Banjarmasin Ibu Kota Lagi Bergaung di DPD RI!

Banjarmasin ini salah satu kota tertua. Bahkan mengalahkan Jakarta.

Pertemuan khusus Komite I DPD RI bersama Kemendagri, Anggota DPR dari Kalimantan Selatan, dan sejumlah tokoh masyarakat Kalsel, Selasa (14/5). apakahr.co.id/Fahri

apakabar.co.id, JAKARTA – Misi mengembalikan status ibu kota Banjarmasin kembali bergaung. Dimotori oleh budayawan, akademisi hingga aktivis hukum.

“Banjarmasin ini salah satu kota tertua. Bahkan mengalahkan Jakarta,” ujar Nisfuady di hadapan para senator dan perwakilan menteri dalam negeri di Gedung DPD RI, Selasa sore (14/5).

Dalam rapat sore tadi, Sekretaris Jenderal Kemendagri, Tomsi Tohir hadir. Ia mewakili Menteri Tito Karnavian.

Di hadapan jenderal bintang tiga itu, Nisfuady meminta agar dilakukan revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2022 tentang Provinsi Kalimantan Selatan. Khususnya pada Pasal 4.

“Status ibu kota Kalsel agar dikembalikan dari Banjarbaru ke Banjarmasin,” ujar aktivis dari Forum Kota atau Forkot Banjarmasin itu.

Terbitnya UU Nomor 8/2022, terus menimbulkan polemik. Tak lain sebab beralihnya ibu kota Kalsel ke Banjarbaru.

“Mohon Kemendagri merevisi UU ini secara terbatas. Lewat DPD RI-lah yang bisa membantu kita saat ini,” ujarnya.

Nisfuady memastikan bahwa UU Nomor 8/2022 bukanlah kehendak warga Banjarmasin. Sebab prosesnya yang tak partisipatif.

“Kalau mau bukti dukungan, saya bisa mengumpulkan 100 ribu tanda tangan warga,” tantangnya.

Rapat sore tadi dipimpin oleh Prof Sylviana Murni. Turut hadir senator DPD lainnya Habib Abdurrahman Bahasyim.

Habib Banua, sapaan karib Abdurrahman, turut mengaminkan. Bahkan, UU ini cacat prosedur. Bahkan ia bersaksi ketua DPRD setempat pun tidak mengetahui.

“Ini susupan. Kalau memang prosesnya benar, seharusnya diterima oleh semua pihak. Namun tidak demikian,” jelas senator asal Kalsel ini.

Mengapa baru sekarang? 4 September 2023, Komite I sempat memintai klarifikasi Mendagri Tito Karnavian. Mereka meminta agar ibu kota dikembalikan dengan melakukan revisi UU. Risalah rapat kemudian lengkap dengan paraf mendagri.

“Nah sekarang kita tagih agar UU Kalsel ini direvisi secara terbatas,” jelas Habib.

Sekretaris Jenderal Kemendagri, Tomsi Thohir menyambut positif. Ia siap memfasilitasi aspirasi.

“Akan kita pelajari, dan memfasilitasinya sesuai mekanisme dan ketentuan yang ada,” ujar Tomsi.

Di tengah rapat dengar pendapat DPD-Kemendagri itu, interupsi datang dari Ajiep Padindang. Senator asal Sulawesi Selatan ini melihat kasus Banjarmasin tak boleh terjadi di daerah lain.

“Ini jangan sampai menjadi preseden,” ujarnya.

Polemik UU Kalsel, duganya, tak lepas dari minimnya sosialisasi. Terlebih tiba-tiba ada yang memasukkan pasal yang memindahkan. Harusnya menyangkut pemindahan ibu kota dibuatkan UU baru.

“Karena revisi UU ini sifatnya penyesuaian. Jelas sangat tidak diterima,” jelasnya.

Ajiep meminta Kemendagri serius memproses aspriasi ini. “DPRD Kota hingga DPRD Provinsi juga harus proaktif,” jelasnya.

Rapat dengar pendapat turut mengundang anggota DPR RI Syamsul Bahri. Diundang secara khusus, SBR mendorong agar polemik segera tuntas.

“Caranya, aspirasi ini harus dikawal kelanjutanya,” jelasnya.

Banjarmasin memiliki sejarah panjang terbentuknya Kalimantan Selatan. Bahkan provinsi Kalimantan mencakup Kalteng, Kalsel dan Kaltim, ketika itu Banjarmasin-lah pusatnya.

“Aspirasi ini harus berlanjut,” jelasnya. SBR juga mendorong pemekaran Gambut Raya dan Kambatang Lima.

Bukan cuma Nisfuady. Turut hadir, Seniman Khairidi Asa, Advokat M Pazri, pakar hukum tata negara, Prof Ichsan Anwari. Mereka semua juga merasa terkejut ibu kota Kalsel.

Ichsan melihat DPD memiliki kewenangan yang cukup. DPD dapat mengajukan rancangan UU, ikut membahasnya, serta memberi pertimbangan bagi DPR RI.

“Kami meminta DPD mengawal proses revisi tersebut hingga disahkan dan ditetapkan serta diundangkan menjadi UU,” jelas akademisi Universitas Lambung Mangkurat ini.

Banjarmasin tak serta merta menjadi ibu kota Kalsel. Bahkan sebelum provinsi ini terbentuk, Banjarmasin sudah menjadi ibu kota Kalimantan sejak 9 November 1945.

Upaya pemerataan kemudian coba dilakukan pemerintah provinsi di bawah kepemimpinan dua R, Rudy Ariffin-Rosehan NB. Mereka menjadikan Banjarbaru sebagai pusat pemerintahan.

Namun 77 tahun kemudian, status Banjarmasin sebagai ibu kota Kalsel malah beralih ke Banjarbaru menyusul adanya revisi senyap. Pemerintah kota maupun DPRD bersama Forkot dan Kadin sedianya sudah menggugat. Namun mental di MK.

Tanpa Paripurna

Pertemuan khusus Komite I DPD RI bersama Kemendagri, Anggota DPR dari Kalimantan Selatan, dan sejumlah tokoh masyarakat Kalsel, Selasa (14/5). apakahr.co.id/Fahri

Kekinian, ada sederet alasan dan pertimbangan relevan mengembalikan status Banjarmasin. Pertama tak pernah ada rapat paripurna terkait oleh DPRD Kalsel.

“Padahal DPRD dan gubernur merupakan representasi masyarakat. Sehingga hak untuk didengarkan pendapatnya dalam setiap tahapan pembentukan UU tidak terpenuhi,” jelas Muhammad Pazri dari Borneo Law Firm.

Tak cuma itu. Tidak ada juga surat keputusan gubernur, persetujuan dua wali kota dan 11 bupati, maupun 13 DPRD kabupaten/kota se-Kalsel.

“Termasuk kami mendapati tak pernah ada penyediaan anggaran biaya untuk pemindahan ibu kota Kalsel,” jelasnya.

Idealnya perlu tim khusus. Melibatkan 2 wali kota dan 11 bupati. Serta 13 DPRD terkait. Seperti halnya sewaktu dulu pada saat memindah pusat pemerintahan Kalsel dari Banjarmasin ke Banjarbaru.

Pasal menyusut

Pertemuan khusus Komite I DPD RI bersama Kemendagri, Anggota DPR dari Kalimantan Selatan, dan sejumlah tokoh masyarakat Kalsel, Selasa (14/5). apakahr.co.id/Fahri

Pasal-pasal pada UU 8/2022 mulanya sangat sederhana. Terdiri dari 50-an pasal. Namun belakangan hanya tersisa 8. Tentu saja mengundang tanya Pazri dan kawan-kawan.

Ada beberapa versi rancangan UU Provinsi Kalimantan Selatan yang terpublikasi. Pertama terdiri dengan komposisi 50 pasal, kedua 58 pasal, dan versi ketiga 8 pasal.

“Bahwa jika dicermati pada UU 8/2022 yang telah diundangkan hanya terdiri dari 8 pasal. Sehingga UU tersebut tidak komprehensif dan terkesan tergesa-gesa,” jelasnya.

Tak sesuai prosedur

Pertemuan khusus Komite I DPD RI bersama Kemendagri, Anggota DPR dari Kalimantan Selatan, dan sejumlah tokoh masyarakat Kalsel, Selasa (14/5). apakahr.co.id/Fahri

Pazri cs melihat mestinya ada prakarsa dan kesepakatan masyarakat. Yang kemudian aspirasi ini disampaikan ke gubernur.

Gubernur kemudian menyusun naskah akademis. Bersama-sama dengan perguruan tinggi atau asosiasi profesi. Aspirasi lalu dibawa ke DPRD Provinsi guna persetujuan melalui sidang paripurna.

Nantinya gubernur yang menyampaikan usulan perubahan ibu kota ke menteri dalam negeri. Lewat Direktorat Jenderal Pemerintahan, Mendagri memproses usulan. Melibatkan pemerintahan provinsi dan instansi terkait.

“Apakah prosedur yang sedemikian ini sudah dipenuhi?” ujar Pazri.

Mereka juga melihat UU 8/2022 tak dapat dilaksanakan mengingat pasal 4 bersifat mengambang.

“Dalam UU tersebut tak mengatur teknis, antara lain pengaturan masa transisi pemindahan hingga anggaran mana yang akan digunakan,” jelasnya.

Ormas Sassangga Banua

Usai Pertemuan khusus Komite I DPD RI bersama Kemendagri, Anggota DPR dari Kalimantan Selatan, dan sejumlah tokoh masyarakat Kalsel, Selasa (14/5). apakahr.co.id/Fahri

Pernyataan Ormas Sasangga Banua dikutip dalam naskah akademik dasar pembentukan UU 8/2022. Pazri cs telah memastikan sebenarnya tak pernah ada pernyataan ibu kota Kalsel berkedudukan di Banjarbaru.

Agustus 2020, Sasangga Banua menerima email dari sekretariat dan Komisi II DPR RI. Isinya rencana perubahan UU Provinsi Kalsel.

19 Oktober 2020 mereka memang menggelar zoom online bersama Panja Naskah Akademik DPR RI dan Komisi II DPR RI. Bertema diskusi pengumpulan naskah akademik RUU Provinsi Kalsel di ruang meeting Hotel Aria Barito Banjarmasin.

11 November diskusi kembali digelar di Best Western Hotel Banjarmasin. Hadir pula sederet akademisi dari Universitas Lambung Mangkurat.

Namun di semua diskusi itu tak ada usulan memindahkan ibu kota. Yang ada justru mengusulkan otonomi khusus. Mengingat Kalsel merupakan provinsi tertua di Borneo. Baik era Kesultanan Banjar, kolonial Belanda hingga era kemerdekaan. Makanya ia menyebut pasal 4 sebagai susupan.

Ormas Sasangga Banua justru ikut terkejut. Ternyata ada UU Provinsi Kalsel yang baru bukan bentuknya perubahan.

“Malah terbit UU Nomor 8 Tahun 2022 tentang Provinsi Kalimantan Selatan,” jelasnya.

Banjarmasin menyandang ibu kota Kalsel sedari negara ini berdiri. Alas hukumnya UU Nomor 25 tahun 1956. Bersama Kalbar, dan Kaltim, pemerintah menegaskan otonomi Kalsel. Diterangkan pula Provinsi Kalimantan Selatan berkedudukan di Banjarmasin.

“Bahwa tidak serta merta ihwal pengaturan tentang pemindahan disisipkan begitu saja mumpung UU 25/1956 mau diperbaharui,” jelas Pazri.

Alasan selanjutnya adalah tak adanya partisipasi publik yang berkeadilan berujung penolakan masyarakat luas.

Di dalam RPJMD Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2021-2026 Kota
Banjarmasin juga masih ibu kota provinsi.

Kemudian, pandangan Umum akademisi yang diminta oleh Komisi I DPRD Provinsi Kalimantan Selatan tidak ada pembahasan mengenai pemindahan ibu kota.

Lalu, faktor historis dan kultural Kota Banjarmasin tetap layak menjadi ibu kota provinsi.

Serta, faktor sosio-geografis dan ketidaksiapan anggaran untuk pembangunan ibu kota di Kota Banjarbaru.

Tiga poin besar ditujukan ke DPD. Pertama meminta agar DPD-RI mengajukan rancangan usulan revisi UU Nomor 8/2022 ke DPR-RI.

Kedua, rancangan usulan tersebut yang menjadi inti pokok adalah revisi Pasal 4 UU 8/2022 agar Banjarmasin kembali menjadi ibu kota. “Dan mengawal proses revisi tersebut hingga disahkan dan ditetapkan serta diundangan
menjadi Undang-Undang.”

840 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Fahriadi Nur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *