Triple Crown, Gelar Langka Menggoda di Pacuan Kuda Indonesia

Pacuan kuda Indonesia. Foto: sagara

apakabar.co.id, JAKARTA – Mahkota tertinggi dalam dunia pacuan kuda Indonesia kini hanya sejengkal lagi. Setelah mengunci kemenangan di dua seri sebelumnya, kuda pacu King Argentine kini berpeluang menjadi kuda ketiga sepanjang sejarah yang menyandang gelar Triple Crown Indonesia.

Pencapaian itu akan ditentukan dalam IHR–Indonesia Derby, yang akan digelar 27 Juli 2025 mendatang. Derby ini menjadi leg ketiga atau penutup dari seri balap Triple Crown, menyusul kemenangan King Argentine di IHR–Triple Crown Serie 1 (1.200 meter) dan Serie 2 (1.600 meter).

“Ini bukan soal siapa yang paling cepat saja. Triple Crown adalah ujian fisik, mental, dan konsistensi luar biasa. Dan King Argentine sudah membuktikannya sejauh ini,” kata Ketua Komisi Pacu PP PORDASI, Ir. H. Munawir.

Triple Crown di Indonesia memang bukan gelar sembarangan. Sepanjang sejarahnya, hanya dua kuda berhasil menyapu bersih tiga seri dan menyandang gelar itu: Manik Trisula (2002) dan Djohar Manik (2014).

Artinya, selama satu dekade terakhir, belum ada satu pun kuda yang mampu mengulang pencapaian tersebut.

Derby kali ini akan menjadi titik kulminasi. Digelar dengan jarak 2.000 meter, ajang ini menuntut kekuatan daya tahan maksimal, strategi balap cermat, dan kesiapan menghadapi tekanan.

Tidak sedikit yang nyaris menggapainya, tapi gagal di langkah terakhir. Sebut saja King Master (2006), Queen Thalassa (2019), hingga Nara Asmara (2016).

Semua memberi pelajaran bahwa Triple Crown adalah jalan terjal menuju keabadian di arena pacuan.

“Banyak yang mencoba, hanya sedikit yang berhasil. Triple Crown hanya datang sekali seumur hidup untuk seekor kuda. Ini adalah panggung langka,” tegas Munawir.

Triple Crown di Dunia

Triple Crown bukan hanya milik Indonesia. Di seluruh dunia, gelar ini menjadi simbol supremasi tertinggi.

Di Amerika Serikat, hanya 13 kuda dalam 150 tahun yang berhasil menang di Kentucky Derby, Preakness Stakes, dan Belmont Stakes. Terakhir adalah Justify (2018).

Di Inggris, sang pelopor balapan modern, Triple Crown menjadi semacam mitos karena yang terakhir diraih oleh Nijinsky pada 1970.

Di Jepang, gelar “Sambakan” atau Triple Crown dicapai oleh hanya 8 kuda jantan sepanjang sejarah, terakhir oleh Contrail (2020).

Di Hong Kong, hanya dua nama yang berhasil: River Verdon (1994) dan Voyage Bubble (2025). Itu pun terbuka bagi kuda dewasa, bukan hanya usia 3 tahun.

Kombinasi stamina, umur, dan konsistensi membuat gelar ini sangat langka dan dihormati. Tidak heran jika hanya dua nama berhasil mencatatkan sejarah dalam lebih dari tiga dekade.

Meski konsepnya serupa, tiga kemenangan dalam satu musim, Triple Crown di setiap negara punya warna dan tantangan tersendiri.

Di Amerika, Inggris, dan Jepang, Triple Crown adalah arena khusus bagi kuda usia 3 tahun. Sementara di Hong Kong, usia tak lagi jadi batasan. Di Australia, bahkan sprinter pun diberi jalur menuju mahkota mereka sendiri.

8 kali dilihat, 8 kunjungan hari ini
Editor: Raikhul Amar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *