Film Dirty Vote, TKN Prabowo-Gibran: Dokumenter Berisi Fitnah

Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Habiburokhman, menyebut dokumenter Dirty Vote merupakan film yang berisi fitnah. Foto: apakabar.co.id.

apahabar.com, JAKARTA  – Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Habiburokhman, menyebut film dokumenter Dirty Vote sebagai tayangan yang berisi fitnah.

“Sejak kemarin ringkasannya beredar, tetapi baru tadi jam 11-an ada versi utuh kita bisa tonton dan lihat,” jelas Habiburokhman dalam jumpa pers di Media Center Prabowo-Gibran, Jakarta, Minggu (11/2).

Di negara demokrasi, kata Habiburokhman, semua orang bebas untuk menyatakan pendapatnya. Namun apa yang disampaikan oleh  Dirty Vote, sebagian besar pesannya berisi narasi kebencian yang sangat asumtif dan sangat tidak ilmiah.

“Saya mempertanyakan kapasitas tokoh-tokoh yang ada di film tersebut,” katanya.

Wakil Ketua Komisi III DPR itu menilai ada tendensi untuk mendegradasi pemilu dengan narasi yang sangat tidak berdasar. Hanya saja, rakyat sangat paham bahwa tokoh yang paling banyak disebutkan di film tersebut, yakni Presiden Joko Widodo, sangat berkomitmen menegakkan demokrasi.

“Rakyat tahu pihak mana yang sebenarnya melakukan kecurangan. Pihak mana yang mendapatkan keuntungan. Yang mendapat dukungan sebagian besar rakyat karena program dan rekam jejak yang jelas berpihak kepada rakyat,” paparnya.

Jika Zainal Arifin Mochtar seperti di film ingin menjadikan Dirty Vote sebagai dasar penghukuman, justru Habiburokhman khawatir, rakyat yang akan menghukum mereka, dengan cara rakyat sendiri.

“Jadi tindakan-tindakan mereka yang menyampaikan informasi yang sangat tidak argumentatif, tetapi tendensius menyudutkan pihak tertentu, berseberangan dengan apa yang menjadi sikap sebagian besar rakyat,” jelasnya.

Saat ini, terang Habiburokhman, rakyat begitu antusias dengan keinginan Prabowo Subianto untuk melanjutkan segala capaian pemerintahan yang ada saat ini.

Pasca-kehadiran Dirty Vote, Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran menyarankan agar rakyat tetap tenang. Tidak terhasut dan tidak terprovokasi dengan kebohongan yang dihadirkan oleh film tersebut. Termasuk tidak melakukan pelanggaran hukum.

“Kita harus pastikan Pemilu 2024 berlangsung damai dan juga jurdil,” tegasnya.

Ia menambahkan, “Pastikan rakyat bisa menggunakan hak politiknya dengan sebaik-baiknya, karena itu akan menentukan masa depan kita semua.”

Tiga Hal

Secara khusus, Habiburokhman menjelaskan ada tiga hal penting dalam film tersebut yang mereka soroti. Yang pertama terkait pernyataan Feri Amsari soal penunjukan 20 pejabat kepala daerah di 20 provinsi.

Jika dikaitkan dengan jumlah DPT 140 juta suara yang ekivalen dengan lebih dari setengah jumlah pemilih di seluruh Indonesia, narasi itu, kata Habiburokhman, sangat tidak ilmiah dan tidak masuk akal.

“Bagaimana misalnya, Feri menyebut Pak Jokowi menunjuk 20 Pj kepala daerah dengan jumlah penduduk lebih dari 50%, lalu dikaitkan dengan orkestrasi pemenangan salah satu paslon. Dengan jumlah pemilih lebih dari 50% dan sebarannya memenuhi ketentuan pasal 6 UUD, yaitu 20% suara di setidaknya 50% provinsi,” jelasnya.

Menurut Habiburokhman, sangat sulit bagi seorang Pj kepala daerah bisa memastikan seluruh pemilih di daerah yang dipimpinnya mampu mewujudkan keinginan seseorang yang menunjuknya sebagai kepala daerah.

“Logikanya dimana? Dengan kewenangan Pj kepala daerah yang jauh lebih terbatas daripada kepala daerah aktif. Bagaimana bisa skenario Feri Amsari itu terwujud,” tanya Habiburokhman.

Ia menambahkan, “Berarti benar-benar narasi yang sangat spekulatif. Yang lemah secara argumen, makanya jauh dari apa yang disebut sebagai ilmiah.”

Hal kedua terkait pernyataan Bivitri Susanti, yang menyebut alasannya terlibat di film itu karena banyak orang yang akan semakin paham bahwa telah terjadi kecurangan yang luar biasa. Dengan begitu, Pemilu 2024 tidak bisa dianggap baik-baik saja.

“Pernyataan ini benar-benar tidak berdasar. Tidak disebut peristiwa kecurangan yang mana? Apa buktinya? Bagaimana status pelaporannya? Dan bagaimana status penanganan perkaranya?” tanya Habiburokhman.

Jika ingin bicara soal kecurangan, kata Habiburokhman, harus faktual. Misalnya di era Pemilu 2019 ada persoalan daftar pemilih ganda, dugaan pemilih fiktif hingga pengerahan pemilih dari luar untuk memilih. Jumlah angkanya harus jelas.

“Bagaimana dia mengatakan ada kecurangan yang luar biasa. Kalau ada 1-2 Pj kepala daerah melakukan pelanggaran apakah sudah diproses secara hukum,” ujar Habiburokhman.

Karena itu, Habiburokhman menilai pernyataan Bivitri Susanti murni merupakan asumsi.

Ketiga terkait penjelasan Zaenal Arifin Mochtar yang menyinggung keterlibatan kepala desa. Kepala desa ditengarai digunakan untuk memenangkan paslon tertentu.

“Hal ini juga tidak berdasar. Karena nggak disebut di kasus mana kepala desa sudah kerja lalu memastikan warga di desanya memilih paslon tertentu. Bagaimana caranya?” kata Habiburokhman.

Sama halnya dugaan keterlibatan pejabat kepala daerah, Habiburokhman mengingatkan bahwa bicara hukum seharusnya dapat dibuktikan secara faktual.

“Misalnya kasusnya mana yang dilaporkan?” kata Habiburokhman.

Habiburokhman memaparkan, misalnya kepada desa A memaksa seluruh warganya memilih paslon tertentu. Buktinya ada, saksinya ada, perkaranya sudah dilaporkan. Bawaslu sudah menangani dan Bawaslu membuat keputusan.

“Nah ini nggak ada semua,” katanya.

Karena itu, Habiburokhman beranggapan, film Dirty Vote sengaja didesain untuk diluncurkan di masa tenang. Itu diupayakan karena cara-cara yang fair untuk bertarung secara elektoral sudah tidak mampu lagi dilakukan oleh kontestan lainnya.

“Kita begini aja, jika tidak suka dengan salah satu paslon, kan ini event pemilu. Ya kita dukung paslon yang lain. Kita lakukan cara-cara yang sesuai kaidah elektoral,” ujarnya.

Sejauh ini, ungkap Habiburokhman, elektabilitas Prabowo dan Gibran terus meroket dan sudah tembus batas psikologis sekali putaran 50% + 1 suara. Dengan begitu dilakukan sejumlah cara untuk mengubah perhatian pemilih.

“Kami yakin ini pasti gak laku di hati rakyat. Rakyat sudah tahu apa yang harus mereka lakukan pada 14 Februari 2024,” tandasnya.

7 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *