NEWS
Pengamat Desak Pemerintah Telusuri Penyebab Bencana Sumatera
apakabar.co.id, JAKARTA - Direktur Eksekutif Center For Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi menegaskan sangat penting untuk mengurai akar penyebab bencana banjir dan tanah longsor di Sumatera Utara (Sumut), Aceh, dan Sumatera Barat (Sumbar), agar pemerintah bisa mengambil langkah tepat untuk mencegah bencana terulang.
Menurut dia, siklon tropis Senyar yang membawa curah hujan ekstrem memang menjadi salah satu faktor pemicu, namun di luar itu, ada aspek manusia atau keberadaan industri yang juga menjadi faktor penting.
"Faktor inilah yang harus ditelusuri agar ketemu akar penyebabnya," ujar dia, dalam keterangannya di Jakarta, Senin (8/12).
Pengamat asal Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumut itu menyebut, khusus di Sumut, ada tiga klaster industri yang banyak disebut menjadi penyebab banjir dan longsor, yakni industri kelapa sawit, tambang, dan kertas.
Menurut berbagai data dan temuan di lapangan, industri kelapa sawit mencakup konsesi paling luas, mencapai 2,018 juta hektare.
Angka tersebut, katanya lagi, baru yang tercatat secara resmi, di luar itu masih ada kebun sawit ilegal yang ditengarai sering melakukan land clearing atau pembukaan lahan dengan membabat hutan secara serampangan.
Dia mencontohkan, salah satunya yang diungkap Bupati Tapanuli Tengah Masinton Pasaribu, yakni PT Sinar Gunung Sawit Raya (SGSR) yang melakukan penanaman sawit ilegal di wilayah hutan seluas 451 hektare.
"Penguasaan lahan secara ilegal seperti ini harus diusut tuntas dan diproses hukum," kata Uchok.
Klaster kedua yang menjadi sorotan adalah industri pertambangan, khususnya tambang emas Martabe milik PT Agincourt Resources, menurut dia, perusahaan tambang ini memiliki konsesi seluas 130.252 hektare.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 40 ribu hektare di antaranya disebut tumpang-tindih dengan kawasan ekosistem Batang Toru. Selain itu, sekitar 30 ribu hektare lainnya juga tumpang tindih dengan hutan lindung di Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan.
Sebagaimana diketahui, wilayah Tapanuli menjadi salah satu episentrum bencana banjir dan tanah longsor paling parah di Sumatera Utara, karena itu, menurut Uchok, pemerintah harus melakukan audit menyeluruh, mengapa sampai ada tumpang tindih lahan seperti itu.
"Kalau memang ada pelanggaran, harus diproses hukum agar menjadi pelajaran bagi yang lain," ujarnya.
Klaster ketiga, kata Uchok lagi, adalah industri kertas di sini, ada PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang beroperasi di sekitar wilayah Toba. Perusahaan yang dimiliki Allied Hill Limited asal Hong Kong itu tercatat memiliki konsesi seluas 167.912 hektare.
Dari luas tersebut, ujarnya lagi, 46 ribu hektare ditanami eukaliptus dan 48 ribu hektare lainnya digunakan sebagai lahan konservasi dan kawasan lindung, sehingga, kalau dilihat skala pemanfaatan lahan yang ditanami untuk industri kertas, luas TPL ini hanya 2,3 persen dibanding luas lahan konsesi industri sawit.
"Jadi, pemerintah harus jeli melihat akar masalah yang sesungguhnya," katanya pula.
Dia menegaskan, pemahaman terhadap skala relatif luas konsesi lahan yang digunakan klaster industri sawit, tambang, dan kertas ini penting untuk menggali akar permasalahan.
"Ibarat penyakit, pemerintah harus bisa melakukan diagnosis tepat, agar obat kebijakan yang diambil untuk mencegah bencana terulang bisa efektif," katanya.
Yang terpenting, menurut Uchok, pemerintah harus benar-benar tegas dalam menindak aktivitas ilegal seperti pembabatan hutan untuk industri. Sebab, aktivitas ilegal semacam ini biasanya memiliki daya rusak yang jauh lebih besar karena dijalankan tanpa mengindahkan aturan.
"Jangan sampai gara-gara ada pengusaha mengejar uang melimpah, masyarakat menjadi korban tertimpa musibah," pungkasnya.
Editor:
BETHRIQ KINDY ARRAZY
BETHRIQ KINDY ARRAZY