LINGKUNGAN HIDUP

Indonesia–Norwegia Luncurkan Perdagangan Karbon Berbasis Teknologi Pertama di Dunia Senilai 12 Juta Ton CO₂e

Penandatanganan Framework Agreement antara PT PLN (Persero) dan Global Green Growth Institute (GGGI), di bawah kerja sama bilateral Indonesia–Norwegia. apakabar.co.id/Dok KLH/BPLH
Penandatanganan Framework Agreement antara PT PLN (Persero) dan Global Green Growth Institute (GGGI), di bawah kerja sama bilateral Indonesia–Norwegia. apakabar.co.id/Dok KLH/BPLH
apakabar.co.id, JAKARTA - Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) resmi memulai perdagangan karbon internasional berbasis teknologi (technology-based solutions) pertama dari Indonesia, menandai tahap awal implementasi Article 6.2 Perjanjian Paris.

Langkah  ini ditandai dengan penandatanganan Framework Agreement antara PT PLN (Persero) dan Global Green Growth Institute (GGGI), di bawah kerja sama bilateral Indonesia–Norwegia. Melalui perjanjian tersebut, Indonesia akan menyalurkan hasil mitigasi emisi sebesar 12 juta ton CO₂e dari proyek energi terbarukan.

Penandatanganan ini merupakan bagian dari Generation-Based Incentive (GBI) Programme dan tindak lanjut langsung dari kesepakatan KLH/BPLH dengan Kementerian Iklim dan Lingkungan Norwegia.

“Kami memandang kerja sama ini sebagai awal implementasi nyata. Indonesia berkomitmen membangun pasar karbon yang berintegritas tinggi, transparan, serta berdampak langsung bagi masyarakat dan lingkungan,” tegas Menteri LH/Kepala BPLH Hanif Faisol Nurofiq.

Framework Agreement ini menjadi langkah kunci menuju penandatanganan Mitigation Outcome Purchase Agreement (MOPA) pada akhir Desember 2025. Dengan implementasi MOPA, Indonesia akan menjadi negara pertama di dunia yang menjalankan perdagangan karbon internasional berbasis Article 6.2 sekaligus memperluas mekanisme pasar karbon ke sektor teknologi energi bersih.

Selama ini kerja sama Indonesia–Norwegia berfokus pada Nature-Based Solutions (NBS) melalui skema Result-Based Contribution (RBC) yang telah memberikan hingga USD 260 juta bagi peningkatan pengelolaan hutan Indonesia. Melalui inisiatif baru ini, Indonesia memasuki fase perdagangan karbon berbasis teknologi—tonggak penting dalam diversifikasi mitigasi menuju transisi energi rendah karbon.

“Kami mengapresiasi komitmen Norwegia yang bersedia menanggung Share of Proceeds sebesar lima persen untuk kegiatan adaptasi. Indonesia mengusulkan agar dana tersebut dikelola melalui Dana Iklim Nasional agar lebih efektif dan sejalan dengan prioritas nasional,” ujar Menteri Hanif.

Menteri Iklim dan Lingkungan Norwegia, Andreas Bjelland Eriksen, menyatakan keyakinannya terhadap kesiapan Indonesia memimpin agenda perdagangan karbon berintegritas tinggi.

“Ini baru permulaan. Kami percaya langkah ini membuka peluang kolaborasi lebih luas di bidang teknologi dan investasi hijau. Indonesia telah menunjukkan kapasitas dan kepemimpinan politik yang kuat untuk memajukan pasar karbon berintegritas tinggi,” ungkapnya.

Kerja sama ini memperkuat posisi Indonesia di COP30 sebagai pemimpin transisi energi dan upaya pencapaian Net Zero Emissions (NZE) 2060 atau lebih cepat. Dalam Leaders Summit, Utusan Khusus Presiden Hashim Djojohadikusumo menegaskan komitmen Presiden Prabowo Subianto untuk mempercepat aksi iklim melalui pembangunan yang berkeadilan. Dalam Second Nationally Determined Contribution (SNDC), Indonesia menargetkan penurunan emisi 1,2–1,5 gigaton CO₂e pada 2035, bauran energi terbarukan 23 persen pada 2030, serta pengembangan teknologi energi baru.

“Indonesia datang ke Belém dengan pesan yang jelas: kami teguh memperkuat aksi iklim nasional dan siap berkolaborasi mendorong inisiatif yang inklusif, ambisius, dan berorientasi hasil,” tegas Hashim.

Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo menegaskan kesiapan PLN menjalankan visi Presiden dalam percepatan transisi energi melalui RUPTL 2025–2034.

“Dalam sepuluh tahun ke depan, Indonesia akan menambah 69,5 gigawatt kapasitas pembangkit, dan 76 persen di antaranya berasal dari energi terbarukan dan teknologi penyimpanan energi,” jelasnya.

RUPTL terbaru menjadi peta jalan strategis untuk mendorong percepatan transisi energi, perluasan elektrifikasi wilayah 3T, penciptaan lapangan kerja hijau, serta penguatan ketahanan energi nasional.

“PLN berkomitmen membangun sistem ketenagalistrikan yang lebih bersih, inklusif, dan berkelanjutan. Dengan dukungan seluruh pemangku kepentingan dari sisi teknologi, pembiayaan, kapasitas, dan regulasi, kami optimistis target transisi energi Indonesia dapat tercapai,” tutup Darmawan.

Peluncuran kerja sama Indonesia–Norwegia melalui Framework Agreement PLN–GGGI ini menjadi babak baru perdagangan karbon internasional berbasis teknologi dari Indonesia. Inisiatif ini memperkuat posisi Indonesia sebagai penggerak utama pasar karbon berintegritas tinggi sekaligus menegaskan peran KLH/BPLH dalam mengawal implementasi penuh Article 6 Perjanjian Paris menuju ekonomi hijau yang adil dan berkelanjutan.