NEWS

AJI Tegas Tolak Gelar Pahlawan untuk Soeharto: Ancaman bagi Demokrasi dan Kebebasan Pers

konferensi pers bertema “Soeharto Bukan Pahlawan: Bungkam Kebebasan Pers dan Ekspresi” di Kopi Kina, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (7/11/2025). apakabar.co.id/Andrey
konferensi pers bertema “Soeharto Bukan Pahlawan: Bungkam Kebebasan Pers dan Ekspresi” di Kopi Kina, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (7/11/2025). apakabar.co.id/Andrey
apakabar.co.id, JAKARTA -  Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menegaskan penolakannya terhadap rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto. 

Dalam konferensi pers bertema “Soeharto Bukan Pahlawan: Bungkam Kebebasan Pers dan Ekspresi” di Kopi Kina, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (7/11/2025), AJI bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil seperti ELSAM, LBH Pers, dan SAFEnet menilai langkah tersebut merupakan ancaman bagi kebebasan pers dan berpotensi membuka kembali pola pengendalian media seperti pada masa Orde Baru.

Sekretaris Jenderal AJI, Bayu Wardhana, menyebut masa pemerintahan Soeharto sebagai periode paling gelap bagi kebebasan pers di Indonesia. Menurutnya, rezim Orde Baru menindas media melalui sistem izin terbit yang dijadikan alat represi terhadap jurnalis dan redaksi yang kritis terhadap pemerintah. 

“Di masa Soeharto, kebebasan pers dibungkam. Media dipaksa tunduk melalui mekanisme izin terbit. Siapa pun yang melawan, izinnya dicabut,” ujarnya.

Bayu menegaskan bahwa tidak ada alasan yang membuat Soeharto layak disebut pahlawan dari sisi kebebasan pers dan demokrasi. 

“Kalau bicara kontribusi untuk pers, justru BJ Habibie yang berjasa membuka kebebasan media. Kalau Soeharto jadi pahlawan, itu pintu gerbang kembalinya Orde Baru,” katanya. 

Ia juga menyoroti bahwa kekuasaan Soeharto menuntut keseragaman pandangan dan kendali penuh terhadap media. Pada masa itu, hanya ada satu organisasi jurnalis yang diakui negara, yakni PWI, sementara AJI dinyatakan ilegal dan anggotanya diberhentikan dari medianya. 

“Dalam kondisi yang tidak baik-baik, jurnalis harus berpihak pada rakyat,” tegas Bayu.

Perwakilan LBH Pers, Mustafa, menilai pengusulan gelar pahlawan bagi Soeharto adalah bentuk pengkhianatan terhadap semangat Reformasi. 

“Jejak represi Orde Baru sangat nyata. Buku, kesenian, media, hingga ruang sipil ditekan. Kalau Soeharto dianggap pahlawan, lalu ratusan ribu mahasiswa yang menjatuhkannya disebut apa?” ujarnya.

Dari ELSAM, Oktaniawin menegaskan bahwa Soeharto tidak layak diberi gelar pahlawan karena memiliki rekam jejak pelanggaran HAM berat, pelanggaran terhadap prinsip demokrasi dan kebebasan sipil, serta praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang merusak moral publik. 

“Dalam hal nilai kemanusiaan, keadilan, dan integritas moral, Soeharto jelas tidak memenuhi syarat,” ujarnya.

Sementara itu, perwakilan SAFEnet, Ninden, menilai pengusulan Soeharto sebagai pahlawan berpotensi menghidupkan kembali represi ala Orde Baru. 

“Buku, seni, hingga berbagai ekspresi budaya disensor. Kalau Soeharto dijadikan pahlawan, ini seperti membuka pintu Orde Baru 2.0,” ujarnya.

Dalam hal ini AJI bersama SAFEnet, Elsam, LBH Pers bersama Koalisi Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) menyatakan sikap: 

Pertama, menolak keras usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto. Upaya ini merupakan bentuk pemutarbalikan sejarah dan penghinaan terhadap perjuangan reformasi, demokrasi, kebebasan pers, dan kebebasan berekspresi. Mengangkat Soeharto sebagai pahlawan berarti menghapus luka bangsa dan mengkhianati hak dasar rakyat untuk berekspresi bebas. 

Kedua, mendesak Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan untuk menolak dan menghentikan proses pengusulan nama Soeharto kepada Presiden Republik Indonesia, dengan mempertimbangkan rekam jejak buruknya terhadap demokrasi, HAM, dan kebebasan berekspresi, serta karena langkah tersebut tidak hanya mengkhianati cita-cita reformasi dan rasa keadilan di masyarakat, tetapi juga bentuk manipulasi sejarah dan hukum. 

Ketiga, mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk menolak dan menghentikan proses pengusulan gelar Pahlawan Nasional bagi Soeharto, serta memastikan negara berpihak pada nilai reformasi dan supremasi hukum, bukan pada pelaku pelanggaran HAM. 

Keempat, menuntut negara untuk menjamin pemulihan hak korban pelanggaran HAM dan represi kebebasan pers di masa Orde Baru, termasuk memastikan akuntabilitas hukum bagi pelaku yang masih hidup. 

Kelima, mengajak masyarakat sipil, jurnalis, akademisi, dan generasi muda untuk tidak berhenti bersuara menolak manipulasi sejarah dan menegakkan kembali semangat reformasi yang memperjuangkan demokrasi, HAM, dan kebebasan berekspresi.