apakabar.co.id, JAKARTA – Merokok bukan hanya soal kebiasaan, tapi juga soal ego. Di negeri ini, jumlah perokok pria mencapai 73,2 persen, tertinggi di dunia, yang telah merugikan banyak pihak.
Mulai dari anak-anak yang kehilangan hak atas gizi, hingga negara yang harus menanggung beban kesehatan akibat rokok yang mencapai puluhan triliun rupiah tiap tahun.
Jika ego itu diruntuhkan, maka mari berhitung berapa banyak nyawa dapat diselamatkan, anggaran biaya kesehatan yang bisa diefisienkan, pengeluaran rumah tangga yang dapat dihemat, dan begitu banyak kebaikan yang bakal dipetik manakala kebiasaan menghisap racun nikotin dihentikan.
Sebagai bahan renungan di Hari Tanpa Tembakau Sedunia hari ini (Sabtu, 31 Mei), ada beberapa fakta mengenai rokok di Indonesia:
– Rokok menjadi pengeluaran terbesar kedua setelah beras, dengan proporsi 11,9 persen di perkotaan dan 11,2 persen di perdesaan.
– Belanja rumah tangga untuk rokok bisa mencapai Rp 382.000 per bulan, lebih tinggi dari pengeluaran untuk membeli makanan bergizi, menurut data Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021.
– Masyarakat miskin lebih memilih membeli rokok ketimbang makanan sehat bagi anggota keluarganya.
– Biaya kesehatan akibat penyakit terkait rokok (PTR) sekitar Rp 39,5 triliun dalam setahun, setara 30 persen dari keseluruhan biaya yang dikeluarkan Askes.
– Angka kematian akibat rokok mencapai 437.923 per tahun, sebagian besar disebabkan oleh penyakit kardiovaskular, kanker paru-paru, penyakit pernapasan kronis, dan penyakit lain yang terkait dengan tembakau.
Bisa jadi, pemerintah telah mengeluarkan banyak anggaran untuk pembiayaan program makan bergizi gratis, sementara para ayah dari anak penerima manfaat merupakan perokok aktif.
Ini membuat para kepala keluarga merasa bersyukur sebagian kebutuhan makan anak-anaknya dibantu pemerintah. Dengan begitu anggaran untuk membeli rokok tidak terganggu.
Itu hanyalah secuplik perumpamaan yang menggambarkan betapa konsumsi rokok mengakibatkan kerugian besar bagi banyak pihak.
Merugikan kesehatan si perokok sendiri dan perokok pasif yang terpapar asapnya, menggerus anggaran belanja rumah tangga yang merenggut hak anak-anak akan akses makanan bergizi, dan membebani biaya kesehatan akibat PTR.
Ketika seorang kepala keluarga yang perokok itu di kemudian tahun sakit-sakitan maka ia akan menjadi beban bagi anggota keluarga dan berkuranglah kualitas kebahagiaan mereka.
Apalagi efek buruk terhadap perokok pasif juga sama bahayanya dengan perokok aktif. Bedanya, perokok aktif menderita sakit disebabkan perilakunya sendiri, sedangkan perokok pasif bisa terjangkit penyakit oleh sebab perbuatan orang lain, betapa tidak adilnya.
Mengingat banyak ketidakadilan yang terjadi karena racun nikotin, maka rencana BPJS Kesehatan untuk tidak menanggung lagi biaya pengobatan penyakit akibat rokok sudah mendesak untuk diberlakukan. Pasalnya wacana dan usulan itu sudah bergulir sejak beberapa tahun lalu.
Tahun ini isu tersebut kembali mengemuka setelah sebelumnya pada November 2024, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengusulkan agar penyakit akibat rokok tidak ditanggung dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Sebab merokok itu merupakan perbuatan merusak diri sendiri sehingga tidak layak memperoleh jaminan asuransi kesehatan.
Kebijakan dengan pertimbangan yang sangat masuk akal dan cukup adil, semestinya tidak sulit untuk diputuskan, kecuali ada faktor tarik-menarik kepentingan.
Dilema lama
Ketika ditarik dalam kepentingan skala besar, kenapa kebijakan terkait rokok tidak kunjung tegas? Alasan klasik yang berulang muncul adalah seputar kelangsungan industri rokok dan nasib petani tembakau.
Kemudian penerimaan negara dari cukai rokok yang begitu besar juga menjadi keengganan untuk melepas pendapatan itu.
Pendapatan cukai hasil tembakau (CHT) di Indonesia menjadi salah satu kontributor terbesar dalam penerimaan negara.
Pada tahun 2023, yang tercatat mengalami penurunan saja, penerimaan CHT masih mencapai Rp210,29 triliun dan tetap sebagai penyumbang terbesar dalam penerimaan cukai nasional, yaitu 96,1 persen.
Sementara para konglomerat dengan predikat orang terkaya di Indonesia banyak lahir dari industri rokok. Sebutlah Hartono Bersaudara (pemilik Djarum), Susilo Wonowidjojo (Gudang Garam), Putera Sampoerna (PT HM Sampoerna), dan John Kusuma pewaris generasi ketiga dari PT Nojorono Tobacco International, produsen rokok legendaris yang berbasis di Kudus, Jawa Tengah.
Pada bagian lain ada peran petani tembakau yang berkontribusi besar pada pasokan bahan baku industri rokok, tetapi masalah kesejahteraannya menjadi isu yang kompleks dari masa ke masa.
Berbagai faktor terkait biaya produksi dan fluktuasi harga pasar seolah mempermainkan nasib mereka. Walau begitu para petani tembakau tidak kapok dan tampaknya tetap setia menanam komoditas racun itu.
Selanjutnya, bagaimana tentang para penghisap produk tembakau? Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mencatat jumlah perokok aktif di Indonesia mencapai 70 juta orang, mayoritas perokok aktif adalah anak muda, dengan 7,4 persen di antaranya berusia 10-18 tahun. Dan dalam perkembangannya, usia perokok pemula makin muda alias anak-anak.
Selain perokok muda, masyarakat miskin sering menjadi perokok aktif karena data menunjukkan rokok menjadi pengeluaran terbesar kedua setelah beras, dengan pengeluaran untuk rokok lebih tinggi dari protein.
Kebiasaan merokok warga berpenghasilan rendah dapat mengurangi kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan pokok lainnya, seperti makanan sehat dan pendidikan.
Hingga Kementerian Kesehatan mengeluarkan imbauan agar mereka menukar sebatang rokok dengan sebutir telur demi memenuhi kebutuhan protein anaknya.
Sampai di sini bisa terbaca dari rantai produksi rokok pihak mana yang paling merugi, tak lain adalah kalangan rentan. Sayangnya, “SDM rendah” umumnya tidak mudah ditolong, dalam artian diedukasi untuk berhenti menggemari tembakau yang menimbulkan adiksi.
Meruntuhkan ego
Perlu meruntuhkan ego masing-masing pihak untuk terlepas dari predikat perokok aktif tertinggi di dunia yang membahayakan kesehatan generasi mendatang yang kita gadang-gadang menjadi generasi emas.
Bagi pemerintah yang memperoleh pemasukan cukai rokok sedemikian besar, mungkin tak mudah untuk memberlakukan regulasi tegas terhadap industri produk tembakau.
Namun bila memandang kesehatan bangsa menjadi hal utama, pasti ada jalan untuk mendapat pemasukan lain yang lebih “sehat”.
Sedangkan dunia usaha yang telah meraup keuntungan besar dari industri racun nikotin, tentunya akan merasa sayang beralih ke industri lain.
Namun, jika datang kesadaran bahwa usaha haruslah menghasilkan produk yang membawa manfaat bagi masyarakat (konsumen) agar berkah, mestinya tidak mustahil untuk perlahan berganti produk.
Walau pastinya ada pengorbanan dengan perombakan infrastruktur pabrik, serta sarana prasarana pendukung.
Dibanding industri, mungkin pada level petani sedikit lebih mudah untuk beralih komoditas tanaman. Hanya membutuhkan niat dan keyakinan, banyak jenis tanaman lain yang juga mendatangkan keuntungan untuk dibudidayakan.
Hingga ke level konsumen, upaya lepas dari jerat candu tembakau tak perlu pengorbanan besar. Hanya butuh kesadaran, untuk apa merusak diri sendiri dengan menghisap gulungan tembakau yang tak sedikitpun memberi manfaat bagi tubuh.
Tidak usah berseloroh,”kalau berhenti merokok kasihan pabriknya bisa tutup”, karena masyarakat melarat tidak berkewajiban menolong para konglomerat.