apakabar.co.id, JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto menandatangani Perpres Nomor 79 Tahun 2025 tentang Pemutakhiran Rencana Kerja Pemerintah. Aturan ini bukan hanya memuat revisi dari Perpres sebelumnya, tetapi juga menetapkan Ibu Kota Nusantara (IKN) sebagai “ibu kota politik” Indonesia pada 2028.
Dalam lampiran Perpres dijelaskan sejumlah target, mulai dari pembangunan kawasan inti pusat pemerintahan (KIPP), penyediaan hunian layak, hingga layanan kota cerdas. Pemindahan ASN dan aparat pertahanan-keamanan ke IKN juga mulai dirancang, dengan jumlah mencapai ribuan orang.
Namun, penyebutan istilah “ibu kota politik” langsung menuai sorotan dari DPR. Anggota Komisi II, Muhammad Khozin, menilai istilah ini tidak pernah disebut dalam Undang-Undang IKN.
“Di UU IKN spirit yang kita tangkap menjalankan fungsi pusat pemerintahan sebagaimana terdapat di Pasal 12 ayat (1) UU No 21 Tahun 2023 tentang IKN. Tidak ada sama sekali menyebut frasa Ibu Kota Politik,” kata Khozin di Jakarta, Sabtu (20/9).
Khozin meminta pemerintah menjelaskan maksud penggunaan istilah baru tersebut. Menurutnya, jika “ibu kota politik” dimaknai sama dengan ibu kota negara, maka ada konsekuensi politik dan hukum yang tidak bisa dianggap sepele. Pasal 39 ayat (1) UU No 3 Tahun 2022 menyebut, perpindahan ibu kota negara hanya bisa diwujudkan lewat Keputusan Presiden.
“Implikasi politik dan hukum akan muncul ketika Ibu Kota Negara secara definitif pindah dari Jakarta ke IKN,” ujarnya.
Khozin juga menekankan, keputusan sebesar itu tidak hanya melibatkan pemerintah, tetapi juga semua cabang kekuasaan negara serta lembaga internasional yang berkedudukan di Indonesia.
“Ketika Ibu Kota Negara definitif berpindah ke IKN, maka ada konsekuensi yang harus disiapkan dari sekarang, tidak hanya oleh pemerintah tetapi oleh lembaga di luar pemerintah termasuk lembaga internasional,” tuturnya.
Menurut Khozin, jika yang dimaksud sebenarnya hanya pusat pemerintahan sebagaimana tertuang dalam UU IKN, sebaiknya tidak perlu menciptakan istilah baru yang justru menimbulkan kebingungan.
“Jika yang dimaksud ibu kota politik itu tak lain adalah pusat pemerintahan, sebaiknya tak perlu buat istilah baru yang menimbulkan tanya di publik,” kata dia menutup.