NEWS

Menemukan Rumah Kedua di SRMA 10 Jakarta

Murid Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 10 Margaguna, (Ka-Ki) Hawafi Nur Afllah,, Jasmia Kusuma Dewi,  dan Nur Aisah. apakabar/Andri
Murid Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 10 Margaguna, (Ka-Ki) Hawafi Nur Afllah,, Jasmia Kusuma Dewi, dan Nur Aisah. apakabar/Andri
apaabar.co.id, JAKARTA — Di sebuah sudut kawasan Margaguna, Jakarta Selatan, berdiri Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 10 Jakarta. Tempat yang bagi sebagian orang mungkin hanya sekadar sekolah, tetapi bagi Hawafi Nur Afllah (16 tahun, kelas XI), Jasmia Kusuma Dewi (17 tahun, kelas X.1), dan Nur Aisah (16 tahun, kelas X.1), ini adalah rumah kedua yang mengajarkan arti disiplin, persahabatan, dan keberanian meraih mimpi. Ketiganya datang dari latar keluarga sederhana, namun di lingkungan yang teratur dan penuh dukungan inilah mereka mulai menemukan arah hidup.

Hawa, Jasmia, dan Nur Aisah tinggal di asrama SRMA 10. Tempat menjadi pusat kegiatan mereka setiap hari. Mereka belajar tidak hanya akademik, tetapi juga nilai-nilai kebiasaan baik yang perlahan membentuk karakter. Ketiganya sama-sama merasakan perubahan besar sejak masuk SRMA 10 Margaguna—perubahan yang terlihat dari cara mereka menjalani rutinitas, cara berpikir, hingga cara mereka menatap masa depan.

Rutinitas Ketat dan Cerita di Balik Ketekunan

Jam empat pagi bagi sebagian besar anak seusia mereka mungkin masih waktu tidur. Namun tidak di SRMA 10 Margaguna. Ketika alarm berbunyi, para siswa langsung bangun untuk salat Subuh, dilanjutkan tadarus hingga olahraga pagi. Rutinitas ini menjadi jadwal harian yang mereka lakukan tanpa keluhan.

“Awalnya berat, tapi lama-lama jadi kebiasaan,” kata Hawa yang pernah mondok sehingga cukup familiar dengan ritme kehidupan berasrama. Bagi Hawa, disiplin di SRMA bukan beban, melainkan sesuatu yang justru memberi kenyamanan dan arah.

Selesai olahraga, mereka sarapan bersama sebelum berangkat sekolah. Kegiatan belajar mengajar berlangsung hingga sore, tetapi hari mereka tidak berakhir di sana. Masih ada kegiatan ekstrakurikuler, seperti latihan paduan suara, hingga pertemuan Rohis. Ketika langit mulai gelap, mereka kembali ke asrama untuk tadarus, makan malam, salat Isya, berbincang sejenak, lalu tidur pukul sembilan.

“Dulu aku nggak serajin ini,” ujar Jasmia, tersenyum kecil. Ia anak keempat dari lima bersaudara. Ibunya bekerja merangkap tugas rumah tangga orang lain dan berjualan susu untuk menutupi kebutuhan keluarga. Ayahnya sudah tidak tinggal bersama mereka. Perjuangan ibunya menjadi alasan terkuat bagi Jasmia untuk bertahan dan semakin disiplin.

Sementara itu, kisah Nur Aisah juga penuh keteguhan. Ibunya bekerja di dua tempat berbeda demi menafkahi tiga anak. Lingkungan asrama dan sekolah menjadi ruang aman bagi Nur Aisah untuk fokus belajar. Ia berbicara pelan namun matanya menunjukkan keyakinan bahwa ia ingin mengubah nasib keluarganya lewat pendidikan.

Ketiganya sepakat bahwa rutinitas ketat di asrama bukan sekadar aturan, melainkan proses pembentukan diri. Mereka belajar bangun tepat waktu, menjaga kebersihan, menghargai sesama, serta mengelola waktu dengan lebih baik.

Mimpi yang Tumbuh di Sekolah Rakyat

Di balik rutinitas teratur itu, SRMA 10 Margaguna menjadi tanah subur bagi mimpi-mimpi besar.
Jasmia menatap masa depan dengan harapan menjadi arsitek. Ia menyukai desain ruang dan bangunan, meski mengaku masih mencari jalur yang tepat untuk mewujudkannya.

Hawa punya cita-cita lain. Ia ingin menjadi seorang ustazah. Dibekali latar belakang mondok dan ketertarikannya pada ilmu agama, ia merasa senang memberi nasihat kepada teman-temannya. “Saya pengen bermanfaat,” ujarnya singkat.

Sementara itu, Nur Aisah menaruh harapan pada dunia seni. Ia telah membuat lebih dari seratus lukisan, mulai dari sketsa kecil hingga lukisan yang pernah dipamerkan di sekolah. Ia sering terinspirasi dari kreator TikTok seperti Erika Rilkado. Meski demikian, ia mengaku masih malu mengunggah karyanya di Instagram karena takut pada komentar negatif. “Takut dibully,” katanya jujur.

Selain mimpi utama mereka, ketiganya juga mengembangkan kemampuan bahasa. Hawa memperdalam bahasa Arab, Jasmia belajar bahasa Inggris dari lagu dan film dan pernah ikut lomba storytelling pada Bulan Bahasa, sementara Nur Aisah ingin melanjutkan belajar bahasa Mandarin yang ia pelajari sejak SMP.

Mereka belajar bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk keluarga. Itulah yang membuat semangat mereka tidak pernah padam.

Menutup perbincangan, ketiganya menyampaikan pesan sederhana yang mereka pegang teguh.
“Belajar rajin dan jangan tinggal salat,” kata Hawa.
“Yang penting jaga nama baik orang tua,” tambah Jasmia.
“Saya ingin memberi dampak positif ” ujar Nur Aisah.

Di SRMA 10 Margaguna, mereka bukan sekadar menjalani hari-hari. Mereka sedang membangun masa depan dengan disiplin, tekad, dan mimpi yang terus tumbuh.