OPINI

Menyelamatkan Presiden dari Perangkap Pelanggaran Konstitusi Akibat Penerbitan PP

Kapolri Listyo Sigit menerbitkan Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025. Foto: ANTARA
Kapolri Listyo Sigit menerbitkan Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025. Foto: ANTARA
Oleh: Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto*

Gagasan penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) untuk mengakomodasi penempatan anggota Polri aktif di luar struktur kepolisian bukan sekadar isu administratif. Ia adalah perangkap konstitusional yang, jika diteruskan, menempatkan Presiden pada posisi melanggar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tulisan ini dimaksudkan sebagai peringatan konstitusional—bukan serangan politik—untuk menyelamatkan Presiden dari konsekuensi hukum dan legitimasi yang sangat serius.

Pertama, PP bukan alat penyelamat norma bermasalah. PP adalah peraturan pelaksana Undang-Undang. Ia tidak boleh digunakan untuk menyelamatkan atau mengesahkan norma bawahan yang bertentangan dengan Undang-Undang, apalagi dengan konstitusi. 

Ketika PP diproyeksikan untuk mengakomodasi isi Peraturan Kepolisian yang membuka ruang Polri aktif menduduki jabatan di luar struktur, maka sejak awal fungsi PP telah diselewengkan: dari pelaksana UU menjadi alat pembentuk kewenangan baru—sesuatu yang tidak dibenarkan dalam negara hukum.
Kedua, UU yang berlaku sudah tegas dan seirama. Dua rezim UU yang masih sah dan berlaku—UU Kepolisian Negara RI dan UU Aparatur Sipil Negara (ASN)—berdiri pada prinsip yang sama: Polri aktif yang menduduki jabatan di luar struktur kepolisian wajib pensiun atau alih status menjadi ASN.

Tidak ada satu pasal pun yang memberi pengecualian bagi Polri aktif untuk tetap berstatus polisi lalu mengisi jabatan sipil di kementerian/lembaga. Jika PP setia pada UU, maka kewajiban alih status justru harus ditegaskan, bukan dihindari.

Ketiga, putusan MK menutup ruang tafsir. Larangan tersebut diperkokoh oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan yang final dan mengikat (erga omnes). Maknanya tegas: Polri aktif tidak boleh berada di luar struktur kepolisian; jika keluar, harus alih status atau pensiun. Sejak putusan itu diucapkan, ruang tafsir administratif tertutup. PP tidak memiliki diskresi untuk membuka kembali apa yang telah ditutup MK.

Keempat, titik kritis menjadi tanggung jawab konstitusional Presiden. Menurut Pasal 5 ayat (2) UUD 1945, PP adalah produk presiden. Maka, ketika PP: bertentangan dengan UU Polri, bertentangan dengan UU ASN, dan melawan putusan MK.

Tanggung jawab konstitusional melekat langsung pada presiden. Tidak dapat dialihkan kepada menteri pengusul, tim reformasi, atau kebutuhan organisasi. Tanda tangan Presiden sama dengan pertanggungjawaban konstitusional Presiden.

Kelima, mengapa ini perangkap? Mendorong Presiden menerbitkan PP dalam konstruksi tersebut adalah perangkap karena masalah yang semula teknis-institusional bergeser menjadi pelanggaran konstitusi oleh Presiden.
Selain itu, risiko hukum dan legitimasi menumpuk di pucuk kekuasaan eksekutif, yaitu Presiden; bukan lagi di pundak parah Menteri, dan bukan juga pada tim percepatan reformasi Polri. Termasuk, krisis kepercayaan publik membesar ketika pelanggaran baru ditambahkan di atas persoalan konstitusional lain yang belum selesai. Ini bukan solusi, melainkan eskalasi krisis.

Keenam, jalan keluar yang konstitusional. Menyelematkan presiden bukan dengan PP yang menyimpang, melainkan dengan ketaatan penuh yakni dengan mengembalikan PP ke fungsi pelaksana UU, bukan pengakalan. Kemudian menegaskan alih status atau pensiun bagi Polri aktif yang ditempatkan di luar struktur dan menyelaraskan seluruh kebijakan dengan Putusan MK dan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945.

Dengan langkah ini, Presiden terlindungi, reformasi Polri berjalan lurus, dan negara hukum terjaga.

Sebagai penutup, tulisan ini adalah peringatan dini untuk menyelamatkan Presiden dari perangkap pelanggaran konstitusi akibat penerbitan PP. Ketaatan pada UUD 1945 bukan pilihan politis, melainkan kewajiban konstitusional. PP yang setia pada konstitusi melindungi Presiden; PP yang menyimpang justru menjeratnya.

*) Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS)