NEWS

Nelayan Muara Badak: BPJS Tak Menyelesaikan Krisis Pencemaran Laut

Beberapa nelayan melakukan protes ke Pertamina Hulu Sanga-Sanga (PHSS) karena diduga melakukan pencemaran limbah di Muara Badak, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Beberapa nelayan melakukan protes ke Pertamina Hulu Sanga-Sanga (PHSS) karena diduga melakukan pencemaran limbah di Muara Badak, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

apakabar.co.id, JAKARTA – Janji Gubernur Kalimantan Timur, Rudy Mas’ud, memberikan kepesertaan BPJS Kesehatan kepada nelayan Muara Badak yang terdampak pencemaran limbah PT Pertamina Hulu Sanga Sanga (PHSS) dinilai tak menyentuh akar masalah.

Bagi nelayan, kartu itu tak akan menghidupkan kembali laut yang mati dan dapur yang kosong.

“Belum ada dan belum kami ketahui, bantuannya seperti apa. Masyarakat menganggap BPJS itu bantuan pelengkap saja. Kalau sakit karena kelaparan, mungkin baru bisa kami pakai,” kata Muhammad Yusuf, nelayan kerang darah, Kamis (14/8).

Yusuf menegaskan kebutuhan utama warga adalah memulihkan perairan yang tercemar, modal usaha untuk kembali membudidayakan kerang darah, alternatif mata pencaharian, dan keringanan beban hidup. Tanpa itu, janji BPJS hanya dianggap formalitas yang tak menyentuh akar masalah.

Krisis ini menghantam 299 kepala keluarga di enam desa pesisir. Sekitar 1.000 hektare lahan kerang darah tercemar, produksi hilang 3.800 ton, kerugian ditaksir Rp68,4 miliar.

Riset Fakultas Perikanan Universitas Mulawarman menemukan lonjakan bahan organik, lumpur pekat, serta infeksi bakteri dan parasit yang merusak pernapasan kerang.

Namun, lima bulan sejak kasus mencuat, arah penegakan hukum justru memihak korporasi. Laporan PHSS terhadap empat nelayan sudah naik ke penyidikan. Sebaliknya, laporan nelayan terhadap PHSS masih terhenti di tahap penyelidikan.

Kasatreskrim Polres Bontang AKP Heri bersikukuh semua kasus diperlakukan sama. “Tidak ada perbedaan dalam menangani kasus ini. Semua berproses,” katanya.

PHSS mengaku menghormati proses hukum dan mengklaim operasinya aman sesuai AMDAL. Mereka juga berlindung di balik hasil peninjauan Gakkum KLHK pada Maret lalu.

Empat nelayan—Muhammad Yusuf, Muhammad Yamin, Muhammad Said, dan Haji Tarre—dilaporkan dengan tuduhan memasuki objek vital nasional dan menghasut saat aksi Januari–Februari 2025 di sekitar rig Great Wall Drilling Company 16.

“Kami sangat tertekan. Kami hanya ingin keadilan. Kami mohon perlindungan dari segala bentuk kriminalisasi,” ujar Yusuf.

Akademisi Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah alias Castro, menyebut aparat seperti “masuk angin” karena mempidanakan korban lingkungan.

“Harusnya nelayan dibentengi, bukan dipidanakan,” ujarnya. Ia bahkan menduga kriminalisasi ini disengaja. “Jangan-jangan ini by design, untuk menyembunyikan kejahatan ekologis.”

Rudy Mas’ud sebelumnya mengaku prihatin dan menyebut Pemprov menyiapkan 77 ribu kepesertaan BPJS dengan anggaran Rp15 miliar, termasuk untuk nelayan dan petani. Ia berjanji mendorong keadilan restoratif.

“Coba nanti kami cross check melalui DLH perkembangan terakhirnya. Nanti saya kabari,” ujarnya.

Bagi nelayan, janji itu terdengar seperti pemadam kebakaran yang datang saat api sudah jadi abu.

Foto editor
Editor:
ADMIN