SPORT
Kebangkitan Jonatan Christie dan Lahirnya Generasi Independen
apakabar.co.id, JAKARTA - Di dunia olahraga Indonesia, keluar dari Pelatnas PBSI dulu sering dianggap langkah gila. Itu seperti meninggalkan rumah besar yang penuh kenyamanan dan jaminan masa depan. Tapi beberapa tahun terakhir, narasi itu mulai bergeser.
Dari luar tembok Cipayung, muncul cerita-cerita baru tentang kemandirian, tentang pencarian makna, dan tentang semangat yang justru membara setelah keluar dari sistem.
Salah satu yang kini jadi simbol perubahan itu adalah Jonatan Christie.
Setelah gagal lolos ke Olimpiade Paris 2024, Jojo sempat berpikir untuk gantung raket. Ia merasa lelah secara mental dan kehilangan arah. Tapi beberapa minggu kemudian, hidupnya berubah: lahir Leander Jayden Christie, putra pertamanya.
Dari situ energi baru muncul. Jonatan memutuskan tetap bermain, tetapi dengan cara yang memberi ruang lebih bagi dirinya dan keluarga. Ia memilih jalur independen.
Pilihan itu membawa konsekuensi besar. Semua yang sebelumnya diurus pelatnas seperti jadwal, tiket, akomodasi, latihan, hingga finansial, sekarang harus ia tata sendiri. Tapi dari situ pula muncul sesuatu yang tak ia temukan selama 12 tahun di Cipayung: kendali penuh atas hidup dan pekerjaannya. Kendali itulah yang memantik semangat baru.
Sejak keluar pelatnas, grafik performa Jonatan menanjak tajam. Ia menembus perempat final Kejuaraan Dunia 2025, lalu merebut gelar Super 500 Korea Open, Super 750 Denmark Open, dan Super 500 Hylo Open dalam dua bulan beruntun. Ia tampil lebih tenang, lebih matang, dan yang paling terasa—lebih lapar.
Fenomena ini bukan hanya milik Jonatan. Ganda campuran Gloria Emanuelle Widjaja lebih dulu mengalaminya setelah keluar dari pelatnas pada 2022. Berlatih di PB Djarum bersama Rehan Naufal Kusharjanto, mereka menembus final Super 300 German Open dan Orleans Masters, menjuarai Super 100 Polish Open, serta mencapai perempat final Super 1000 All England.
Stabilitas itu membuat keduanya kembali dipercaya memperkuat Indonesia di Piala Sudirman 2025.
Pasangan ganda putra Sabar Karyaman Gutama dan Moh. Reza Pahlevi Isfahani juga menapaki jalur serupa. Setelah keluar dari pelatnas pada 2021, karier mereka justru menanjak. Mereka menjuarai Spain Masters 2024 dan tiga kali menembus final besar musim 2025, termasuk di Super 1000 Indonesia Open dan Super 500 Hylo Open.
Fenomena pemain yang menemukan kebangkitan di luar pelatnas sebenarnya sudah tampak sejak 2018, ketika Mohammad Ahsan dan Hendra Setiawan memilih jalur profesional. Keputusan itu bukan karena konflik, melainkan keinginan memberi ruang bagi pemain muda dan mencari atmosfer baru.
Hasilnya luar biasa. Mereka meraih gelar-gelar bergengsi seperti BWF World Tour Finals 2019, Super 1000 All England 2019, hingga juara dunia di tahun yang sama. Keduanya membuka jalan bahwa jalur profesional bisa berdampingan dengan pembinaan nasional.
Pertanyaannya kemudian: mengapa keputusan keluar pelatnas bisa menjadi titik balik?
Jawabannya kompleks. Pelatnas memberi kenyamanan—fasilitas lengkap, program latihan terukur, tim pendukung solid. Namun, dalam beberapa kasus, kenyamanan yang terlalu stabil justru mengikis urgensi.
Saat keluar, pemain dipaksa mengelola banyak hal sendiri. Setiap pertandingan punya bobot lebih besar, setiap kegagalan punya konsekuensi langsung, dan setiap keberhasilan terasa lebih berharga.
Kemandirian lahir dari ketidaknyamanan. Dan dalam beberapa kasus, justru ketidaknyamanan itu yang melahirkan performa terbaik.
PBSI menyadari dinamika ini. Sistem promosi–degradasi kini lebih dinamis, evaluasi lebih cepat, dan kesempatan pemain muda diperluas.
Wakil Ketua I PP PBSI Taufik Hidayat menyebut, regenerasi adalah hal alami.
“Tentu, suatu saat Jonatan dan Chico Aura Dwi Wardoyo akan keluar juga. Yang di bawahnya harus siap menjadi ujung tombak,” ujarnya.
Ia menegaskan pentingnya menyiapkan pemain muda agar tidak kaget ketika waktu itu tiba.
Sementara itu, Kabid Binpres PBSI Eng Hian menjelaskan pihaknya menyiapkan program akselerasi regenerasi, termasuk di sektor tunggal putra dengan mengorbitkan nama-nama seperti Alwi Farhan dan Moh. Zaki Ubaidillah.
Keberadaan senior seperti Anthony Sinisuka Ginting juga menjadi role model penting di pelatnas.
PBSI kini memberi keluwesan lebih besar kepada pelatih, terutama di sektor ganda. Perombakan pasangan—yang sering disebut “bongkar pasang”—bukan sekadar reaksi atas cedera atau masalah nonteknis, tapi bagian dari strategi pembinaan yang lebih adaptif.
Pelatih ganda putra, Antonius Budi Arianto, menegaskan pendekatan ini dilakukan untuk mencari kecocokan baru, mengasah fleksibilitas, dan membuka peluang kombinasi yang lebih efektif.
Hasilnya terlihat jelas. Saat Fajar Alfian dan Muhammad Shohibul Fikri dipasangkan secara mendadak, mereka justru menemukan ritme cepat dan menjadi juara Super 1000 China Open 2025.
Sektor ganda putri pun melakukan hal serupa. Rotasi pasangan dilakukan untuk menemukan racikan terbaik menuju Olimpiade Los Angeles 2028.
Di luar itu, keberhasilan para pemain non-pelatnas yang terus bersinar menandai fase baru pembinaan bulu tangkis Indonesia.
Pelatnas dan jalur independen bukan dua kutub yang bertentangan, tetapi dua jalur yang saling melengkapi. Selama pemain bertanding untuk Indonesia, keduanya sah, setara, dan layak dihargai.
Karena pada akhirnya, yang terpenting adalah bagaimana seorang atlet bisa berkembang sesuai karakter dan kebutuhannya. Jalur itu bisa di dalam pelatnas, bisa pula di luar. Yang tidak boleh hilang justru rasa lapar untuk terus maju—sesuatu yang, menariknya, banyak ditemukan para pemain setelah mereka keluar dari zona nyaman Cipayung.
Editor:
RAIKHUL AMAR
RAIKHUL AMAR

