Laut Tercemar, Nelayan Muara Badak Merugi Rp68,4 Miliar -

Laut Tercemar, Nelayan Muara Badak Merugi Rp68,4 Miliar

Ratusan nelayan demo pencemaran laut di Muara Badak. Foto: istimewa

apakabar.co.id, JAKARTA – Krisis besar menimpa ratusan nelayan kerang dara di pesisir Muara Badak, Kutai Kartanegara. Sejak akhir 2024, laut yang menjadi tumpuan hidup mereka tercemar.

Akibatnya, lebih dari 1.000 hektare tambak budidaya terdampak pencemaran. Itu membuat 299 nelayan kehilangan mata pencaharian setelah ribuan ton kerang gagal dipanen. Total kerugian ditaksir mencapai Rp68,4 miliar.

Muhammad Said, Ketua Persatuan Budidaya Kerang Dara, mengatakan seluruh anggota melakukan mogok total. Mereka terpaksa mencari pekerjaan lain untuk menutup kebutuhan sehari-hari.

Berdasarkan data tuntutan warga, total kerugian hampir Rp70 miliar. Potensi produksi yang hilang mencapai sekitar 3.800 ton kerang dara. Luas tambak terdampak diperkirakan mencapai 1.000 hektare, dengan dampak berbeda antar nelayan karena ukuran lahan yang bervariasi.

Said merinci kerugian pribadinya. Di lahan seluas 7 hektare ia menebar 11 ton bibit. Pada masa produksi 8–14 bulan, rasio tanam panen mencapai 1:5. Dengan harga rata-rata satu ton bernilai Rp18.000, Said menghitung kerugian sekitar 55 ton atau sekitar Rp990 juta.

Sumber penghidupan utama itu kini hilang. Banyak nelayan beralih jadi buruh harian, atau menangkap ikan, mencari kepiting, jadi ojek, dan bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Said menyebut ada janji pemeriksaan laboratorium dan pengambilan sampel oleh lembaga seperti IPB dan Unmul yang akan diolah Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).

Namun warga kebingungan karena hasil forensik disebut kini berada di Mabes Polri. Proses verifikasi pun tertunda. Warga merasa proses itu justru mengambang.

“Informasi terbaru. Hasil laboratorium dari kementerian menunggu hasil terakhir lab forensik Mabes Polri. Karena katanya cuma lab itu satu satu-nya yang bisa menguji parameter tersebut dan cuma ada di Indonesia,” jelasnya.

Dalam mediasi pada dua bulan lalu, kata dia, Bupati meminta DLH menindaklanjuti dan menyurat ke KLH. DLH mengaku sudah mengirim surat, tetapi sampai sekarang belum ada jawaban resmi atau tindaklanjut yang jelas.

“Kami merasa digantung tanpa kepastian bantuan atau pemulihan,” jelasnya.

Bupati juga meminta kelompok nelayan menyiapkan proposal bantuan. Rencana bantuan barang seperti perahu lengkap mesin dan peralatan. Proposal disebut masih direvisi dan belum diajukan.

Gelombang protes kemudian terjadi. Sejak Januari hingga Februari 2025, para nelayan kemudian menggelar demonstrasi di sekitar lokasi pengeboran RIG Great Wall Drilling Company 16. Ratusan warga ikut aksi. Empat di antaranya diproses hukum.

Akademisi Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah mengkritik langkah aparat, mengingat ada aturan untuk melindungi pejuang lingkungan (anti-SLAPP) dan hak atas lingkungan hidup, sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Nomor 1 Tahun 2021.

Sejak pasca-aktivitas rig Pertamina Hulu Sanga-Sanga (PHSS) akhir 2024, perairan di sekitar tambak mengalami perubahan kualitas. Mulai dari peningkatan lumpur, bahan organik, dan indikasi bakteri yang mengganggu pernapasan kerang.

Temuan ini mendorong nelayan dan akademisi mengaitkan pencemaran dengan aktivitas operasional PHSS. Karena itu warga menuntut Pertamina bertanggung jawab.

Dihubungi terpisah, pihak Pertamina Hulu Sanga-Sanga (PHSS) akhirnya memberikan keterangan resmi. Perusahaan membantah tudingan pencemaran dan menegaskan bahwa seluruh kegiatan operasi migas dilakukan sesuai aturan.

“Perusahaan telah dan akan terus berkoordinasi dengan pemerintah daerah, pihak berwenang, dan pemangku kepentingan terkait untuk memastikan penanganan kejadian ini dengan baik dan obyektif sesuai peraturan perundang-undangan,” demikian keterangan resmi PHSS.

5 kali dilihat, 5 kunjungan hari ini
Editor: Raikhul Amar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *