OPINI

Budaya Lokal Indonesia: Dari Tradisi ke Ekonomi Digital

Pelaku usaha tenun ulos menyemarakkan Festival Kemudahan dan Pelindungan Usaha Mikro di Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara, Jumat (25/7/2025). Foto: Antara
Pelaku usaha tenun ulos menyemarakkan Festival Kemudahan dan Pelindungan Usaha Mikro di Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara, Jumat (25/7/2025). Foto: Antara
Oleh: Rioberto Sidauruk*

Indonesia adalah permadani indah yang ditenun oleh jutaan warisan budaya. Dari tenun ulos di Sumatera Utara, songket di Palembang, hingga kekayaan seni pertunjukan di Papua. Setiap daerah menyimpan potensi ekonomi raksasa yang seringkali terperangkap dalam bingkai tradisi.

Problem utama yang dihadapi adalah keterbatasan akses, minimnya inovasi, dan kerentanan legalitas yang membuat nilai ekonomi aset budaya lokal terdistorsi. Warisan budaya kita yang seharusnya menjadi sumber kesejahteraan, kini justru bergumul dengan biaya produksi tinggi, kesulitan mendapatkan modal, dan ancaman penjiplakan motif.

Kondisi ini menuntut perubahan narasi yang mendasar. Kita perlu mengubah pandangan dari "warisan yang harus dilestarikan" menjadi "kekuatan ekonomi yang harus didukung penuh". Perubahan itu harus diinisiasi oleh intervensi pemerintah yang radikal dan konstruktif, melampaui sekadar retorika apresiasi.

Anggota parlemen kini kencang menyuarakan satu pesan kunci: Saatnya membebaskan aset-aset budaya dari keterbatasan seremonial dan menjadikannya lokomotif ekonomi yang berdaya saing global.
Transformasi harus dimulai dari akar, yaitu penguatan ekosistem UMKM dan seniman, menghubungkan modal, teknologi, hukum, dan pasar. Hanya dengan pendekatan holistik inilah budaya lokal dapat menjadi tulang punggung perekonomian yang kuat dan berkelanjutan.

Pemerintah harus memastikan bahwa penjaga tradisi—para perajin dan seniman lokal—bisa hidup mandiri dan sejahtera melalui karyanya. Bukti nyata potensi ekonomi ini sudah terlihat di lapangan. Songket, misalnya, sebagai identitas Palembang, harus menghadapi biaya produksi tinggi dan ancaman penjiplakan yang melemahkan martabat perajin.

Sementara itu, seni pertunjukan di Papua, sebagaimana disaksikan di Sanggar Seni Nani Bili, terbukti mampu menghasilkan pendapatan harian signifikan, sebuah indikasi bahwa kreativitas lokal mampu menciptakan kemandirian ekonomi. Oleh karena itu, intervensi yang paling mendesak adalah memberikan alat yang tepat agar para pelaku budaya setempat dapat bersaing.

Modal Digital Sinergi

Langkah awal yang paling fundamental adalah menyelesaikan isu klasik akses pembiayaan. Songket yang merupakan komoditas mahal memerlukan modal besar untuk membiayai produksi dan membeli bahan baku berkualitas.

Dorongan untuk menyederhanakan akses Kredit Usaha Rakyat (KUR) berbunga rendah bagi perajin adalah oksigen yang dibutuhkan UMKM.

Penyederhanaan KUR tidak hanya berarti menurunkan suku bunga, tetapi juga memangkas birokrasi yang kerap mencekik pelaku usaha mikro yang umumnya memiliki keterbatasan literasi administrasi perbankan.

Namun, modal finansial saja tidak cukup. Dibutuhkan modal kemampuan, khususnya di era 4.0. Pengalaman menunjukkan bahwa angka pendapatan signifikan dari seni pertunjukan bisa dilipatgandakan jika para seniman tidak hanya mengandalkan pendapatan dari penonton langsung atau wisatawan.
Di sinilah digitalisasi memainkan peran vital, sebuah solusi konstruktif untuk memecah batasan geografis. Pemerintah didorong untuk menyuntikkan program literasi digital secara masif. Perajin ulos dan seniman Papua harus dilatih untuk menjadi konten kreator yang cakap.

Mereka harus mampu memasarkan produk ulos fesyennya, atau menyajikan pertunjukan seninya, ke platform global seperti TikTok dan Instagram.

Digitalisasi bukan sekadar kanal pemasaran tambahan. Ia adalah sarana untuk memperluas pasar secara eksponensial dan melestarikan budaya di mata generasi muda.

Dinukil dari survei tren konsumen global, pasar e-commerce untuk produk etnik tumbuh secara signifikan, menunjukkan bahwa kesiapan digital adalah kunci untuk menangkap peluang pasar ini.

Selain itu, sinergi dengan sektor pariwisata adalah keharusan. Seluruh upaya pengembangan budaya lokal, baik songket, ulos, maupun seni Papua, harus memiliki irisan kuat dengan sektor pariwisata.
Anggota parlemen secara konsisten menekankan bahwa anggaran dan program kedua sektor itu harus disatukan. Wisatawan yang datang ke Danau Toba tidak hanya menikmati keindahan alam, tetapi juga termotivasi untuk membeli ulos yang trendy dan inovatif.

Sinergi ini menjadikan pariwisata sebagai platform pasar langsung yang memberikan multiplier effect bagi perekonomian daerah.

Di Papua, misalnya, pesona Raja Ampat harus menjadi daya tarik yang mendorong wisatawan untuk berbelanja produk kerajinan dan menonton pertunjukan seni lokal.

Kekuatan Hukum Desain

Transformasi produk budaya lokal seperti ulos menjadi produk fesyen sehari-hari menuntut dukungan kuat pada aspek hukum dan desain.

Ulos dan songket harus memiliki jalur yang jelas dari bengkel perajin ke panggung fashion internasional. Untuk mewujudkan tujuan ini, diperlukan dua langkah strategis yang saling menguatkan.

Pertama, perlindungan hukum adalah garda terdepan untuk menjaga martabat perajin. Ketika motif songket rentan dijiplak, nilai ekonomi dan martabat perajin lokal terancam.

Pemerintah harus memprioritaskan hak cipta motif sebagai aset budaya dan ekonomi nasional. Perlindungan hukum ini penting untuk memberikan kepastian hukum bagi perajin.
Jika perajin merasa aman dari penjiplakan, mereka akan lebih berani berinvestasi waktu dan sumber daya untuk berinovasi.

Kedua, inovasi desain harus menjadi fokus pendampingan. Ulos, misalnya, harus didorong untuk bertransformasi dari kain ritual yang kaku menjadi produk ready-to-wear yang universal.

Pendampingan ini perlu melibatkan kementerian terkait yang menyediakan akses ke desainer profesional. Para desainer terkemuka harus mampu menjembatani pakem tradisional dengan permintaan pasar modern, memastikan bahwa produk yang dihasilkan memiliki nilai jual tinggi tanpa melunturkan esensi budaya.

Langkah tersebut bukan sekadar komersialisasi, melainkan komodifikasi yang bermartabat—menambah nilai ekonomi tanpa mengurangi nilai budaya.

Pendekatan holistik juga memiliki dimensi lingkungan. Di Papua, dorongan mengembangkan ekonomi kreatif berbasis seni dan pariwisata adalah solusi strategis untuk mengurangi ketergantungan pada sektor ekstraktif seperti pertambangan yang merusak lingkungan.
Pilihan ini adalah solusi etis dan konstruktif yang menempatkan pelestarian alam sejajar dengan peningkatan kesejahteraan. Dengan fokus pada pariwisata dan ekraf, pembangunan ekonomi daerah menjadi lebih adil dan berkelanjutan.

Keseluruhan strategi adalah investasi jangka panjang untuk memposisikan budaya lokal Indonesia sebagai pemain utama, bukan hanya sebagai pelengkap, dalam ekonomi global.

Jika ketiga pilar utama didukung oleh infrastruktur yang memadai—misalnya pemerintah daerah memanfaatkan ruang yang tidak terpakai sebagai fasilitas latihan bagi sanggar seni—maka seluruh ekosistem akan bergerak lebih cepat dan berkeadilan.

Budaya lokal adalah modal ekonomi yang sangat berharga; saatnya pemerintah memastikan para penjaga tradisi mandiri dan sejahtera melalui karya mereka.

*) Pemerhati ekonomi kerakyatan