OPINI
Setahun Prabowo–Gibran: Antara Janji Besar dan Ruang Partisipasi yang Mengecil
Oleh: Achmad Nur Hidayat*
Setahun sudah pemerintahan Prabowo–Gibran berjalan.
Janji kampanye besar seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), tiga juta rumah rakyat, dan penciptaan sembilan belas juta lapangan kerja mulai diuji di hadapan realitas.
Pertanyaannya kini bukan lagi “apa yang dijanjikan?”, melainkan “apa yang benar-benar berubah?”.
Indonesia di bawah kepemimpinan baru ini menghadapi transisi politik dan ekonomi yang unik: stabilitas makro tetap terjaga, tetapi denyut mikro—lapangan kerja, partisipasi publik, hingga rasa keadilan sosial—masih terasa pincang.
Seperti kapal besar yang baru berlayar di samudra tenang, pemerintah Prabowo tampak percaya diri dengan arah tujuannya.
Namun, di bawah permukaan, arus yang berputar—dari eksodus investor asing, stagnasi upah riil, hingga pengetatan ruang kebebasan sipil—menunjukkan bahwa stabilitas makro belum menjamin kesejahteraan mikro.
Ekonomi yang Tumbuh, Tapi Tidak Merata
Secara statistik, ekonomi Indonesia tumbuh 5,12% pada triwulan II–2025 menurut BPS, dengan inflasi terkendali di 2,37%.
Angka ini menunjukkan kemampuan pemerintah menjaga kesinambungan pertumbuhan di tengah ketidakpastian global. Namun, pertumbuhan ini lebih bersifat inertia ketimbang hasil transformasi struktural baru.
PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) memang meningkat tajam, tetapi bukan karena euforia investasi, melainkan karena “wait and see” dari investor asing.
Bloomberg dan Antara mencatat modal asing keluar bersih Rp16,61 triliun hanya dalam satu pekan Oktober 2025.
Kepemilikan asing atas SBN turun menjadi sekitar Rp919 triliun—terendah dalam 10 tahun terakhir—menunjukkan meningkatnya dominasi investor domestik yang justru cerminan dari risk aversion global dan kekhawatiran internal terhadap kepastian hukum.
Analogi sederhananya seperti rumah tangga yang hidup dari tabungan sendiri karena tidak ada lagi kiriman uang dari kerabat luar negeri. Ia tampak tenang, tapi sesungguhnya kehilangan sumber diversifikasi.
Ketika PMDN tumbuh karena pengusaha lokal memilih bertahan di sektor aman—properti, infrastruktur, proyek pemerintah—kita patut khawatir.
Dominasi PMDN tanpa masuknya modal asing menciptakan ekonomi yang “menutup diri secara elegan”: tumbuh, tapi rapuh.
Apalagi, di tengah meningkatnya persepsi kriminalisasi investasi, banyak pelaku usaha memilih bersikap diam daripada berinovasi.
Lapangan Kerja: Antara Narasi dan Realita
Prabowo Gibran menjanjikan penciptaan 19 juta lapangan kerja selama masa pemerintahannya. Namun hingga akhir 2025, data yang tersedia menunjukkan baru sekitar 2,9 juta lapangan kerja yang benar-benar tercipta melalui program prioritas nasional—seperti Koperasi Desa Merah Putih, Kampung Nelayan Merah Putih, hingga proyek hilirisasi.
Artinya, jika laju ini konstan, butuh tiga periode untuk memenuhi janji sembilan juta pekerjaan baru.
Masalah utama bukan sekadar angka, melainkan kualitas pekerjaan itu sendiri. Banyak pekerjaan yang tercipta bersifat informal atau padat karya rendah nilai tambah.
Ketika sektor hilirisasi nikel dan pangan menjadi andalan, lapangan kerja yang muncul sering kali berorientasi jangka pendek.
Indonesia membutuhkan pekerjaan yang “bermakna”, bukan sekadar “berjumlah”. Seperti petani yang butuh benih unggul, bukan sekadar pupuk bersubsidi—karena tanpa nilai tambah, kesejahteraan hanya menunggu habisnya subsidi.
Program Makan Bergizi Gratis: Gagasan Besar, Eksekusi Rawan
Program Makan Bergizi Gratis adalah ikon populis Prabowo. Hingga September 2025, Setneg mencatat program ini telah menjangkau 20 juta penerima dan menciptakan 290 ribu lapangan kerja baru di sektor logistik dan pangan.
Namun di balik keberhasilan itu, Detik melaporkan lebih dari 7.000 kasus keracunan akibat pengawasan sanitasi yang lemah—hanya 34 dari 8.500 penyedia makanan yang memiliki sertifikat higienitas.
Gagasan ini baik, bahkan visioner. Tapi seperti nasi yang belum matang sempurna, program ini butuh penyempurnaan sistemik: standardisasi gizi, transparansi vendor, serta integrasi dengan sistem pangan nasional.
Tanpa itu, MBG hanya akan menjadi “proyek besar yang kehilangan ruh kemanusiaan”—memberi makan, tapi lupa menyehatkan.
Tiga Juta Rumah: Ambisi yang Menabrak Realita
Sektor perumahan rakyat juga menjadi simbol janji politik.
Pemerintah menargetkan pembangunan tiga juta rumah selama lima tahun. Hingga akhir 2025, realisasinya baru sekitar 183 ribu unit berdasarkan data FLPP Kementerian Perumahan dan PKP.go id
Kritik muncul dari berbagai kalangan, termasuk DPR dan asosiasi properti, yang menilai target ini “tidak realistis” mengingat kemampuan APBN hanya menopang sekitar 250 ribu rumah per tahun.
Program ini seperti ingin membangun kota baru tanpa memastikan ada jalan menuju ke sana.
Infrastruktur pembiayaan belum kuat, koordinasi lintas kementerian lemah, dan kebijakan lahan masih tersandera tumpang tindih.
Akibatnya, masyarakat berpenghasilan rendah tetap menjadi “penonton di rumah sendiri.”
Kebijakan Publik: Ketika Partisipasi Diredam
Salah satu paradoks besar pemerintahan Prabowo–Gibran adalah percepatan regulasi yang justru menipiskan partisipasi publik.
Dalam satu tahun, pemerintah mendorong revisi cepat terhadap tiga undang-undang strategis: UUP2SK, UU BUMN, dan pembentukan UU Danantara.
Revisi UU BUMN melahirkan Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara, lembaga setara sovereign wealth fund baru yang diberi kewenangan besar mengelola aset negara di luar mekanisme pengawasan publik.
Transparency International menilai pembentukan ini “rawan konflik kepentingan dan korupsi” karena minim mekanisme partisipasi dan akuntabilitas publik.
Mahasiswa UI bahkan menggugat revisi UU BUMN ke Mahkamah Konstitusi karena prosesnya dianggap tidak memenuhi prinsip meaningful participation.
UU P2SK juga diperluas untuk memperkuat peran Bank Indonesia dan memperketat regulasi aset digital.
Namun, seperti pisau bermata dua, kekuatan ini bisa menjadi “otoritarianisme teknokratik” jika tidak disertai pengawasan publik yang memadai.
Dalam analogi sederhana: partisipasi publik adalah oksigen demokrasi. Tanpanya, kebijakan bisa terlihat hidup, tapi sebenarnya sekarat dari dalam.
Antara Kedaulatan Ekonomi dan Ketakutan Pengusaha
Salah satu fenomena menarik adalah meningkatnya dominasi pengusaha domestik dalam investasi nasional.
Di satu sisi, hal ini menandakan tumbuhnya kepercayaan diri nasional.
Namun di sisi lain, muncul kekhawatiran akan “ketakutan pengusaha”—baik karena represi hukum maupun ketidakpastian regulasi.
Kasus kriminalisasi investasi yang diungkap banyak analis, menimbulkan efek chilling effect: banyak pelaku usaha lebih memilih “bermain aman” di proyek-proyek pemerintah ketimbang berinovasi.
Ketika ekonomi hanya bergerak karena state-driven projects, maka pasar kehilangan dinamika dan kreativitas.
Sebuah ekonomi yang terlalu dikendalikan negara, tanpa keseimbangan pasar dan kebebasan, ibarat kebun yang subur tapi selalu diatur tangan birokrasi. Ia tumbuh rapi, namun tak pernah liar, dan karena itu—tak pernah benar-benar hidup.
Refleksi: Kepemimpinan Besar, Tapi Ruang Publik Mengecil
Prabowo jelas ingin meninggalkan warisan besar: kemandirian pangan, kedaulatan energi, dan ekonomi kuat berbasis desa.
Visi ini luhur dan patut diapresiasi. Namun dalam eksekusinya, pemerintahan ini cenderung menempuh jalan “sentralisasi baru”—di mana keputusan strategis diambil cepat, tapi tak banyak ruang untuk perdebatan publik.
Kekuatan tanpa partisipasi hanya akan melahirkan efisiensi semu. Demokrasi tanpa deliberasi hanyalah managerial state, bukan participatory republic.
Pemerintah boleh berbangga dengan pertumbuhan 5%, inflasi 2,3%, dan kemiskinan yang turun ke 8,47%.
Namun angka-angka itu tidak menjawab pertanyaan moral yang lebih dalam: apakah pembangunan ini menumbuhkan rasa keadilan, keterlibatan, dan kepercayaan publik?
Kesimpulan: Saatnya Berbenah Sebelum Terlambat
Satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran memperlihatkan potret ganda Indonesia: stabil di luar, rapuh di dalam.
Seperti rumah megah di pondasi yang mulai retak, ekonomi Indonesia butuh bukan hanya semen fiskal, tetapi juga tiang partisipasi publik dan dinding transparansi.
Prabowo dikenal sebagai pemimpin yang tegas dan berorientasi hasil. Namun di era modern, hasil tidak bisa dilepaskan dari proses. Partisipasi rakyat bukan penghambat pembangunan, melainkan jaminan keberlanjutan.
Jika pemerintah mampu memperbaiki tata kelola, memperluas ruang publik, dan memastikan janji-janji besar seperti MBG, perumahan rakyat, serta penciptaan lapangan kerja berjalan berbasis bukti, maka sejarah akan mencatat Prabowo bukan hanya sebagai pemimpin kuat, tetapi juga sebagai arsitek demokrasi ekonomi Indonesia.
Namun bila tidak, maka kekuatan tanpa partisipasi akan menjadi paradoks terbesar negeri ini: cepat bergerak, tapi kehilangan arah.
*) Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta
Editor:
BETHRIQ KINDY ARRAZY
BETHRIQ KINDY ARRAZY





