Puja Mandala Jadi Pusat Seruan Global Melawan Krisis Iklim - apakabar.co.id

Puja Mandala Jadi Pusat Seruan Global Melawan Krisis Iklim

Sebagai respon atas krisis iklim dan bencana yang melanda Bali, lima pemimpin agama dari Masjid Agung Ibnu Batutah, Gereja Katolik Maria Bunda Segala Bangsa, Vihara Buddha Guna, GKPB Bukit Doa, dan Pura Jagatnatha bersatu menyuarakan kepedulian dan komitmen perlindungan bumi dalam acara Dialog Lintas Iman "Draw The Line Bali" Foto: Istimewa untuk apakabar.co.id

apakabar.co.id, JAKARTA – Sebagai respons atas krisis iklim dan bencana yang melanda Bali, lima pemimpin agama bersatu menyuarakan kepedulian terhadap bumi. Mereka berasal dari Masjid Agung Ibnu Batutah, Gereja Katolik Maria Bunda Segala Bangsa, Vihara Buddha Guna, GKPB Bukit Doa, dan Pura Jagatnatha.

Dalam acara Dialog Lintas Iman ‘Draw The Line Bali’ yang digelar di Puja Mandala – simbol keberagaman dan persatuan – para pemuka agama mengajak semua pihak untuk menjadikan perlindungan Bumi sebagai bagian dari ibadah.

Kegiatan ini merupakan bagian dari aksi global menghadapi Minggu Iklim dan Sidang Umum PBB yang berlangsung pada 15-21 September di New York. Pesannya jelas: dunia harus bersama-sama menahan laju kenaikan suhu bumi dan mencegah krisis iklim semakin parah.

KH. Ibnu Subhan dari Masjid Agung Ibnu Batutah mengingatkan pentingnya mencari solusi untuk generasi mendatang. Ia mengutip ajaran Nabi Muhammad: “Jika terjadi hari kiamat sementara di tangan salah seorang dari kalian ada sebuah tunas, maka tanamlah.”

Menurutnya, Puja Mandala bukan hanya simbol kerukunan antaragama, tetapi juga kemanusiaan yang menuntut kepedulian terhadap alam.

Dari Gereja Katolik, Alexander Sani Kelen menegaskan bahwa kuasa manusia atas alam tidak mutlak. Gereja mendorong ‘pertobatan ekologis’ dan mengingatkan bahwa krisis lingkungan juga krisis sosial. Ia mengkritisi budaya konsumtif yang boros serta keyakinan berlebihan pada teknologi sebagai solusi tunggal.

Sementara itu, Pandita Nyoman Setiabudi dari Vihara Buddha Guna mengajak umat untuk menolak keserakahan yang merusak keseimbangan alam. Menurutnya, Bali kini menunjukkan tanda karma kolektif akibat pengelolaan lingkungan yang buruk. Solusinya adalah hidup sederhana, penuh cinta kasih, dan menanam karma baik bagi generasi mendatang.

Pendeta Wisesa dari GKPB Bukit Doa juga mengajak jemaat mendukung kebijakan ramah lingkungan, mendorong gerakan zero waste, dan meninggalkan gaya hidup konsumtif. Dalam iman Kristen, semua orang adalah bagian dari ‘satu tubuh Kristus’ yang saling membutuhkan, sehingga visi merawat bumi harus dijalankan bersama.

Adapun Jero Ketut Subianta dari Pura Jagatnatha menyoroti makna ritual melasti dalam Hindu, yaitu menjaga kesucian laut. Menurutnya, nilai spiritual ini mengajarkan bahwa laut harus dilestarikan karena menjadi sumber kehidupan dan penyucian bagi umat.

Acara ini semakin lengkap dengan kehadiran Ida Bagus K. Susena dari Puskor Hindunesia. Ia mengingatkan bahwa Bali mulai kehilangan konsep keseimbangannya ketika hutan dibabat, sawah dikonversi, dan villa dibangun sembarangan. Padahal, Bali seharusnya menjadi barometer penyelamatan lingkungan dunia. Ia menyerukan kembali pada prinsip Catur Hita Karana – harmoni antara manusia, Tuhan, dan alam.

Dialog ditutup dengan doa bersama lintas iman dan deklarasi komitmen menjaga bumi sebagai amanah Tuhan dan warisan anak-cucu.

Gerakan kolektif

Sisilia Nurmala Dewi, Indonesia Team Leader 350.org Indonesia, menegaskan bahwa dari Bali harus lahir pesan damai untuk dunia. “Di Puja Mandala, perbedaan dipandang sebagai rahmat dan keberagaman sebagai kekuatan. Kita harus berdiri di garis yang benar, bersama menjaga bumi dan menolak kehancuran,” ujarnya.

Hening Parlan, Direktur GreenFaith Indonesia, menambahkan bahwa Deklarasi Puja Mandala adalah suara iman yang mewakili suara alam. “Iman harus berbuat baik dan mencegah kerusakan,” tegasnya.

Paskah Toga, Ketua Climate Rangers Bali, mewakili generasi muda, menegaskan bahwa mereka tidak akan berhenti menyuarakan aksi iklim. “Kami tidak bisa menunggu. Pemerintah harus mengambil langkah ambisius sekarang, sebelum terlambat,” ujarnya.

Acara ini digelar oleh Climate Rangers Bali, Greenfaith Indonesia, dan 350.org. Diharapkan, inisiatif ini menjadi pijakan bagi masyarakat Bali dan dunia untuk menjadikan perlindungan alam sebagai agenda utama pembangunan yang berkeadilan dan berkelanjutan. Semua pihak—pemerintah, media, dan masyarakat—diajak memperkuat gerakan ini demi masa depan yang lebih baik.

422 kali dilihat, 434 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *