apakabar.co.id, JAKARTA – Gubernur Kalimantan Timur, Rudy Mas’ud, menyatakan prihatin atas nasib 299 warga Muara Badak yang terdampak dugaan pencemaran laut akibat aktivitas pengeboran RIG Great Wall Drilling milik PT Pertamina Hulu Sanga-Sanga (PHSS).
Pemprov Kaltim akan menyalurkan sejumlah bantuan sosial, termasuk fasilitas BPJS Kesehatan.
“Pastinya akan ada bantuan sosial, dan salah satunya BPJS Kesehatan,” ujarnya, Senin (11/8).
Rudy menyebut pemprov sudah menyiapkan sekitar 77 ribu BPJS dengan anggaran Rp15 miliar. Fasilitas ini mencakup perlindungan kesehatan, kecelakaan kerja, hingga kematian. Menurutnya, nelayan dan petani termasuk yang rentan memanfaatkan layanan ini.
“Ada 77 ribu data yang sudah di-BPJS-kan, termasuk nelayan-nelayan di Muara Badak,” terangnya.
Ia menambahkan akan ada keadilan restoratif bagi nelayan yang kehilangan mata pencaharian akibat pencemaran laut. “Coba nanti kami cross check melalui DLH perkembangan terakhirnya. Sekarang kita lagi konsen ke RPJMD dan LKPD APBD Kaltim. Nanti saya kabari,” ujarnya.
Namun, selain kehilangan penghasilan, para nelayan kini juga terancam pidana. PHSS melaporkan empat nelayan Muara Badak—Muhammad Yusuf, Muhammad Yamin, Muhammad Said, dan Haji Tarre—ke polisi atas tuduhan memasuki objek vital nasional tanpa izin.
Manager Communication Relations & CID Regional 3 Pertamina, Dony Indrawan, mengatakan perusahaan menghormati hak warga menyampaikan aspirasi selama sesuai hukum. Pertamina, kata dia, punya mandat menjaga keamanan operasi hulu migas sebagai obvitnas dan berkoordinasi dengan aparat penegak hukum.
“Perusahaan senantiasa bersikap kooperatif demi solusi terbaik sesuai ketentuan hukum,” ujarnya, Senin (4/8), saat ditanya soal pencabutan laporan polisi.
Pertamina juga mengaku menghormati investigasi Tim Gakkum Kementerian LHK atas kasus gagal panen kerang darah di Muara Badak. “Kami berharap kesimpulan diambil secara objektif dan komprehensif,” katanya.
PHSS, lanjutnya, meyakini operasi migas sudah dilakukan aman, andal, dan sesuai AMDAL, sejalan dengan kesimpulan peninjauan lapangan Gakkum LHK pada Maret 2025.
Sudah empat bulan sejak laporan PHSS terhadap empat nelayan itu masuk Polres Bontang. Kasat Reskrim AKP Hari Supranoto menyebut satu laporan dari PHSS sudah naik ke penyidikan, sementara laporan warga masih tahap penyelidikan.
Krisis ini bermula akhir 2024 ketika panen kerang darah gagal total di enam desa pesisir. Yusuf menyebut 299 kepala keluarga terdampak. Lahan tercemar diperkirakan 1.000 hektare, dengan potensi kerugian Rp68,4 miliar. Produksi hilang mencapai 3.800 ton.
Riset Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman menemukan lonjakan bahan organik, lumpur pekat, serta infeksi bakteri dan parasit yang merusak sistem pernapasan kerang darah. Namun, dugaan pencemaran belum ditindak tegas. Sebaliknya, warga yang memprotes malah dilaporkan.
Aksi protes berlangsung Januari–Februari 2025 di sekitar rig Great Wall Drilling Company 16. Empat nelayan yang kini jadi tersangka sempat membuat pernyataan yang kemudian dituding sebagai penghasutan.
“Kami sangat tertekan. Kami hanya ingin keadilan. Kami mohon perlindungan dari segala bentuk kriminalisasi,” kata Yusuf.
Akademisi Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah alias Castro, mengecam langkah aparat. Menurutnya, nelayan justru harus dilindungi oleh imunitas hukum sesuai Pasal 66 UU No. 32/2009 tentang Perlindungan terhadap Pejuang Lingkungan dan Pasal 28H UUD 1945.
“Polisi ini seperti masuk angin. Harusnya nelayan dibentengi, bukan dipidanakan,” ujarnya.
Castro bahkan menduga ada skenario untuk mengalihkan perhatian publik. “Jangan-jangan ini by design, untuk menyembunyikan kejahatan ekologis,” tegasnya.