OPINI
Menggeser Pusat Gravitasi Ekonomi Indonesia
Oleh: Andi Taufan Garuda Putra*
Dari desa Bima di Sumbawa, Bu Zulfa (47) dan kelompok perempuannya bercerita bahwa menenun bukan sekadar merajut benang, melainkan menenun harapan. Dari kain dan motif lahir warisan budaya, identitas dan penghidupan yang menopang keluarga.
Produk mereka merupakan incaran wisatawan dan layak menembus pasar ekspor. Namun karya berkualitas global itu justru berhenti di pasar lokal. Bukan karena mutunya kalah, tetapi karena sistem perdagangan yang belum mendukung pelaku kecil untuk melangkah lebih jauh.
Kisah Bu Zulfa adalah cermin jutaan pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di luar Pulau Jawa. Dari Sulawesi hingga Sumatera, mereka menghadapi realitas serupa: potensi besar yang terkunci oleh struktur ekonomi yang timpang. Padahal di balik keterbatasan itu tersembunyi kekuatan ekonomi baru, yang jika dibuka, dapat menjadi motor pertumbuhan nasional baru.
Indonesia dengan puluhan juta UMKM yang menyumbang lebih dari 60 persen Produk Domestik Bruto (PDB) dapat menyerap sekitar 97 persen tenaga kerja. Namun aktivitas ekonomi UMKM masih sangat terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Sebaliknya, pelaku usaha di Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, dan Papua menghadapi tantangan geografis, logistik terbatas, serta kesenjangan akses pasar.
Biaya dan kompleksitas logistik saat ini diperkirakan mencapai sekitar 14,3 persen dari PDB, jauh di atas Thailand yang tercatat sekitar 8 persen dan China yang hanya 6 persen. Infrastruktur pelabuhan, pergudangan dan pusat ekspor masih berpusat di Jawa, membuat produk luar Jawa kalah bersaing dalam harga dan kecepatan pengiriman meski kualitasnya setara.
Akibatnya kontribusi UMKM terhadap ekspor nasional stagnan di kisaran 15 hingga 16 persen selama lima tahun terakhir, jauh di bawah Thailand yang mencapai hampir 30 persen.
Masalahnya bukan kemampuan, melainkan ekosistem yang belum berpihak. Banyak pelaku usaha daerah telah menghasilkan produk berkualitas, tetapi terjebak dalam lingkaran distribusi yang panjang, akses pembiayaan terbatas, dan pasar yang tidak terhubung.
Infrastruktur, Pasar dan Risiko
Pertama, infrastruktur ekspor terpadu masih minim. Rantai distribusi panjang membuat biaya tinggi dan waktu pengiriman tidak kompetitif. Negara-negara pesaing telah memiliki fulfillment center ekspor di berbagai wilayah, memungkinkan pelaku usaha daerah mengakses pasar global tanpa bergantung pada pelabuhan utama.
Kedua, pasar dan kualitas kualitas belum bertemu secara optimal. Banyak UMKM memproduksi barang dengan mutu yang baik, namun belum memahami preferensi pasar luar negeri, mulai dari desain, kemasan, hingga storytelling produk.
Untuk memenangkan kepercayaan pembeli global, yang dibutuhkan bukan sekadar sertifikat, melainkan konsisten mutu keandalan pengiriman.
Ketiga, pembiayaan masih terhambat oleh risiko. Akses dana kini bukan sekadar soal bunga atau agunan. Tetapi kemampuan untuk membuktikan kapasitas produksi dan permintaan yang stabil. Integrasi data rantai pasok dan kontrak pembelian yang kredibel menjadi kunci agar lembaga keuangan berani menyalurkan pembiayaan jangka menengah bagi pelaku usaha daerah.
Strategi Ekspor Terpadu
Pertanyaannya yang relevan saat ini bukan "apakah UMKM bisa ekspor?" melainkan "ke mana ekspor dilakukan, dengan produk seperti apa, dan bagaimana prosesnya disederhanakan?"
Pasar ASEAN dapat menjadi batu loncatan realistis sebelum menembus Jepang atau Eropa: Singapura untuk branding dan logistik, Malaysia untuk produk halal, Filipina dan Vietnam untuk makanan dan barang konsumsi.
Pendekatan yang efektif bukan pelatihan massal, melainkan pembentukan klaster produksi daerah, sistem quality control (kendali mutu) sederhana, dan kemitraan jangka menengah dengan anchor buyer atau aggregator. Pemerintah dan sektor swasta perlu mendorong berdirinya hub ekspor terpadu di luar Jawa, yang menggabungkan layanan dokumen, pengujian mutu, logistik, dan pembiayaan pesanan dalam satu atap berbasis digital.
Membangun Kepercayaan dan Inovasi
Transformasi UMKM luar Jawa membutuhkan gelombang baru kepercayaan investor. Modal kerja saja tidak cukup, namun yang diperlukan adalah pembiayaan cerdas untuk model bisnis baru yang berani menantang status quo: startup logistik desa, aggregator ekspor, platform supply chain, dan enabler digital yang membuka akses ke wilayah terpencil.
Dalam satu dekade terakhir, startup dan sektor swasta terbukti menjadi penggerak inklusi keuangan dan inovasi di akar rumput. Melalui kolaborasi dengan lebih banyak investor institusional, modal ventura, dan angel Investor, kini saatnya energi inovasi itu diarahkan untuk memperkuat produk dan ekspor daerah.
Menuju Ekonomi Lebih Inklusif
Transformasi ekonomi luar Jawa hanya akan terwujud bila infrastruktur publik, pasar yang terbuka, pembiayaan cerdas, dan inovasi swasta berjalan seiring. UMKM di luar Jawa bukan sekadar penerima bantuan program, melainkan mesin pertumbuhan yang terlupakan.
Jika logistik dipangkas, pasar ekspor dibuka, dan kepercayaan investor dipulihkan, maka desa-desa seperti daerah Bu Zulfa akan menjadi simpul penting rantai pasok global. Potensi besar itu menunggu untuk dihidupkan.
Sekarang saatnya menggeser pusat gravitasi ekonomi Indonesia, dari Jawa menuju pertumbuhan yang lebih inklusif, kompetitif, dan berkelanjutan.
*) Pendiri Amartha Financial, platform keuangan digital untuk ekonomi akar rumput, Alumni Sekolah Bisnis dan Manajemen, Institut Teknologi Bandung
Editor:
BETHRIQ KINDY ARRAZY
BETHRIQ KINDY ARRAZY