apakabar.co.id, JAKARTA – Baru-baru ini beredar sebuah video yang menampilkan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani sempat membuat gaduh di media sosial. Dalam potongan video tersebut, ia menyatakan bahwa guru adalah beban negara.
Belakangan, Menkeu mengklarifikasi bahwa informasi tersebut adalah hoaks. Meski demikian, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menilai bahwa substansi narasi tersebut justru mencerminkan kenyataan.
Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji mengamini kebijakan anggaran selama ini memang menunjukkan kecenderungan memandang guru sebagai beban.
Sementara itu, dalam video aslinya, Sri Mulyani menyoroti gaji dan tunjangan guru sebagai tantangan bagi keuangan negara. Ia justru mempertanyakan, “Apakah semuanya harus ditanggung keuangan negara atau perlu ada partisipasi masyarakat?” Pertanyaan ini menimbulkan reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk JPPI.
Menurut Ubaid, setidaknya ada tiga masalah utama yang memperlihatkan cara pandang pemerintah yang keliru terhadap guru. Pertama, ketidakpahaman atas kewajiban konstitusional.
Gaji dan tunjangan guru bukanlah sekadar beban, melainkan hak yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Konstitusi secara jelas mewajibkan pemerintah mengalokasikan minimal 20 persen APBN untuk pendidikan, termasuk gaji tenaga pendidik.
“Ketika pemerintah mempertanyakan peran masyarakat membiayai gaji guru, hal itu sama saja melepaskan tanggung jawab negara,” papar Ubaid, Kamis (22/8).
Kedua, masalah anggaran yang tidak tepat sasaran. JPPI menilai persoalan sesungguhnya bukan karena banyaknya guru, melainkan kebijakan anggaran yang tidak efisien dan rawan korupsi.
Sebagai contoh, dalam rancangan RAPBN 2026, pemerintah lebih menekankan pada program makan gratis yang kontroversial, ketimbang fokus memperbaiki kesejahteraan guru. Akibatnya, banyak guru, terutama guru madrasah yang menunggu puluhan tahun hanya untuk mendapatkan sertifikasi dan tunjangan profesi.
“Kondisi ini sangat ironis, mengingat peran guru sangat vital dalam membentuk kualitas sumber daya manusia,” ungkap Ubaid.
Ketiga, beban sebenarnya adalah pejabat korup, bukan guru. JPPI menegaskan korupsi di kalangan pejabat justru menjadi faktor utama yang menguras anggaran negara. Banyak pejabat yang menikmati fasilitas mewah sekaligus gaji dan pensiun, dan terbukti merugikan rakyat dengan praktik korupsi.
Sementara itu, para guru yang berjuang di garis depan pendidikan sering kali harus bertahan hidup dengan penghasilan minim. Anggaran yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan malah habis seiring penyalahgunaan dana.
Berdasarkan tiga hal tersebut, JPPI mendesak pemerintah agar mengubah cara pandang terhadap guru. Gaji dan tunjangan guru bukanlah beban, tetapi hak yang wajib dipenuhi negara sebagai bagian dari amanat konstitusi. Pemerintah seharusnya berhenti untuk mencari kambing hitam dan lebih fokus memperbaiki sistem pengelolaan anggaran agar lebih transparan dan berkeadilan.
“Guru bukanlah beban negara, melainkan jantung dari investasi bangsa dalam pembangun peradaban. Mereka pantas dihargai dan disejahterakan, bukan hanya secara finansial namun juga secara martabat,” pungkas Ubaid.