LINGKUNGAN HIDUP
Indonesia Pimpin Aksi Nyata Menuju Net Zero dan Ekonomi Hijau di COP30
apakabar.co.id, JAKARTA - Pemerintah Indonesia menegaskan posisi sebagai pemimpin aksi iklim global dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP30) di Belém, Brasil. Dalam forum yang dijuluki “COP of Truth”, Indonesia hadir membawa bukti nyata melalui kebijakan konkret, target terukur, dan aksi lapangan yang menunjukkan kepemimpinan dengan keteladanan.
Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi, Hashim S. Djojohadikusumo, yang menyampaikan pernyataan nasional mewakili Presiden Prabowo Subianto, menegaskan arah besar Indonesia di hadapan para kepala negara.
“Indonesia datang ke Belém bukan sebagai penonton, tetapi sebagai penggerak. Kami membawa kebijakan, kemitraan, dan target yang terukur untuk memastikan transisi energi yang adil, berkelanjutan, dan menguntungkan bagi rakyat,” ujar Hashim.
Indonesia memperkuat komitmen global melalui Second Nationally Determined Contribution (SNDC) yang menurunkan proyeksi puncak emisi 2030 secara signifikan hingga 17,5 persen. Target jangka menengahnya adalah penurunan emisi sebesar 1,258 gigaton CO₂e pada skenario rendah dan 1,489 gigaton CO₂e pada skenario tinggi pada tahun 2035, menuju Net Zero Emission pada 2060 atau lebih cepat, sejalan dengan visi Indonesia Emas 2045.
Pemerintah juga menegakkan fondasi kebijakan melalui dua regulasi strategis, yakni Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2025 tentang Penanganan Sampah Perkotaan Melalui Pengolahan Sampah Menjadi Energi Terbarukan Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan, serta Perpres Nomor 110 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Nasional. Kedua regulasi ini menjadi pilar pembiayaan dekarbonisasi dan pengendalian emisi nasional.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kepala BPLH, Hanif Faisol Nurofiq, menegaskan arah transformasi tersebut.
“COP30 menjadi momentum untuk membuktikan bahwa pembangunan hijau tidak hanya mungkin, tetapi juga menguntungkan. Indonesia membangun kepemimpinan dari aksi nyata, bukan sekadar janji,” ujarnya.
Dalam forum Belém Climate Summit, Indonesia menunjukkan capaian konkret di berbagai bidang. Tingkat deforestasi tahunan berhasil ditekan hingga 75 persen sejak 2019, disertai restorasi 950 ribu hektare lahan dan gambut terdegradasi. Pemerintah juga mengakui 1,4 juta hektare hutan adat bagi masyarakat lokal sebagai bentuk keadilan sosial-ekologis. Melalui program FoLU Net Sink 2030, Indonesia menargetkan penurunan emisi sebesar 92 hingga 118 juta ton CO₂.
Di sektor energi, Indonesia meningkatkan bauran energi terbarukan menjadi 23 persen pada 2030, menghentikan investasi pembangkit batu bara baru sejak 2023, serta mempercepat penghentian operasi PLTU lama. Upaya ini diperkuat dengan mobilisasi investasi karbon lintas sektor hingga mencapai 7,7 miliar dolar AS per tahun melalui pasar karbon domestik dan kerja sama internasional dengan Jepang, Gold Standard, dan Verra.
Indonesia juga melaporkan kesiapan menyampaikan NDC generasi ketiga yang lebih ambisius, inklusif, dan berbasis bukti, sebagai refleksi satu dekade implementasi Paris Agreement. Kerangka pengukuran, pelaporan, dan verifikasi (MRV) kini mencakup 93 persen dari total emisi nasional, selaras dengan SDGs dan hasil Global Stocktake pertama.
Sebagai negara megadiversitas, Indonesia memperkuat peran perlindungan hutan dan laut. Pemerintah berkomitmen menghentikan deforestasi pada 2030, memperluas restorasi hutan tropis, memperkuat kerja sama dengan Tropical Forests Forever Fund (TFFF), serta meluncurkan inisiatif Call to Action on Integrated Fire Management untuk pengendalian kebakaran hutan berbasis teknologi dan komunitas. Indonesia juga memimpin seruan global perlindungan ekosistem laut melalui blue carbon initiative, penurunan polusi laut dan mikroplastik, serta penguatan ketahanan pesisir dan ekonomi maritim berbasis masyarakat.
Presiden Republik Federasi Brasil, Luiz Inácio Lula da Silva, selaku tuan rumah COP30, memuji komitmen negara-negara hutan tropis seperti Indonesia yang menampilkan tindakan nyata.
“Tahun 2024 adalah pertama kalinya suhu rata-rata bumi melampaui 1,5°C. Namun kita tidak boleh menyerah. Inilah saatnya berani menghadapi kenyataan dan bertindak demi kebaikan bersama,” ujar Lula. Ia menegaskan bahwa keadilan iklim adalah sekutu dalam perjuangan melawan kemiskinan dan ketimpangan.
Senada dengan itu, Sekretaris Jenderal PBB António Guterres mengingatkan dunia agar berpindah dari wacana ke aksi.
“Tidak seorang pun bisa bernegosiasi dengan hukum fisika. Pilihlah untuk memimpin, atau kita akan dipimpin menuju kehancuran. COP30 harus menjadi titik balik—saat dunia memilih tindakan, bukan penundaan,” tegas Guterres.
Dalam penutup pernyataannya, delegasi Indonesia menyerukan agar dunia beranjak dari negosiasi menuju transformasi nyata dengan semangat gotong royong—mutirão—demi warisan iklim yang adil, ambisius, dan berkelanjutan.
“Keadilan iklim berarti memastikan tak ada yang tertinggal. Indonesia siap memimpin dengan memberi teladan—memadukan kebijakan, sains, dan nilai sosial untuk masa depan yang lebih baik,” tutup Menteri Hanif.
Rangkaian Konferensi Perubahan Iklim 2025 di Brasil telah dibuka dengan Belém Climate Summit yang dihadiri oleh 27 kepala negara pada 6–7 November 2025, dan akan dilanjutkan dengan agenda utama pada 10–21 November 2025. Pavilion Indonesia dijadwalkan dibuka secara resmi oleh Menteri Hanif Faisol Nurofiq pada 10 November 2025.
Editor:
ANDREY MICKO
ANDREY MICKO