NEWS

JPPI Desak Investigasi Kematian Siswi Usai Keracunan MBG

Siswi SMK Negeri 1 Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat (KBB), Bunga Rahmawati meninggal dunia pada Selasa (30/9/2025). Sebelum meninggal, Bunga mengalami gejala-gejala mirip keracunan . Foto: Istimewa
Siswi SMK Negeri 1 Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat (KBB), Bunga Rahmawati meninggal dunia pada Selasa (30/9/2025). Sebelum meninggal, Bunga mengalami gejala-gejala mirip keracunan . Foto: Istimewa

apakabar.co.id, JAKARTA - Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyampaikan duka mendalam atas meninggalnya seorang siswi SMK Negeri 1 Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat, pada 30 September 2025. Peristiwa tragis itu terjadi setelah gelombang keracunan massal program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang sempat menimpa ratusan siswa di daerah tersebut.

JPPI menegaskan, kasus ini tidak boleh dianggap sepele apalagi ditutup-tutupi. Meskipun Dinas Kesehatan Bandung Barat buru-buru menyatakan bahwa kematian siswi tersebut 'bukan akibat MBG', JPPI menilai investigasi menyeluruh, transparan, dan independen harus segera dilakukan. Hal ini penting agar publik tidak terjebak pada narasi yang menutupi fakta sebenarnya.

Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, menyampaikan tiga alasan mengapa kematian siswi itu diduga kuat berkaitan dengan kasus keracunan MBG dan harus segera diinvestigasi. Pertama, korelasi waktu dengan keracunan massal MBG. Korban merupakan bagian dari sekolah yang sebelumnya mengalami kasus keracunan massal pada 24 September 2025.

"Meski gejala muncul beberapa hari kemudian, hubungan waktu tersebut patut dicurigai," ujar Ubaid di Jakarta, Rabu(1/10).

Kedua, gejala klinis korban serupa dengan keracunan MBG. Siswi itu dilaporkan mengalami muntah, kejang, hingga mulut berbusa. Gejala ini sama dengan yang dialami ratusan siswa lain yang menjadi korban keracunan.

Ketiga, kambuhnya korban keracunan MBG di lokasi yang sama. Beberapa hari setelah keracunan massal, puluhan siswa yang sebelumnya sembuh justru kembali jatuh sakit dengan gejala serupa.

Menurut Ubaid, hal itu memperkuat dugaan bahwa sumber racun belum benar-benar ditangani. “Kasus ini harus diinvestigasi secara transparan dan melibatkan publik. Jika tidak, akan muncul spekulasi liar yang justru melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap program MBG,” katanya.

Untuk memastikan kejelasan kasus, JPPI menuntut dibembentuknya tim investigasi independen. Tim ini harus melibatkan ahli forensik, lembaga kesehatan, dan masyarakat sipil. Hasil investigasi wajib diumumkan secara terbuka kepada publik.

Presiden, kata Ubaid, jangan pernah meremehkan kasus MBG. Pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyebut kasus MBG hanya 'persentase kecil' tidak tepat.

"Sebab, kini sudah ada dugaan korban jiwa yang menyangkut nyawa anak bangsa," tegasnya.

Jika terbukti MBG menjadi penyebab, program ini harus dihentikan. JPPI mengingatkan bahwa Presiden dan Badan Gizi Nasional (BGN) wajib bertanggung jawab dengan menutup seluruh Sentra Produksi Pangan Gizi (SPPG) tanpa terkecuali.

Menurut JPPI, kematian seorang siswi di tengah kasus keracunan massal MBG merupakan alarm keras yang tidak boleh diabaikan.

“Jangan buru-buru menyatakan ‘bukan karena MBG’ sebelum ada bukti ilmiah yang transparan. Publik berhak tahu kebenarannya, Presiden dan BGN wajib bertanggung jawab penuh,” pungkas Ubaid.

Foto editor
Editor: Admin