LINGKUNGAN HIDUP

MPR: Pasar Karbon Harus Jadi Mesin Pertumbuhan Ekonomi Hijau

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Eddy Soeparno. Foto: MPR RI
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Eddy Soeparno. Foto: MPR RI
apakabar.co.id, JAKARTA - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Eddy Soeparno menegaskan pasar karbon lebih dari sekadar instrumen pengurangan emisi, tetapi juga menjadi penggerak utama investasi hijau, daya saing ekonomi, dan kemakmuran bersama.

"Indonesia datang ke COP30 dengan pesan kuat: pasar karbon harus menjadi mesin pertumbuhan ekonomi hijau yang inklusif dan berintegritas tinggi," kata Eddy dalam keterangan di Jakarta, Rabu.

Hal itu disampaikan Eddy pada pidato kunci di KTT Iklim COP 30 pada sesi bertajuk Scaling Up Carbon Markets - Advancing Markets Through Global Collaboration di Paviliun Indonesia Belem, Brazil.
Sesi tersebut dihadiri pembicara dari berbagai negara dan lembaga internasional, antara lain Evy Haryadi (Direktur Teknologi, Ketenagalistrikan, dan Keberlanjutan PLN), Dr. Ignatius Wahyu Marjaka, M.Eng (Direktur Tata Kelola Harga Karbon, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI), Erling Motzfeldt Kravik (Acting Head of the Climate Section, Kementerian Iklim dan Lingkungan Norwegia), serta Margaret Kim (CEO Gold Standard).

"Peraturan Presiden Nomor 110 Tahun 2025 tentang Nilai Ekonomi Karbon menjadi tonggak penting dalam membangun ekosistem karbon yang kredibel dan terintegrasi dengan tujuan pembangunan nasional serta komitmen iklim global," ujarnya.

Eddy menjelaskan bahwa Indonesia kini sedang memperkuat kerja sama internasional untuk operasionalisasi kerangka kerja Article 6 Paris Agreement, termasuk dengan Singapura, Korea Selatan, Denmark, dan Norwegia, guna membuka peluang perdagangan karbon lintas batas yang berintegritas tinggi.

Ia menyoroti strategi pembangunan ekonomi hijau sebagai pilar utama menuju pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen per tahun pada 2029.
Menurutnya, Indonesia memiliki potensi besar dari hutan seluas 126 juta hektare, mangrove 3,3 juta hektare, dan potensi penyimpanan karbon (CCS) sebesar 600 gigaton dengan 19 proyek yang sedang dalam tahap persiapan.

Melalui RUPTL 2025–2034, Indonesia menargetkan pembangunan kapasitas energi terbarukan sebesar 43 GW dan penyimpanan baterai 10,3 GW.

"Program ini diharapkan menciptakan lebih dari 1,7 juta lapangan kerja hijau dan menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan," kata Eddy.

Ia juga menyoroti peran MPR RI ikut mengawal terbentuknya keselarasan antara investasi, regulasi, dan kerja sama internasional dalam transisi energi Indonesia.

"Melalui harmonisasi kebijakan dan reformasi regulasi, kami turut mendukung percepatan pembahasan RUU Perubahan Iklim, RUU Energi Terbarukan, dan RUU Ketenagalistrikan sebagai fondasi hukum bagi pertumbuhan rendah karbon," jelasnya.
Di akhir pidatonya, Doktor Ilmu Politik Universitas Indonesia ini menyerukan kolaborasi global yang lebih erat untuk memastikan ambisi iklim dapat diwujudkan menjadi tindakan nyata.

"Melalui dialog publik seperti ini, kita menegaskan kembali komitmen bersama untuk membangun masa depan yang berkelanjutan dan sejahtera bagi Indonesia serta generasi mendatang," pungkasnya.