Luhut Pastikan Transisi Energi Pacu Pengembangan Industri Hijau

Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut BInsar Pandjaitan. Foto: Kemenkomarves

apakabar.co.id, JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan memastikan proses transisi energi di Indonesia tak hanya fokus pada pengurangan emisi saja, melainkan juga turut mendorong pengembangan industri hijau.

“Mendorong pertumbuhan ekonomi dengan mengembangan industri hijau yang akan menopang perekonomian kami dalam jangka panjang,” katanya di Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024 di Jakarta Convention Centre (JCC), Kamis (5/8).

Luhut mengungkapkan untuk mempertahankan dan mempercepat proses transisi yang berkelanjutan dibutuhkan kolaborasi global dan investasi. Dengan begitu, pertumbuhan ekonomi, kepastian keamanan energi, dan mitigasi perubahan iklim bisa dilakukan secara efektif, tanpa mengorbankan aspek penting lainnya.

Baca juga: Jokowi Pamer RI Punya PLTS Terapung Terbesar di Asia Tenggara

Sebagai upaya akselerasi transisi energi dan pemajuan industri hijau, kata Luhut, Indonesia telah membentuk Gugus Tugas Transisi Energi Nasional. Hal itu dilakukan untuk mengorong inisiatif di berbagai sektor.

Salah satunya ditempuh melalui Just Energy Transition Partnership (JETP) dengan negara-negara International Partners Group (IPG) dan Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ) yang kini telah teridentifikasi lebih dari 400 proyek prioritas di sektor ketenagalistrikan yang siap didanai.

Selain itu, menurutnya setiap negara di dunia punya cara tersendiri dalam menunjukkan komitmen dekarbonisasi, mengingat kapasitas fiskal, kemampuan teknologi, dan stabilitas politik berbeda-beda.

Baca juga: Mengenang Sosok Sederhana: Faisal Basri

Baca juga: Kabar Duka, Ekonom Faisal Basri Meninggal Dunia

Luhut menekankan negara-negara berkembang harus terus tumbuh sambil juga mengurangi emisi. Meski begitu, negara berkembang menurutnya belum bisa 100 persen menerapkan solusi dari negara-negara maju. Sebab, kapasitas fiskal, akses teknologi, dan realitas politik yang berbeda-berbeda.

“Setiap negara harus memilih dan menerapkan strategi berdasarkan konteks dan kebutuhannya sendiri,” pungkasnya.

16 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Bethriq Kindy Arrazy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *