OPINI
Stiker di Dinding Rumah dan Luka di Hati
Oleh: Muhammad Haidar Allam dan Rivan Prasetyo*
Pemerintah Kabupaten Kepahiang, Bengkulu, beberapa waktu lalu memasang stiker bertuliskan “Keluarga Miskin” di rumah-rumah penerima bantuan sosial. Langkah ini diklaim sebagai bentuk transparansi dan validasi data penerima manfaat.
Namun di mata banyak orang, kebijakan tersebut terasa janggal alih-alih memberdayakan, justru berpotensi mempermalukan warga yang sedang berjuang keluar dari kemiskinan.
Secara hukum, program bantuan sosial memiliki dasar yang kuat, antara lain Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010 tentang percepatan penanggulangan kemiskinan dan Peraturan Menteri Sosial Nomor 1 tahun 2019 tentang penyaluran belanja bantuan sosial di lingkungan kementerian sosial.
Dalam pengertiannya, bansos tidak hanya ditujukan untuk mengentaskan kemiskinan dengan memberi bantuan untuk meringankan beban hidup tetapi juga dapat diaplikasikan sebagai pendukung potensi kemampuan soft skill guna mencapai kesejahteraan warga.
Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dan Program Keluarga Harapan (PKH) merupakan contoh bansos dari pemerintah yang bersifat jangka panjang jika dibandingkan dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang hanya bersifat jangka pendek.
Tujuan utama bantuan sosial adalah mengurangi beban hidup tanpa mengorbankan martabat penerimanya. Namun, implementasi di Kabupaten Kepahiang justru menimbulkan dampak sosial yang berlawanan.
Mengutip salah satu media massa, laporan menyebutkan sekitar 500 keluarga penerima manfaat (KPM) memilih mengundurkan diri dari program bansos setelah rumah mereka dipasangi stiker “Keluarga Miskin”.
Bagi sebagian warga, terutama mereka yang masih berusaha mandiri secara ekonomi, pelabelan tersebut dianggap menyinggung harga diri dan mencoreng martabat keluarga. Bantuan sosial seharusnya diberikan tanpa mempermalukan penerimanya, sebab kemiskinan bukan aib yang perlu diumumkan secara publik (Wibowo, 2025).
Menurut Howard Becker melalui Labeling Theory (1963), identitas sosial seseorang dapat terbentuk dari label yang dilekatkan oleh masyarakat atau institusi. Ketika seseorang diberi label negatif, seperti “keluarga miskin”, label itu dapat menimbulkan stigma sosial dan mendorong individu untuk memandang dirinya sesuai cap tersebut (self-fulfilling prophecy).
Dalam konteks Kepahiang, pelabelan administratif berubah menjadi identitas sosial yang memalukan, sehingga warga merasa terhina dan memilih mundur dari program bantuan.
Sementara itu, Abraham Maslow menegaskan bahwa manusia memiliki hierarki kebutuhan, mulai dari kebutuhan fisiologis hingga kebutuhan akan harga diri dan penghargaan sosial (esteem needs). Ketika kebijakan publik tidak memperhatikan aspek psikologis ini, maka rasa hormat dan kepercayaan diri warga dapat terganggu, meskipun kebutuhan ekonomi terpenuhi. Kasus Kepahiang menunjukkan bahwa bagi sebagian warga, martabat lebih berharga daripada materi.
Kebijakan pemasangan stiker “Keluarga Miskin” menunjukkan bahwa keinginan untuk transparansi sering kali tidak diimbangi dengan kepekaan psikologis dan etika sosial. Ketika pendataan dilakukan dengan cara yang mempermalukan, warga kehilangan rasa aman dan penghargaan diri yang menjadi kebutuhan dasar setiap manusia.
Pelajaran penting dari kasus ini ialah bahwa ketepatan data tidak boleh dicapai dengan mengorbankan martabat. Pendataan bantuan sosial seharusnya menumbuhkan rasa percaya dan partisipasi warga, bukan rasa malu dan penolakan.
Untuk memahami bagaimana pendekatan yang lebih manusiawi dapat dilakukan, menarik melihat contoh praktik pendataan di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, yang menempuh cara berbeda dalam menjaga transparansi sekaligus melindungi harga diri warganya.
Pemerintah Daerah di sana menerapkan transparansi dan akuntabilitas melalui publikasi data serapan anggaran serta jenis-jenis bansos secara terbuka di situs resminya. Praktik baik ini akan lebih efisien secara waktu dan sumber daya, sekaligus memastikan penyaluran bantuan sosial berjalan transparan, akurat, dan menghormati hak warga penerima.
Selain itu bansos juga merupakan kewajiban dari pemerintah untuk membantu kesulitan dengan hadir di tengah warganya.
Contoh lain datang dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yang melakukan inovasi penyaluran bansos melalui Kartu Lansia Jakarta (KLJ), Kartu Anak Jakarta (KAJ), dan Kartu Penyandang Disabilitas Jakarta (KPDJ). Pendekatan adaptif ini mencerminkan konsep pemerintahan yang responsif dan partisipatif sebagaimana dikemukakan Pierre & Peters (2000), di mana pemerintah daerah berperan aktif dalam penyediaan kebijakan kesejahteraan yang sesuai kebutuhan warga.
Sebagai bahan refleksi, Pemerintah Kabupaten Kepahiang dapat mempertimbangkan penerapan policy transfer dengan meniru praktik baik yang telah dijalankan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam pengelolaan bantuan sosial.
Bojonegoro berhasil menerapkan sistem pendataan berbasis digital dan transparansi data publik tanpa menimbulkan stigma sosial, sementara DKI Jakarta menunjukkan inovasi melalui berbagai skema bansos adaptif seperti Kartu Lansia Jakarta (KLJ), Kartu Anak Jakarta (KAJ), dan Kartu Penyandang Disabilitas Jakarta (KPDJ).
Dengan menyesuaikan kapasitas fiskal, kemampuan birokrasi, serta kondisi sosial-budaya lokal, langkah serupa dapat memperkuat legitimasi politik dan kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah.
Tujuan transparansi yang semula diwujudkan melalui pemasangan stiker akan lebih efektif bila diarahkan pada sistem data terbuka berbasis digital, misalnya melalui portal daring (open data) yang memuat daftar penerima bantuan sekaligus menyediakan fitur pengaduan dan usulan warga baru.
Pembaruan data secara berkala melalui survei lapangan juga penting agar informasi tetap akurat dan partisipatif. Pendekatan digital dan manusiawi semacam ini tidak hanya menjaga transparansi, tetapi juga menghormati martabat warga penerima bantuan serta memperkuat tata kelola bansos yang lebih berkeadilan, adaptif, dan visioner bukan saja di Kabupaten Kepahiang, melainkan di seluruh wilayah Indonesia.
*) Muhammad Haidar Allam adalah Peneliti Populi Center dengan fokus kajian politik perkotaan dan politik kaum miskin kota
*) Rivan Prasetyo merupakan Asisten Peneliti di Populi Center dengan fokus kajian politik lokal
Editor:
BETHRIQ KINDY ARRAZY
BETHRIQ KINDY ARRAZY



