NEWS
2 Pesut Mati Sebelum Upin, RASI: Mahakam Tak Lagi Aman
Penyelamatan pesut Mahakam tak bisa lagi ditunda. Tanpa penertiban transportasi batu bara dan pengawasan ketat terhadap aktivitas manusia di sungai, populasi pesut yang tersisa hanya akan menjadi catatan sejarah.
apakabar.co.id, JAKARTA – Kematian seekor pesut jantan bernama Upin kembali menjadi alarm bagi upaya konservasi satwa endemik Sungai Mahakam. Peristiwa tragis ini tak hanya mengguncang kalangan pemerhati lingkungan, tetapi juga menarik perhatian Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Hanif Faisol Nurofiq.
“Masyaallah, sudah dua ya,” ujar Hanif, Selasa (11/11), seraya menyampaikan terima kasih atas laporan yang diterimanya. Apalagi kematian mamalia air tawar yang menjadi ikon biodiversitas Kalimantan itu bukan yang pertama di tahun 2025.
Hanif sebelumnya telah memberi atensi khusus. Ia memerintahkan Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati untuk melakukan koordinasi intens dan menerapkan seluruh instrumen hukum yang tersedia guna mencegah pesut Mahakam menuju kepunahan.
Pesut Mahakam saat ini berstatus kritis (critically endangered) dalam daftar merah IUCN, serta tercantum dalam Apendiks I CITES, kategori perlindungan tertinggi bagi spesies terancam punah.
Kementerian menyatakan tiga langkah utama akan segera dijalankan. Pertama, memastikan asas keanekaragaman hayati diterapkan dalam kebijakan, mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam RTRW dan RPJP, serta memperkuat konservasi dan pencadangan sumber daya alam di wilayah habitat pesut.
Kematian Upin menjadi penanda suram bagi keberlangsungan populasi pesut Mahakam. Dalam kurun sebelas bulan terakhir, tiga individu telah ditemukan mati.
Yayasan Rare Aquatic Species of Indonesia (RASI) mendesak pemerintah menghentikan lalu lintas tongkang batu bara yang melintasi kawasan konservasi dan anak-anak Sungai Mahakam, aktivitas yang disebut sebagai ancaman paling serius bagi keberlangsungan mamalia endemik ini.
Ketua RASI, Danielle Kreb, menyebut populasi pesut Mahakam kini hanya tersisa sekitar 60 ekor. Angka itu, katanya, merupakan hasil pendataan terbaru hingga akhir 2024.
“Jumlah populasi sampai akhir tahun lalu itu 60 ekor, bukan 62 seperti yang sempat disebut,” jelas Danielle saat dihubungi media ini, Selasa (11/11).
Kematian Upin menjadi kasus ketiga pada tahun 2025. Sebelumnya, dua bayi pesut ditemukan mati pada Januari dan Februari lalu di sekitar hulu Muara Kedang Kepala, wilayah perairan yang membentang di Kutai Timur dan Kutai Kartanegara.
“Nelayan melapor berbeda-beda. Tidak ada dokumentasi foto karena mereka tidak membawa kamera. Jadi, kematian dua pesut sebelumnya tidak jelas penyebabnya,” ujar Danielle.
Upin sendiri ditemukan mati tersangkut di keramba warga Dusun Kuyung, Desa Sebemban, Kecamatan Muara Wis, Kutai Kartanegara, Selasa (4/11). Mamalia jantan berusia sekitar tiga tahun itu memiliki panjang tubuh 174 sentimeter dan berat 104 kilogram. Ia lahir pada Juli 2022.
“Dia ditemukan dalam kondisi mati tersangkut. Kami langsung melakukan pengukuran morfometrik dan analisis kondisi tubuh,” jelas Danielle.
Jasad Upin dibawa ke Stasiun Pengamatan Pesut RASI untuk dilakukan nekropsi oleh dokter hewan. Sampel organ diambil dan dikirim ke laboratorium guna memastikan penyebab kematian.
“Saat ini kami masih menunggu hasil uji laboratorium,” tambah Danielle.
RASI memperkirakan populasi pesut Mahakam terus berfluktuasi akibat kematian dan kelahiran baru dalam dua tahun terakhir. Data hasil penelitian bersama BPSPL hingga Oktober 2024 menunjukkan jumlahnya tak lebih dari 60 ekor. Tekanan utama datang dari lalu lintas kapal besar, penangkapan ikan dengan alat berbahaya, serta pencemaran di wilayah konservasi.
“Kematian Upin ini peringatan keras. Hidup pesut Mahakam semakin rapuh. Kalau habitatnya tidak dijaga, spesies ini bisa punah dalam waktu dekat,” tegas Danielle.
Menurut Danielle, hal paling mendesak adalah menghentikan aktivitas tongkang batu bara di anak sungai yang masuk kawasan konservasi. Ia juga menilai pemerintah harus menata ulang sistem transportasi batu bara agar tidak lagi menggunakan jalur sungai di habitat pesut.
“Setop tongkang lewat anak sungai. Pindahkan semua conveyor dalam kawasan konservasi ke arah hilir, termasuk conveyor terapung,” tegasnya.
Ia mendesak pemerintah membatasi maksimal tiga tongkang per jam yang melintas di kawasan konservasi atau 36 tongkang per hari dua arah. “Buat jalur hauling darat atau rel kereta api minimal sampai hilir kawasan konservasi,” katanya.
Selain itu, ukuran tongkang sebaiknya dibatasi maksimal 180 feet dan dilarang berlayar pada malam hari. “Jangan parkir di pinggir sungai di dalam kawasan konservasi,” ujarnya menambahkan.
Untuk sektor perikanan, Danielle meminta Kementerian Kelautan dan Perikanan meninjau ulang penggunaan alat tangkap yang membahayakan satwa, seperti jaring kawat nyamuk atau kasa (sawaran, pegongan, hempang), serta jaring insang dengan ukuran mata rengge besar.

“Perbanyak patroli penegakan hukum terhadap praktik penangkapan ilegal, termasuk setrum dan racun,” katanya.
Selain menyerukan penghentian tongkang di anak sungai, RASI juga merinci sejumlah rekomendasi teknis untuk menyelamatkan habitat pesut Mahakam.
Seluruh usulan itu mengacu pada aturan yang sebenarnya sudah ada, seperti Kepdirjen PKRL No. 61/2023, Rencana Pengelolaan Kawasan Konservasi Mahakam Hulu, dan Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 52 Tahun 2012. Hanya saja, menurut mereka, selama ini tak dijalankan dengan tegas.
Dalam aspek transportasi kapal besar dan tongkang, RASI meminta larangan total bagi tongkang berlayar di anak sungai kelas II dan III yang lebarnya di bawah 250 meter. Kapal besar diwajibkan melintas di jalur tengah sungai, bukan di tepi yang menjadi jalur pesut mencari makan. "Kecepatan kapal cepat juga perlu dibatasi maksimal 15 kilometer per jam di kawasan konservasi agar tidak menimbulkan kebisingan dan gelombang besar yang bisa membahayakan satwa," jelasnya.
Mereka juga menekankan pentingnya pelarangan penggunaan sonar aktif serta penghentian aktivitas tongkang pada malam hari, antara pukul 18.00 hingga 06.00. Setiap tongkang, kata RASI, harus menjaga jarak minimal 3 kilometer satu sama lain dan tidak boleh berpapasan di jalur sempit.
Aktivitas ship-to-ship loading dan conveyor terapung diminta segera dipindahkan keluar kawasan konservasi. Termasuk larangan bagi tongkang parkir atau menambatkan tali ke pohon di tepi sungai.
Di sisi lain, RASI juga menyoroti aktivitas pembukaan lahan di sempadan sungai yang semakin marak. Mereka mendesak pemerintah memeriksa izin-izin yang terbit setelah keluarnya SK Bupati No. 75/SK-BUP/HK/2020 dan Kepmen KP No. 49/2022, karena aturan tersebut jelas melarang pembukaan sempadan tanpa Hak Guna Usaha (HGU).
Menurut Danielle, upaya rehabilitasi juga tak kalah pentingnya. Yakni dengan menanam kembali vegetasi pelindung sejauh 100 meter dari bibir sungai. Warga diimbau agar tidak menebang habis pohon di sempadan sungai, sesuai ketentuan PP No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai. "Ini penting untuk menstabilkan tebing, menjaga suhu air, dan melindungi rantai makanan alami pesut," jelas peneliti asal Belanda ini.
Danielle menegaskan waktu bagi pesut Mahakam hampir habis. Tanpa penertiban lalu lintas tongkang, pengawasan ketat, dan komitmen nyata pemerintah, populasi mamalia endemik ini hanya akan tersisa dalam kenangan.
“Pesut Mahakam sudah terlalu lama hidup berdampingan dengan kebisingan mesin dan arus tongkang. Sekarang saatnya manusia yang mengalah sedikit,” ujarnya.
Editor:
RAIKHUL AMAR
RAIKHUL AMAR




