Kunjungan Semu Gibran ke Muara Kate

Wakil Presiden, Gibran Rakabuming Raka (kanan) saat mengunjungi warga di Muara Kate, Paser, Kalimantan Timur. Foto: istimewa

apakabar.co.id, JAKARTA – Kunjungan Wakil Presiden, Gibran Rakabuming Raka, ke Dusun Muara Kate, Paser, Kalimantan Timur, Sabtu (15/6), memunculkan harapan akan penyelesaian konflik berkepanjangan antara warga dan aktivitas tambang batu bara.

Namun, bagi sejumlah kelompok masyarakat sipil, kunjungan itu tak lebih dari langkah simbolik yang tidak menyentuh akar masalah.

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai, kehadiran Gibran tidak diiringi dengan langkah tegas menghentikan praktik yang membahayakan keselamatan publik.

“Sejak revisi UU Minerba 2020, ruang legal bagi truk tambang menggunakan jalan umum justru terbuka lebar,” kata Dinamisator JATAM Kaltim, Mareta Sari, Rabu (18/6).

JATAM menyoroti Pasal 91 UU Minerba hasil revisi 2020 yang memberi celah penggunaan sarana umum untuk hauling tambang.

Proses pengesahan beleid ini pun dilakukan di tengah pandemi Covid-19, yang menurut Mareta minim partisipasi publik. Salah satu tokoh yang terlibat dalam pembahasan saat itu adalah Rudy Mas’ud, kini menjabat Gubernur Kaltim.

Mantan anggota Komisi Pertambangan DPR RI ini pun menjadi sorotan saat hadir dalam rapat terbatas dengan Wapres Gibran di Sekretariat Wapres, Senin (16/6), sehari usai kunjungan ke Muara Kate.

Ia datang bersama Kepala Dinas ESDM Kaltim Bambang Arwanto, dan menyampaikan kesiapan menindaklanjuti arahan Wapres.

Namun, dalam rapat yang juga dihadiri Kementerian ESDM, PUPR, Forkopimda Kaltim, serta Bupati Tabalong, terungkap bahwa Pemprov Kaltim masih memberi kelonggaran terbatas bagi PT Mantimin Coal Mining (MCM) untuk beroperasi di jalur selatan.

MCM selama ini jadi sorotan karena menggunakan jalan nasional untuk hauling batubara sejauh ±135 km menuju jetty di Desa Rangan, Kecamatan Kuaro, Paser, melintasi sedikitnya 33 sekolah dan permukiman warga.

Sebelumnya, rata-rata perusahaan tambang di Kalimantan Selatan mengirimkan batu bara mereka melalui Pelabuhan Klanis di Provinsi Kalimantan Tengah dengan waktu tempuh 12 hari hingga ship to ship dari tongkang ke vessel.

Menurut Pemprov, jalan hauling PT MCM akan dialihkan ke jalan milik PT Tabalong Prima, anak usaha Jhonlin Group milik Andi Syamsuddin Arsyad atau Haji Isam.

Jalan ini membentang 143 km dari Tabalong ke Kerang Dayo. Kementerian ESDM, kata Pemprov tidak membolehkan lagi truk hauling melewati jalan nasional.

Namun, pengalihan itu belum berjalan sepenuhnya. Belakangan, lewat siaran pers Pemprov Kaltim, Gubernur Rudy menyebut akan menerapkan sistem sif sementara, membolehkan truk kecil lewat pada malam hari setelah pukul 21.00.

Tambang, kata Rudy, harus tetap berjalan untuk ekonomi, meski tetap tidak boleh mengorbankan keselamatan.

Kebijakan ini mengundang kritik tak hanya JATAM, tapi juga Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) karena tidak memiliki dasar teknis yang jelas.

Bahkan, Wakil Ketua Umum MTI Djoko Setijowarno, menegaskan bahwa penggunaan jalan umum untuk hauling sudah dilarang.

Menurut Djoko, kalau jalan hauling belum siap, operasional tambang harus dihentikan. Ia meminta pemerintah tidak memaksakan truk hauling lewat jalan rakyat karena mengancam keselamatan warga.

Secara teknis, skema kelonggaran ini juga dianggap JATAM irasional. Sementara itu, jendela waktu yang tersedia untuk pengangkutan 5 jam, yakni dari pukul 22.00 hingga 04.00.

Dengan kapasitas tongkang batubara milik MCM berkisar antara 6.000 hingga 8.000 ton, dan asumsi satu truk PS roda 6 ideal membawa 5 ton batubara, maka dibutuhkan sekitar 1.600 truk untuk memenuhi kapasitas satu tongkang setiap hari.

Kondisi ini akan menciptakan antrean truk sepanjang kurang lebih 13 kilometer, menimbulkan kemacetan ekstrem dan risiko keselamatan tinggi, terutama bagi masyarakat di sepanjang jalur. Ini adalah skema yang tidak hanya irasional, tapi juga membahayakan.

Fakta di lapangan membuktikan bahwa konflik tak pernah selesai. Sejak 2012, pelanggaran terhadap Perda Kaltim Nomor 10 Tahun 2012 terus terjadi.

Perda ini dengan tegas melarang angkutan batubara melintasi jalan umum dan mewajibkan perusahaan memiliki jalan khusus sejak pengajuan izin.

Tragedi demi tragedi pun terjadi akibat hauling di jalan umum. Mei 2024, seorang ustaz bernama Teddy tewas tertabrak truk. Oktober 2024, seorang pendeta bernama Veronika meninggal karena truk gagal menanjak. Puncaknya, pada 15 November 2024, posko warga di Muara Kate diserang, Russell dibunuh, dan Anson terluka parah.

Hingga kini, sudah 215 hari berlalu tanpa penyelesaian hukum yang tuntas. Pembunuh Russell masih belum ditemukan kepolisian, dan truk hauling masih kucing-kucingan dengan warga.

JATAM menilai situasi ini sebagai bentuk pembiaran sistematis oleh negara. Bahkan, keberadaan tim terpadu pengawasan yang dibentuk lewat SK Gubernur Kaltim No. 70/2013 hingga kini tak pernah menunjukkan hasil transparan.

“Ini bukan soal teknis semata. Ini soal keberpihakan. Pemerintah, dari gubernur hingga pusat, harus berhenti memberi ruang legal bagi praktik yang nyata-nyata membahayakan warga,” tegas Mareta.

JATAM mendesak agar Wapres dan kementerian terkait turun tangan langsung memeriksa PT Mantimin Coal Mining. Bila terbukti melanggar, perusahaan ini semestinya dijatuhi sanksi administratif, termasuk pencabutan izin.

“Jangan justru memberi panggung pada solusi semu seperti sif malam atau jalan alternatif yang tak jelas dasar hukumnya. BBPJN sendiri sudah menyatakan aktivitas MCM selama ini dilakukan tanpa izin resmi,” pungkas Mareta.

9 kali dilihat, 9 kunjungan hari ini
Editor: Raikhul Amar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *