Surpres RUU Polri, Koalisi Masyarakat Sipil: Bentuk Arogansi Presiden dan Praktik Legislasi Otoriter

Aliansi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian menggelar aksi menolak RUU Polri di CFD Jendral Sudirman, Jakarta Pusat, Minggu (30/6/2024). Foto: AJI Jakarta

apakabar.co.id, JAKARTA – Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad pada Selasa (8/7) mengungkapkan pihaknya telah menerima Surat Presiden (Surpres) terkait beberapa Rancangan Undang-Undang (RUU). Salah satu di antaranya adalah RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri).

Meski belum menerima Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) beleid, Dasco menyampaikan bahwa proses pembahasan akan segera dilanjutkan.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian menilai penerbitan Surpres RUU Polri merupakan wujud penelantaran terhadap berbagai kritik publik yang gencar menyorot proses legislasi yang sembunyi-sembunyi dan bermasalah. Terlebih substansi RUU Polri ini sarat kepentingan elit.

Langkah Presiden Joko Widodo yang mengirimkan surat presiden ke DPR, menurut koalisi, patut dinilai sebagai tindakan yang mengkhianati demokrasi dan konstitusi.

“Langkah Presiden dan DPR RI selain telah mengerdilkan cara-cara demokratis dengan memaksakan terbitnya Surpres dan bersikeras untuk melanjutkan pembahasan RUU Polri ini, juga dipastikan sama sekali tidak berorientasi pada kepentingan publik dan tidak memiliki intensi untuk melakukan perbaikan fundamental bagi polri,” ungkap koalisi dalam keterangannya, Rabu (10/7).

Hal tersebut ditandai dengan proses yang terburu-buru, di masa lame duck (politikus yang segera berakhir masa jabatan), RUU yang tidak termasuk di dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas, tidak melalui perencanaan dan penyusunan yang transparan, partisipatif dan akuntabel sehingga pada gilirannya mengabaikan prinsip partisipasi bermakna (meaningful participation).

Sebelum mengirimkan Surpres ke DPR RI, seharusnya Presiden Joko Widodo, menurut koalisi, membuka mata dan telinga terhadap kritik dan penolakan terhadap RUU Polri yang disuarakan berbagai elemen masyarakat sipil. Semestinya, presiden meninjau kembali rancangan undang-undang usulan DPR yang sarat masalah, baik formil maupun substansi dengan mengakomodasi tuntutan publik, bukan justru bersikeras menerbitkan Surpres.

“Terlebih RUU Polri ini akan memberi kewenangan yang demikian besar dan luas kepada institusi yang dalam beberapa tahun terakhir justru ramai disorot publik dan sarat masalah pelanggaran hukum dan hak asasi manusia. Sehingga langkah presiden ini justru menunjukan praktik-praktik legislasi otoriter dengan mengabaikan kritik publik,” tulis koalisi.

Merujuk pada pertimbangan diatas, Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Kepolisian menyesalkan RUU Polri digarap secara senyap, tidak transparan, terburu-buru, nir-urgensi, tanpa memberi ruang partisipasi yang bermakna bagi publik. Dalam konteks ini, jelas proses pembentukannya telah mengabaikan kaidah konstitusional yang telah digariskan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 91/PUU-XVIII/2020.

“Yang menjamin hak warga untuk berpartisipasi secara bermakna dalam tiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan. Bahkan RUU Polri sebelumnya tidak termasuk dalam Prolegnas DPR RI 2020-2024. Ini menunjukkan, RUU Polri merupakan bentuk penyelundupan legislasi,” tulis mereka.

Substansi RUU Polri yang saat ini beredar, sama sekali tidak menyentuh persoalan fundamental di tubuh polri. Beleid tersebut hanya fokus pada pasal-pasal baru yang justru memperbesar dan memperluas kewenangan polri dengan mengabaikan perbaikan mekanisme pengawasan dan kontrol terhadap kepolisian (oversight mechanism) yang efektif, serta menegasikan pengarusutamaan penghormatan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam pemolisian.

“Apabila nantinya disahkan, substansi yang ada di dalam rancangan tersebut dikhawatirkan akan memperburuk atau kian memperparah kondisi yang telah ada sebelumnya, yakni institusi polri yang menurut kajian dan catatan berbagai elemen masyarakat sipil dan sejumlah lembaga negara independen (state auxiliary bodies) menempatkannya sebagai aktor dominan pelanggaran HAM, maladministrasi, penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), hingga praktik-praktik korupsi,” tulis koalisi.

Dikeluarkannya Surpres tentang RUU Polri juga menunjukkan tidak adanya sensitivitas (insensitivitas) presiden atas permasalahan kewenangan dan kultur polri yang mengemuka, terutama yang berlangsung belakangan ini. Sejak RUU Polri ini dibahas pada Mei 2024, sejumlah tindakan kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan polri masih kerap terjadi di masyarakat.

“Sedikitnya misal, di Padang, polisi bertanggung jawab atas kematian seorang anak berusia 13 tahun bernama Afif Maulana, ditengarai menjadi korban penyiksaan termasuk belasan anak-anak lainnya yang telah dipastikan mengalami penyiksaan oleh anggota kepolisian. Dalam prosesnya, polisi cenderung menutup-nutupi kasus tersebut dengan mengaburkan fakta, menyembunyikan rekaman CCTV, dan bahkan memburu orang yang membuat viral kasus ini, alih-alih memproses serius kasus penyiksaan tersebut,” ungkap koalisi.

Atas dasar itu, koalisi mendesak presiden dan DPR RI segera menghentikan proses pembentukan RUU Polri dengan melakukan sejumlah berikut, di antaranya, menarik Surpres terkait dengan RUU Polri, menghentikan pembahasan tentang RUU Polri, khusus rancangan usul inisiatif Badan Legislasi DPR saat ini.

Koalisi juga meminta presiden dan DPR RI memprioritaskan perbaikan-perbaikan krusial dan fundamental yang selama ini menjadi permasalahan polri sebagai bagian dari ikhtiar reformasi kepolisian yakni persoalan luasnya kewenangan serta transparansi dan akuntabilitas pengawasan terhadap kewenangan kepolisian;

Selanjutnya, presiden dan DPR RI diminta memprioritaskan pembahasan rancangan KUHAP untuk memperbaiki kualitas hukum acara dan/atau ketentuan penegakan hukum, dengan tetap memastikan adanya proses legislasi yang demokratis, transparan dan membuka lebar ruang partisipasi publik yang bermakna.

“Presiden dan DPR berhenti untuk mempertontonkan praktik otoritarianisme dalam penyusunan legislasi,” tutup koalisi.

553 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *