Perhutanan Sosial, Sinergi Tata Kelola antara Aspek Ekonomi, Ekologi dan Sosial

Belantara Foundation dan Universitas Pakuan didukung PT Agincourt Resources menggelar pelatihan dan seminar nasional tentang Perhutanan Sosial. Foto: Belantara Foundation

apakabar.co.id, JAKARTA – Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK Bambang Supriyanto saat menjadi pembicara pada seminar ‘Perhutanan Sosial: Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Berbasis Masyarakat untuk Perubahan Iklim dan Kesejahteraan” di Bogor, Senin (4/3) menyampaikan update distribusi areal perhutanan sosial hingga 2023 telah mencapai lebih dari 6,4 juta hektar,

Sedangkan sisanya, seluas lebih dari 6,2 juta hektar akan didistribusikan kepada masyarakat dengan strategi ‘Kerja Bareng Jemput Bola’ hingga tahun 2030.

Perhutanan Sosial, kata Bambang, merupakan sebuah sistem pengelolaan hutan lestari di mana kelompok masyarakat atau masyarakat hukum adat menjadi pelaku utama.

“Adapun yang dikelola adalah hutan negara atau hutan adat dalam bentuk tata kelola sinergi, antara aspek ekonomi, ekologi dan sosial untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat,” ujarnya, Senin (4/3).

Hal itu berhubungan dengan target pemerintah untuk mencapai net sink zero karbon dioksida (CO2) pada tahun 2030 dari sektor hutan dan penggunaan lahan lainnya atau forest and other land use (FOLU).

“Itu tertuang dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI No. 168 Tahun 2022 tentang Rencana Operasional FOLU Net Sink 2030 untuk Pengendalian Perubahan Iklim,” paparnya.

Sejak 2016, KLHK telah mengeluarkan keputusan menteri tentang Perhutanan Sosial untuk pengelolaan hutan lestari (P.83/MENLHK/Setjen/Kum.1/10/2016). KLHK, terang Bambang, telah mengoptimalkan pemberian izin legal untuk perhutanan sosial dengan target seluas 12,7 juta hektar pada tahun 2030 untuk mendukung pencapaian target FOLU Net Sink 2030.

FOLU Net Sink 2030 Indonesia dapat membantu rehabilitasi ekosistem penting serta dalam jangka panjang menyimpan penyerap karbon utama dan melindungi keanekaragaman hayati Indonesia.

“FOLU Net Sink 2030 juga menekankan pengelolaan hutan berkelanjutan berbasis masyarakat dan lestari melalui program perhutanan sosial,” jelasnya.

Direktur Eksekutif Belantara Foundation Dolly Priatna yang menjadi salah satu keynote speaker pada acara itu, mengungkapkan tujuan utama seminar adalah untuk meningkatkan pemahaman stakeholders mengenai regulasi dan kebijakan serta model-model usaha dalam perhutanan sosial di Indonesia.

“Tujuan lain yaitu meningkatkan kapasitas stakeholders terkait langkah-langkah efektif dalam mengembangkan ecopreneur pada perhutanan sosial,” paparnya.

Dolly yang juga pengajar di Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan itu menjelaskan salah satu pendekatan yang bisa digunakan dalam mencapai net sink zero karbon dioksida (CO2) pada tahun 2030 dari sektor FOLU adalah melalui perhutanan sosial.

Program perhutanan sosial, kata Dolly, bertujuan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengelola hutan, meningkatkan pendapatan masyarakat desa melalui pemanfaatan sumber daya hutan secara lestari dan berkelanjutan.

“Serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa sehingga dapat berkontribusi dalam meningkatkan serapan karbon,” ujar Dolly yang juga anggota Commission on Ecosystem Management IUCN.

Karana itu, Dolly akan terus mengajak dan melibatkan berbagai pihak khususnya sektor swasta dalam mengamplifikasi dan mendukung program perhutanan sosial di Indonesia.

Rektor Universitas Pakuan, Prof. Didik Notosudjono dalam sambutannya mengingatkan peran perguruan tinggi sebagai wadah insan akademik untuk melaksanakan kewajiban ‘Tridharma Perguruan Tinggi’, yaitu pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (PKM).

Selain itu, mahasiswa  diberi peluang untuk mengikuti pembelajaran di luar kampus melalui program MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka) dengan tetap diperhitungkan bobot SKS-nya.

“Program Perhutanan Sosial dapat dijadikan sarana bagi para dosen dan mahasiswa untuk pelaksanaan Tridharma dan MBKM”, terang Didik.

Sementara itu, Direktur Hubungan Eksternal PT Agincourt Resources Sanny Tjan menjelaskan peran perusahaan dalam mendukung peningkatan kesadaran (awareness) dan kapasitas masyarakat terkait pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup di Indonesia, termasuk tentang perhutanan sosial.

Menurut Sanny, kolaborasi antarpihak sangat diperlukan untuk mencapai tujuan dengan konsep pentahelix demi mendukung program perhutanan sosial di Indonesia. Konsep tersebut menggabungkan peran akademisi, sektor bisnis, komunitas, pemerintah, dan media.

“Dengan melibatkan berbagai pihak, konsep pentahelix dapat digunakan untuk mencari pendekatan inovatif guna meningkatkan pengembangan dan implementasi perhutanan sosial. Tentu saja butuh koordinasi yang baik, juga komitmen tinggi, dari berbagai pihak sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing,” kata Sanny.

36 kali dilihat, 1 kunjungan hari ini
Editor: Jekson Simanjuntak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *