Membaca Pesan Deflasi

Foto ilustrasi deflasi. Foto: Gema Surya FM

Oleh: Syafruddin Karimi*

Deflasi sebesar 0,37 persen pada Mei 2025 bukan sekadar penurunan harga biasa. Angka ini menyimpan pesan mendalam tentang lemahnya permintaan masyarakat. Meski inflasi tahunan masih tercatat 1,6 persen dan inflasi tahun berjalan berada di angka 1,19 persen, data ini menunjukkan konsumsi rumah tangga tidak bergerak agresif.

Harga turun, pasokan stabil, tetapi masyarakat tetap menahan diri untuk belanja. Ini menandakan adanya tekanan psikologis yang lebih kuat dibanding dorongan harga murah.

Konsumen diam bukan karena mereka tak butuh, melainkan karena mereka tak yakin. Mereka meragukan kestabilan pendapatan, khawatir kehilangan pekerjaan, dan merasa belum aman secara finansial.

Dalam kondisi seperti ini, menurunnya harga tidak serta-merta menjadi pemicu konsumsi. Justru, deflasi menjadi cerminan ketidakpercayaan publik terhadap kondisi ekonomi saat ini.

Baca juga: Mewaspadai Kondisi Transaksi Internasional Indonesia

Daya beli masyarakat tidak hanya soal nominal pendapatan, tetapi soal ekspektasi. Jika masyarakat merasa pendapatannya akan tetap, bahkan meningkat, mereka akan lebih berani belanja.

Sebaliknya, jika mereka merasa masa depan tidak pasti, maka mereka akan menyimpan uangnya. Inilah yang membuat deflasi menjadi sinyal yang harus ditafsirkan dengan cermat oleh pembuat kebijakan.

Ketika konsumsi melemah, sektor produksi ikut menyesuaikan diri. Produsen mengurangi output, menunda perekrutan tenaga kerja, dan mengerem ekspansi. Akibatnya, ekonomi bergerak lebih lambat.

Rantai ini saling berkaitan: konsumsi memicu produksi, produksi menciptakan pendapatan, pendapatan kembali mendorong konsumsi. Ketika salah satu terhenti, keseluruhan siklus melemah.

Bank Indonesia sudah merespons dengan menurunkan suku bunga acuan sebanyak tiga kali sejak September 2024. Langkah ini bertujuan memberi insentif bagi konsumsi dan investasi. Suku bunga rendah memang menurunkan biaya kredit dan mendorong belanja modal.

Baca juga: Perang Dagang sebagai Tantangan Sistem Ekonomi Pancasila

Namun, transmisi kebijakan ini akan optimal bila masyarakat percaya bahwa pendapatannya aman dan prospek ekonominya membaik. Tanpa kepercayaan publik, suku bunga rendah tidak cukup kuat untuk menggairahkan konsumsi.

Pemerintah perlu mempercepat belanja negara, terutama yang langsung menyentuh masyarakat. Program bantuan sosial, subsidi energi, dan proyek padat karya harus dijalankan secara agresif.

Setiap dana yang dibelanjakan ke sektor riil akan menciptakan permintaan, membuka lapangan kerja, dan memperkuat daya beli. Dengan demikian, pemerintah bisa memutus lingkaran stagnasi yang dipicu oleh deflasi.

Kondisi ekspor juga perlu mendapat perhatian. Sejak diberlakukannya tarif 10 persen dari Amerika Serikat terhadap produk Indonesia pada April lalu, ekspor menghadapi tekanan. Penurunan tajam ekspor tambang dan manufaktur membuat Indonesia kehilangan momentum dari sisi eksternal.

Dalam situasi ini, diplomasi dagang dan diversifikasi pasar ekspor menjadi keharusan. Pemerintah harus memperjuangkan akses pasar agar ekspor bisa kembali menyumbang pertumbuhan.

Baca juga: Tantangan Keamanan Stabilitas Ekonomi Asia

Baca juga: Kredit Seret, Ekonomi Berat

Sektor UMKM perlu diberdayakan kembali. Di sinilah denyut ekonomi rakyat bergetar. UMKM membutuhkan insentif fiskal, pembiayaan murah, pelatihan, dan akses pasar digital. Ketika UMKM pulih, mereka akan menyerap tenaga kerja lokal, meningkatkan penghasilan masyarakat, dan menggerakkan kembali konsumsi. Pemerintah tidak boleh membiarkan UMKM berjalan sendiri menghadapi tekanan permintaan.

Harga pangan memang turun karena kenaikan produksi beras hampir 15 persen. Penurunan harga ini seharusnya memberi ruang bagi konsumsi, tetapi realitanya tidak demikian. Konsumen tetap menahan diri karena beban psikologis lebih dominan. Penurunan harga tidak cukup untuk mengubah perilaku belanja bila masyarakat belum merasa aman secara ekonomi.

Yang paling mendesak saat ini adalah membangun kembali kepercayaan publik. Pemerintah dan otoritas moneter harus menyampaikan arah kebijakan secara jelas dan konsisten. Publik perlu diyakinkan bahwa negara hadir dan tanggap terhadap kondisi yang ada. Kepercayaan itulah yang akan menjadi bahan bakar utama untuk memulihkan konsumsi dan investasi.

Deflasi bukan tanda keberhasilan menekan harga, tetapi alarm tentang lesunya ekonomi. Ia menyampaikan pesan bahwa mesin konsumsi sedang tidak bekerja, dan bahwa masyarakat memilih untuk menunggu.

Baca juga: Menumpuk Utang, Defisit Anggaran Melebar

Dalam kondisi ini, diamnya konsumen lebih berisik daripada suara inflasi. Pemerintah dan pelaku usaha harus bersama-sama menjawab pesan ini dengan tindakan nyata dan terukur.

Membaca pesan deflasi berarti menyadari bahwa ekonomi membutuhkan intervensi aktif. Pemerintah harus menggerakkan belanja, memperkuat jaring pengaman sosial, dan memulihkan kepercayaan publik.

Jika pesan ini diabaikan, kita berisiko masuk dalam fase stagnasi yang lebih dalam. Bila pesan ini dibaca dengan cermat dan ditanggapi dengan cepat, maka deflasi bisa menjadi momentum untuk mengarahkan ekonomi ke jalur pemulihan. Saatnya bertindak.

*) Guru Besar Departemen Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Andalas

10 kali dilihat, 10 kunjungan hari ini
Editor: Bethriq Kindy Arrazy

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *