apakabar.co.id, JAKARTA – Konflik antara sopir angkutan batu bara dan warga di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, kembali memanas.
Hal itu terlihat setelah ratusan sopir truk dari Kalimantan Selatan menggelar unjuk rasa di Simpang Tokare, Batu Kajang, Selasa (10/6).
Mengatasnamakan Aliansi Sopir Angkutan Banua, mereka menuntut agar aktivitas hauling kembali diperbolehkan melewati jalan nasional yang selama ini ditutup warga.
Ironisnya, tuntutan tidak diarahkan ke pemerintah, melainkan kepada masyarakat yang menolak truk tambang.
“Kami para sopir angkutan Banua tidak akan rela jika angkutan batu bara yang menjadi penopang kami, kalian setop,” demikian bunyi spanduk yang dibentangkan.
Menariknya, tuntutan mereka bukan ditujukan ke pemerintah, melainkan kepada warga dan tokoh masyarakat yang selama ini menolak truk tambang melintas di jalan negara.
Pantauan di lokasi, ratusan truk dari arah Kalimantan Selatan memadati jalan nasional menuju Balikpapan. Aksi ini juga diikuti pemilik bengkel dan buruh bongkar muat yang mengaku ikut terdampak akibat pelarangan hauling.
Para sopir menyuarakan kekhawatiran truk mereka terancam ditarik leasing, penghasilan terhenti, dan keluarga terlantar. “Tolong berikan kami pekerjaan, karena kami juga tidak mau anak istri kami terlantar,” ujar sejumlah sopir kepada media ini.
Kapolres Paser AKBP Novy Adhiwibowo memastikan aksi berjalan tertib. “Masih berjalan, lancar, aman, tertib,” katanya. “Ini masih orasi, saya di DPRD” sambungnya.
Terpisah, sejumlah warga yang media ini wawancarai menilai keliru arah tuntutan para sopir. Mereka menilai mestinya tuntutan disampaikan ke pemerintah, bukan ke warga.
“Kalau mintanya ke kami, ya solusinya ayo berladang,” kata seorang warga yang sengaja namanya media ini samarkan.
Konflik antara warga dan aktivitas hauling tambang di kawasan Batu Kajang hingga Muara Kate, Paser, sudah berlangsung lama.
Akhir 2023, warga mulai gelisah karena jalan umum makin rusak, berlubang, dan rawan kecelakaan akibat lalu-lalang truk tambang. Aksi blokade dilakukan, namun sering diabaikan. Truk bahkan menembus barikade yang dibuat warga.
Beberapa insiden tragis menjadi catatan kelam. Pada 1 Mei 2024, Ustaz muda bernama Teddy tewas di Songka, diduga tertabrak truk hauling.
Oktober 2024, Pendeta Veronika meninggal di Marangit setelah truk batu bara gagal menanjak.
Selain itu di 15 November 2024, posko warga di Muara Kate diserang dini hari. Bocah 6 tahun, Russell, tewas. Saudaranya, Anson, luka berat. Pelaku belum tertangkap.
Yang terakhir terjadi pada 2 Juni 2025. Warga menjaring 50 truk hauling berpelat Kalimantan Selatan yang melintasi jalan negara di Muara Kate, perbatasan Kaltim–Kalsel.
Aksi ini jadi teguran keras kepada pemerintah agar menegakkan Perda Kaltim Nomor 10 Tahun 2012 dan UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020 yang melarang penggunaan jalan umum untuk hauling.
Lembaga Bantuan Hukum Samarinda menilai pemerintah gagal hadir dalam konflik horizontal ini. Mereka mengingatkan soal Permen LH Nomor 10 Tahun 2025 yang menjamin hak atas lingkungan hidup yang sehat.
Perusahaan tambang, menurut LBH, harusnya membangun jalan sendiri dan meminta agar tidak mengorbankan warga hanya untuk menghemat biaya produksi.
Peneliti NUGAL Institute, Merah Johansyah, menyebut konflik ini sebagai bom waktu yang dibiarkan terus membesar. Ia menilai sikap diam BBPJN dan aparat adalah bentuk kelalaian yang disengaja.
“Kalau terus berulang dan BBPJN nggak bertindak padahal sudah tahu persoalannya, ini namanya repeating negligence,” kata Merah.
Ia menyebut pola ini mirip di Jambi dan Sumatera Selatan, di mana perusahaan tambang membiarkan konflik horizontal demi menghindari kewajiban membangun jalan hauling sendiri.
“Siapa yang untung? Ya perusahaan tambang. Mereka yang panen cuan, rakyat saling bentrok,” ujarnya.
Merah meminta pemerintah dan aparat segera turun tangan. Jika tidak, mereka yang harus dimintai pertanggungjawaban.
“Kalau terjadi konflik horizontal antara warga penolak tambang dengan sopir hauling, maka yang harus dituntut adalah pemerintah dan aparat,” tegasnya.