OPINI
IKK Tinggi, Dompet Menipis: Paradoks di Ruang Ekonomi Kita
Oleh: Achmad Nur Hidayat*
Pertanyaan awal yang banyak orang ajukan hari ini sebenarnya sederhana: jika Indeks Keyakinan Konsumen kita stabil tinggi, apakah berarti rumah tangga Indonesia benar benar sedang baik baik saja, daya beli pulih, dan target pertumbuhan 5,3 persen bisa dikejar tanpa banyak drama?
Sebagai ekonom, saya melihat jawabannya jauh lebih rumit. Kita sedang berhadapan dengan situasi yang di permukaan terlihat tenang, tetapi di bawahnya arus deras sedang mengikis pelan pelan fondasi kesejahteraan banyak keluarga.
IKK Tinggi, Dompet Menipis: Paradoks di Ruang Tamu Kita
Data Bank Indonesia menunjukkan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) sepanjang 2025 konsisten berada di zona optimistis, jauh di atas 100. Pada April, IKK menyentuh 121,7. Mei sempat turun ke 117,5, lalu kembali menguat di Juni dan Juli ke sekitar 118. Bahkan pada November 2025, sejumlah laporan mencatat IKK sekitar 124, naik dari sekitar 121 pada Oktober.
Di atas kertas, ini gambaran konsumen yang percaya diri. Namun pada saat yang sama, data BPS menunjukkan pertumbuhan ekonomi triwulan II 2025 sekitar 5,12 persen, dengan pertumbuhan semester pertama hanya 4,99 persen.
Angka itu tidak buruk, tetapi juga tidak menunjukkan lonjakan konsumsi rumah tangga yang spektakuler. Beberapa analisis bahkan menyebut konsumsi rumah tangga di awal 2025 sebagai yang terlemah dalam beberapa kuartal terakhir.
Analogi sederhananya begini. IKK itu seperti ekspresi wajah seseorang di foto keluarga. Di foto, semua tersenyum. Tapi dari foto saja kita tidak tahu apakah sebelum foto diambil mereka baru saja menjual motor untuk bayar cicilan, atau sedang memikirkan uang sekolah anak. Senyum bisa tulus, bisa juga sekadar sopan demi foto yang rapi.
IKK merekam persepsi dan harapan, bukan arus kas harian rumah tangga. Pertanyaannya lalu bergeser: optimisme ini tulus dan berkelanjutan, atau sebagian adalah hasil bias sampel dan narasi kebijakan yang sangat pandai mengemas rasa aman?
Ketika Termometer Tidak Sepenuhnya Mencerminkan Panas Ruangan
Survei konsumen BI utamanya mengambil responden di kota dan kelompok menengah yang punya akses perbankan. Kelompok ini memang banyak menyumbang PDB, tetapi bukan mereka yang paling rentan terhadap kenaikan harga beras, telur, minyak goreng, atau biaya transport.
Mereka punya bantalan tabungan, punya aset, dan dalam banyak kasus masih bisa mengurangi makan di luar atau menunda beli gawai tanpa langsung mengorbankan kebutuhan dasar.
Karena itu, IKK cenderung lebih sensitif terhadap persepsi kelas menengah kota dibanding jeritan sunyi rumah tangga yang pendapatannya hanya cukup untuk makan tiga kali sehari.
Ketika rata rata inflasi nasional sekitar 2 sampai 3 persen, kita mudah menyimpulkan harga terkendali. Padahal di beberapa provinsi, inflasi jauh di atas angka nasional, terutama pada komoditas pangan pokok. Untuk rumah tangga miskin, lebarnya selisih harga beras beberapa ratus rupiah per kilogram jauh lebih terasa daripada perdebatan teknis soal inflasi inti.
Di titik ini, IKK menjadi seperti termometer yang kita letakkan di ruang tamu rumah, lalu kita simpulkan seluruh rumah sejuk. Padahal dapur bisa saja panas karena kompor menyala terus, dan kamar belakang pengap karena ventilasi buruk. Termometer tidak berbohong, tetapi ia hanya bercerita tentang satu ruangan.
Kebijakan Moneter dan Fiskal: Penjaga Mood, Bukan Obat Segala Penyakit
Ada alasan kuat kenapa, meski daya beli terasa menurun di banyak segmen, keyakinan konsumen masih bertahan di zona optimistis. Salah satunya adalah kombinasi kebijakan moneter dan fiskal yang relatif terkoordinasi.
Bank Indonesia menahan inflasi di kisaran target 2 sampai 3 persen dan mulai memangkas suku bunga setelah periode pengetatan sebelumnya. Dari perspektif rumah tangga pemilik KPR dan kredit konsumsi, ini kabar baik. Cicilan terasa sedikit lebih ringan, prospek inflasi tidak mengancam, dan sinyal ke pasar jelas: otoritas moneter siap menjaga stabilitas.
Di sisi lain, pemerintah memanfaatkan APBN untuk menahan guncangan. Target pertumbuhan resmi sekitar 5,2 persen, disertai belanja sosial dan infrastruktur yang berfungsi sebagai bantalan. Program makan bergizi gratis dan berbagai bentuk bantuan sosial menambah kesan bahwa negara hadir di tengah tekanan biaya hidup, walau efektivitas dan ketepat sasaran program ini masih perlu diteliti secara serius.
Dari kacamata komunikasi kebijakan, keduanya cukup berhasil: pesan yang sampai ke publik adalah bahwa inflasi terkendali, pertumbuhan masih di atas 5 persen, suku bunga turun, dan program bantuan berjalan. Ini seperti dokter yang berbicara tenang kepada pasien, menjelaskan bahwa kondisi stabil, obat tersedia, dan rumah sakit siap. Nada suara dokter saja sudah meredakan kecemasan, meski penyakit aslinya mungkin belum benar benar sembuh.
Masalahnya, menenangkan pasien tidak sama dengan menyembuhkan. Pendapatan riil banyak pekerja tidak naik setara dengan kenaikan biaya hidup, pasar kerja informal tetap luas, dan produktivitas tidak melompat. Ketika ini dibiarkan, kita berisiko melahirkan generasi keluarga yang tampak stabil di permukaan, tetapi sesungguhnya “selalu di ambang”.
Banjir Sumatera: Peringatan Keras Tentang Rapuhnya Fondasi
Bencana banjir bandang dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November 2025 adalah ujian paling keras bagi rasa aman yang dibangun sepanjang tahun. Data BNPB dan berbagai laporan menyebut korban meninggal sudah ratusan hingga mendekati seribu jiwa, dengan ratusan orang masih hilang, jutaan terdampak, dan kebutuhan dana pemulihan mencapai puluhan triliun rupiah.
Dalam perspektif makro, sebagian analis mungkin melihat ini sebagai “shock regional”. PDB nasional tahun 2025 mungkin hanya terkoreksi tipis. Tapi bagi rumah tangga di daerah terdampak, bencana ini adalah pemutusan mendadak seluruh jaring pengaman mereka. Lahan rusak, rumah hilang, hutang tetap harus dibayar, dan harga pangan melonjak karena distribusi terputus.
Analogi bangunan kembali relevan di sini. Ekonomi Indonesia sering digambarkan seperti rumah besar yang kuat, tahan badai. Banjir Sumatra menunjukkan bahwa sebagian tembok rumah mulai lapuk karena deforestasi, tata ruang yang buruk, dan pemotongan anggaran mitigasi bencana.
IKK yang tetap tinggi dalam situasi seperti ini mengandung paradoks: optimisme nasional bisa saja menutupi krisis lokal yang sangat dalam.
Jika kita tidak berhati hati, bencana akan dipandang sekadar urusan BNPB dan kementerian teknis. Padahal, dari sudut pandang kebijakan publik, ini adalah peringatan keras bahwa agenda iklim, tata ruang, dan manajemen risiko bencana harus menjadi bagian inti strategi ekonomi, bukan catatan kaki.
Kepercayaan konsumen tidak akan bertahan lama bila setiap beberapa tahun sekali jutaan orang harus memulai dari nol akibat bencana.
Mengejar 5,3 Persen: Optimisme Cukup, atau Butuh Keberanian Mengubah Struktur?
Di ujung 2025, perdebatan tentang apakah target pertumbuhan 5,2 sampai 5,3 persen akan tercapai menghangat. Pemerintah optimistis, sebagian ekonom lebih hati hati. Data semester pertama yang berada sekitar 4,99 persen membuat target 5,2 persen pun sudah menuntut lompatan di triwulan IV.
Di tengah perdebatan angka, saya kira pertanyaan yang lebih penting adalah: apakah kita puas dengan ekonomi yang berjalan di “jalur aman” 5 persen tetapi strukturalnya nyaris tidak berubah?
IKK yang tinggi membantu menjaga konsumsi tetap mengalir, ini benar. Namun untuk melompat lebih tinggi, kita butuh lebih dari sekadar konsumen yang percaya diri. Kita butuh pekerja yang produktivitasnya meningkat, usaha kecil yang naik kelas karena mendapatkan akses pembiayaan dan pasar, investasi yang bukan hanya membangun gedung tetapi juga kapasitas teknologi dan keterampilan.
Dengan kata lain, IKK adalah indikator yang memberi tahu bahwa mesin mobil sedang menyala dan pengemudi merasa cukup percaya diri. Tapi kalau jalan di depan berlubang, rem kurang terawat, dan kita tidak punya peta yang jelas, rasa percaya diri itu tidak cukup untuk menjamin kita tiba di tujuan.
Dari Keyakinan ke Ketahanan: Apa yang Harus Dibenahi?
Lalu apa yang seharusnya kita lakukan agar IKK yang tinggi benar benar mencerminkan kesejahteraan yang kokoh, bukan sekadar suasana hati yang mudah berubah?
Pertama, pemerintah dan otoritas moneter perlu jujur dalam berkomunikasi. Optimisme penting, tetapi mengakui rapuhnya kelompok rentan jauh lebih penting. Program perlindungan sosial harus bergeser dari pola reaktif menuju sistematis, berbasis data, dan antisipatif, terutama di wilayah yang berulang kali terkena bencana.
Kedua, pengukuran kesejahteraan masyarakat perlu melampaui indeks yang berbasis persepsi. IKK tetap berguna, tetapi harus disandingkan dengan indikator granular: perkembangan upah riil per sektor, biaya hidup per kota dan kabupaten, beban hutang rumah tangga, serta kualitas konsumsi (bukan sekadar volumenya). Pendekatan ini akan membuat kebijakan lebih tajam menyasar masalah nyata, bukan bayangan yang muncul dari angka rata rata nasional.
Ketiga, agenda iklim dan tata ruang harus diterjemahkan secara serius dalam APBN dan RPJMN, bukan hanya jargon. Banjir Sumatra 2025 harus dibaca sebagai “biaya dari penundaan kebijakan”, bukan sekadar musibah alam. Jika setiap beberapa tahun kita harus mengeluarkan puluhan triliun untuk rekonstruksi, sulit membayangkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan tanpa mengorbankan defisit atau program lain.
Pada akhirnya, tugas kita bukan menurunkan IKK, tetapi memastikan optimisme yang tercermin di sana berdiri di atas fondasi yang kuat. Sebagai ekonom dan pengajar kebijakan publik, saya lebih khawatir pada situasi ketika indeks tampak baik tetapi suara dari bawah tidak terdengar.
Karena dalam sejarah kebijakan, yang paling sering mengguncang stabilitas bukan saat angka angka jelek, melainkan ketika angka kelihatan bagus, namun kenyataan sehari hari warga bercerita sebaliknya.
*) Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta
Editor:
BETHRIQ KINDY ARRAZY
BETHRIQ KINDY ARRAZY



