunan lewat Proyek Strategis Nasional (PSN) menimbulkan pertanyaan besar. Di berbagai daerah, proyek pangan dan energi berskala besar berdampak pada lingkungan dan masyarakat adat.
Lahan adat, hutan, dan wilayah kelola masyarakat berubah menjadi lokasi proyek dalam waktu singkat. Kondisi ini membuat kehidupan masyarakat adat dan komunitas lokal semakin terancam, terutama karena munculnya konflik, hilangnya ruang hidup, hingga korban jiwa.
Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Saurlin P. Siagian, menegaskan bahwa pembangunan semestinya mengakomodasi dan melindungi kehidupan serta hak-hak masyarakat. Pernyataan itu disampaikan dalam sebuah seminar nasional bertema penerapan prinsip pembangunan hijau dalam kebijakan pangan dan energi di Jakarta, Selasa (11/11).
Ia menyoroti bahwa upaya Komnas HAM tetap berjalan meski menghadapi tantangan, termasuk meningkatnya kasus kriminalisasi terhadap masyarakat yang memperjuangkan haknya. Menurutnya, “orang yang memperjuangkan haknya tidak seharusnya dikriminalisasi.”
Salah satu perhatian Komnas HAM adalah Undang-Undang Cipta Kerja, khususnya klaster PSN. Saurlin menjelaskan bahwa proses pembentukan UU tersebut dilakukan secara terburu-buru, dan sejumlah administrasi PSN seharusnya tidak diatur di tingkat undang-undang.
Untuk memperkuat perlindungan warga, Komnas HAM telah menerbitkan Standar Norma dan Pengaturan (SNP) pada 2024 yang sejalan dengan berbagai konvensi internasional terkait masyarakat adat.
Transisi Energi, Swasembada Pangan, dan Zona Pengorbanan
Sektor pangan dan energi menjadi penentu kedaulatan bangsa. Pemerintah menargetkan pengelolaan energi yang ramah lingkungan serta swasembada pangan dalam waktu singkat. Namun di lapangan, banyak proyek yang justru membuka apa yang disebut zona pengorbanan (sacrifice zones).
Industri energi yang diklaim sebagai bagian dari transisi energi diduga membawa kerusakan lebih besar bagi alam dan masyarakat.
Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum dan Kebijakan JATAM, menyebut praktik transisi energi saat ini sebagai rupa perampokan dan penaklukan alam berkedok transisi energi.
Ia menyoroti contoh di Pulau Obi dan kawasan Weda di Maluku Utara, di mana sungai dan laut tercemar limbah tambang. Hasil uji laboratorium bahkan menemukan kandungan Nikel berupa BOD dan COD di beberapa sungai.
Jamil menegaskan bahwa ekspansi tambang di pulau kecil, yang seharusnya dilindungi, justru mengancam sumber pangan masyarakat. Ia mengungkapkan, “transisi energi saat ini adalah ilusi percepatan.”
Pemerintah, menurutnya, hanya menekankan percepatan produksi dan nilai tambah industri, tanpa mempertimbangkan kerusakan yang ditimbulkan.
Ia membandingkan pendekatan ini dengan masyarakat adat yang mengelola sumber daya dalam skala terkelola dan selaras dengan alam. “Pemerintah perlu belajar dari masyarakat mengenai skala yang terkelola,” ujarnya.
FPIC, Kriminalisasi, dan Perlindungan Pembela Lingkungan
Dalam banyak proyek pembangunan, prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) sering diabaikan. Tanah dan wilayah masyarakat diambil dengan cara intimidasi, kekerasan, atau manipulasi informasi.
Theo Reffelsen, Manajer Hukum dan Pembelaan WALHI, mengingatkan bahwa FPIC merupakan bagian penting dari hak masyarakat atas pembangunan. Ia menekankan bahwa persetujuan tidak boleh diperoleh melalui trauma atau ancaman.
“Penggusuran paksa adalah pelanggaran HAM berat,” tegasnya.
Theo juga menyoroti kriminalisasi terhadap pembela HAM dan lingkungan. Dalam sejumlah kasus, aparat penegak hukum justru menyalahkan warga yang memperjuangkan haknya. Menurut WALHI, kriminalisasi merupakan konsekuensi dari struktur dan budaya penegakan hukum yang bermasalah.
Oleh karena itu, Theo menilai perlunya legislasi khusus seperti UU Anti-SLAPP dan UU Partisipasi Publik. Aturan tersebut penting untuk mengenali motif yang tidak benar dalam gugatan hukum terhadap pembela lingkungan.
Ia menegaskan bahwa perbaikan dalam tubuh aparat penegak hukum juga sangat mendesak. Selain itu, kolaborasi lintas organisasi dan masyarakat diperlukan untuk menghadapi sengketa yang meningkat.
“Kemenangan, meskipun kecil, hanya lahir dari kolaborasi intensif,” kata Theo.
Penerapan prinsip pembangunan hijau dalam kebijakan pangan dan energi nasional memerlukan keseimbangan antara ambisi negara dan perlindungan hak warga negara. Pembangunan tidak boleh menjadi alat yang merenggut ruang hidup masyarakat atau merusak alam.
Kebijakan yang berkeadilan hanya bisa tercapai jika seluruh proses dilakukan secara transparan, berbasis hak, dan menghormati masyarakat adat serta komunitas lokal sebagai penjaga sumber daya.
"Pembangunan yang benar-benar hijau bukan hanya soal teknologi ramah lingkungan, tetapi juga bagaimana negara menghormati manusia, alam, dan keberlanjutan hidup bersama," tandasnya.
Editor:
FARIZ FADHILLAH
FARIZ FADHILLAH